JUDUL Segara Gunung karya Made Sudana ini memadukan dua elemen alam yang sangat ikonikal: lautan dan gunung. Dalam tradisi Bali, gunung sering kali dianggap sebagai tempat suci, lambang stabilitas, dan sumber kehidupan yang suci. Sedangkan lautan menunjukkan kebesaran, kedalaman, dan aliran energi kehidupan. Penggabungan kedua unsur ini bukan hanya mengundang perenungan tentang kekuatan alam, tetapi juga mengingatkan kita pada ritual dan filosofi leluhur yang kerap kali menyatu dengan elemen alam dalam upacara keagamaan di Bali. Di Bali, kedua tempat ini sangat di sucikan. Dimana “Segaregunung” merupakan simbol dari lingga dan Yoni, dalam pertemuan ini dipercaya akan memunculkan suatu energi.
Karya ini memadukan simbolisme tradisional dan estetika modern yang dalam dan dimensi spiritual – merupakan hubungan antara gunung dan laut. Ini, secara kosmologis di Bali dihormati sebagai tempat sakral. Karya Made Sudana ini menangkap makna transendental, mengacu pada simbol lingga dan yoni—representasi kesatuan antara maskulin dan feminim.
Dari segi simbolis, karya ini tampak sebagai jalinan narasi antara kekuatan alam dan spiritualitas masyarakat Bali. Lapisan-lapisan tekstur dan penggunaan media campuran mengisyaratkan proses pelapisan makna—sebagian pengamat dapat membaca ini sebagai representasi dari perjalanan spiritual, di mana unsur keras (gunung) bertemu dengan unsur cair (laut). Keterlibatan objek pelepah sebagai elemen tiga dimensi seolah menjadi jembatan yang menghubungkan konsep abstrak tersebut dengan realitas fisik, mengajak pengamat untuk merenungkan hubungan antara materialitas dan transendensi. Penataan yang tersusun seakan mengundang kita menyelami proses kontemplatif yang mirip dengan ritual penyucian dalam tradisi Bali, di mana unsur-unsur alam dimanifestasikan sebagai simbol dari perjalanan batin manusia.
Dengan ukuran 246 x 216 cm dan bahan acrylic di atas kanvas, karya ini memberi ruang ekspresi yang luas, menciptakan suasana yang imersif (pengalaman yang mendalam dan menyeluruh) untuk penikmat seni. “Segaregunung” sebagai tema menghubungkan dua elemen alam yang kontradiktif tapi saling melengkapi. Dalam konteks Bali, harmoni ini mencerminkan keseimbangan dalam kehidupan spiritual dan material. Penekanan pada pertemuan antara gunung dan laut menunjukkan perpaduan dua kekuatan besar yang melambangkan dinamika dan keseimbangan alam semesta.
Karya ini digelar pada perhelatan 29 tahun Kelompok Seni Galang Kangin (KSKG) di Neka Art Museum Ubud, dari tanggal 18 April hingga 18 Mei 2025. Pameran senirupa ini bertema “Metastomata : Metamorphosis Manifesto Galang Kangin”, diikuti oleh 12 perupa anggota KSKG, dan 3 orang perupa undangan. Tema tersebut, sebagai langkah merefleksikan manifesto Galang Kangin yang digagas antara KSKG dan Thomas Freitag pada 21 Juni 2002.

Made Sudana, “Ayam”, mix media, acrylic, & klase, 2025
Seni rupa kontemporer sering kali mencerminkan konteks ruang dan waktu, serta mengintegrasikan elemen budaya lokal dengan eksplorasi konsep global. Dalam hal ini, karya Made Sudana yang mengangkat simbol lingga dan yoni sebagai representasi kesatuan energi penciptaan dapat dilihat sebagai upaya untuk menghubungkan tradisi Bali dengan wacana seni rupa kontemporer yang lebih luas.
Pendekatan seni rupa kontemporer juga memungkinkan interpretasi yang lebih fleksibel, di mana karya seni tidak hanya dilihat dari aspek visual, tetapi juga dari makna filosofis dan spiritual yang terkandung di dalamnya. Elemen-elemen seperti pelepah pisang yang digunakan dalam karya ini menunjukkan eksplorasi media campuran, yang merupakan ciri khas seni rupa kontemporer.
Kanvas yang tidak konvensional dengan sudut-sudut yang unik menunjukkan eksplorasi bentuk yang melampaui batas tradisional. Seni rupa kontemporer sering kali melawan norma estetika dengan menghadirkan inovasi dalam bentuk dan media – seperti pada pilihan kanvas dengan beberapa sudut, kreasi Made Sudana ini. Karya ini tidak hanya menarik secara visual tetapi juga mengandung makna filosofis personal Sudana, yang mendalam.
Karya lukisan abstrak Made Sudana ini, memiliki tekstur kaya dan penggunaan warna yang dinamis. Latar belakangnya didominasi oleh warna abu-abu dengan percikan merah, biru, kuning, dan hijau, menciptakan kesan gerakan dan kedalaman. Teknik sapuan kuas dan percikan cat yang digunakan memberikan nuansa ekspresif dan spontan. Selain itu, terdapat elemen tiga dimensi seperti sudah saya sebutkan di atas, yakni berupa potongan pelepah pisang yang ditempelkan pada kanvas. Ini menambah aksentuasi, dimensi dan karakter unik pada karya ini. Karya-karya Made Sudana memang sering kali mencerminkan eksplorasi tekstur dan bentuk,
Karya Segara Gunung ini mengundang penikmat seni untuk mempertanyakan keberadaan dan peran elemen alam dalam perjalanan spiritual serta kehidupan sehari-hari. Melalui penggunaan warna yang kontras, tekstur yang kaya, dan integrasi media yang inovatif, Made Sudana menawarkan refleksi visual yang menantang—sebuah undangan untuk merenung tentang hubungan mendalam antara manusia, alam, dan tradisi yang hidup di dalamnya. Karya ini tidak hanya bercerita tentang keindahan alam, tetapi juga tentang perjalanan batin dan pemaknaan ulang terhadap simbol-simbol mistis yang melekat pada budaya Bali.
Sebagai perbandingan proses kreatif Made Sudana, mari kita simak karyanya yang lain, yang bertajuk ; “Kegelapan Pasti Berakhir”. Ini merupakan sebuah manifestasi visual yang mendalami perjalanan emosional—dari keputusasaan menuju harapan. Dalam karya abstrak ini, penggunaan palet warna gelap seperti hitam dan abu-abu mendominasi, kemudian diselingi dengan semburat warna hangat seperti merah dan oranye serta aksen biru. Kombinasi tersebut menciptakan dialog visual antara kegelapan yang tampak menyesakkan dengan percikan cahaya yang muncul sebagai simbol pembaruan dan semangat.

Made Sudana, “Tanah Merah”, 2022
Komposisi lukisan yang diterapkan terasa dinamis berkat tekstur cat yang kental dan penggunaan sapuan kuas yang ekspresif. Bentuk-bentuk abstrak yang seolah bergerak mengarahkan pengamat untuk merasakan keberadaan sebuah transisi—seperti pergerakan alam dari malam ke fajar, di mana setiap lapisan warna mengisahkan perjalanan menuju pencerahan. Ukuran kanvas yang besar 180 x 140 cm juga menambah intensitas pengalaman visual, seakan mengajak penikmatnya terlarut dalam narasi emosi dan waktu.
Pilihan warna dalam karya ini tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika, melainkan juga sebagai metafora yang mendalam. Warna hitam dan abu-abu menggambarkan rasa berat, kerap kali identik dengan kesendirian atau beban batin, sementara semburat merah dan oranye menyiratkan energi, keberanian, dan semangat yang perlahan merebut kembali ruang dari keputusasaan. Aksen biru, di sisi lain, memberikan sentuhan ketenangan dan stabilitas yang mengimbangi kekuatan emosional warna-warna lain, sehingga tercipta harmoni meskipun pada awalnya tampak penuh konflik.
Menurut saya, dalam seni rupa, analisis warna merupakan salah satu aspek penting untuk memahami makna, komposisi, dan dampak visual sebuah karya. Pendekatan ini berdasarkan hubungan warna dalam lingkaran warna (color wheel) dan prinsip dasar seperti warna primer, sekunder, dan tersier. Analisis ini juga mencakup konsep harmoni warna seperti komplementer, analog, triadik, dan tetradik untuk memahami efek visualnya. Pendekatan psikologi warna ini berfokus pada efek emosional dan psikologis yang ditimbulkan oleh warna. Misalnya, merah sering dikaitkan dengan gairah atau kemarahan, biru dengan ketenangan, dan kuning dengan kebahagiaan. Psikologi warna membantu dalam memahami bagaimana warna dapat membentuk persepsi dan perasaan dalam karya seni.
Lebih lanjut, mari kita simak karya Made yang bertajuk : “Tanah Merah”. Menurut saya, pada karya ini tempak jelas kemampuan Made dalam mengolah saturasi (intensitas warna). Selain itu, juga menunjukkan kemampuan Made dalam ‘memainkan’ gradasi. Karya ini menampilkan dominasi warna hitam, abu-abu, dan putih. Warna merah tidak terlalu mencolok secara visual, tetapi memiliki muatan simbolis yang kuat. Dalam konteks “Tanah Merah,” warna ini dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari energy kehidupan. Namun bisa juga diasosiasikan dengan tanah yang gersang, kaya mineral, namun juga keras dan tidak mudah ditaklukkan.
Meskipun karya ini tampak abstrak, namun penempatan elemen-elemen visual memberikan nuansa tertata yang menggambarkan bahwa meskipun alam tampak liar, sebenarnya terdapat struktur dan harmoni di balik setiap retakan dan lapisan. Garis dan bentuk yang saling berinteraksi dengan sapuan warna merah, hitam, dan abu-abu mengundang penikmat untuk ‘membaca’ narasi visual tentang pertemuan antara kehidupan yang keras dan kebijaksanaan yang menghidupkan alam.

Made Sudana, “Kegelapan Pasti Berakhir”, aclyric on canvas
Karya Made Sudana kerap menonjolkan tekstur yang terasa berlapis, yang mengingatkan pada lapisan waktu, sejarah, dan kealamian. Ini mengingatkan saya pada karya-karya Gerhard Richter. Pelukis Jerman ini juga dikenal dengan teknik penggunaan lapisan cat yang tebal dan paduan material yang bertekstur, sehingga menciptakan kesan mendalam sekaligus kontemplatif. Kedua seniman dengan cara ini, merefleksikan pengaruh fisik alam terhadap karya mereka. Ini menandakan mereka punya hubungan emosional yang kuat dengan “tanah” atau bumi.
Sementara itu, Gerhard Richter terkenal dengan teknik alat bilah (squeegee) yang menghasilkan lapisan-lapisan cat dengan efek kabur dan ambigu. Pendekatan Richter terhadap warna—di mana ia mengeksplorasi ketidaktegasan dan proses penyembuhan melalui waktu—dapat dihubungkan dengan cara Sudana menampilkan narasi transformasi dalam karya-karyanya. Walaupun tekniknya berbeda, keduanya sama-sama mengajak audiens untuk menyelami perbedaan antara realitas yang tampak dan emosi yang tersembunyi di balik lapisan cat.

Made Sudana, “Segaragunung”, mix media on canvas
Perbandingan karya Made Sudana dan Gerhard Richter, memang tak bisa sama persis. Baik secara teknis, konten, maupun visual akhir. Sebab, bisa kita lihat bahwa seniman internasional seperti Richter seringkali menggunakan tekstur, lapisan, dan simbolisme warna untuk mengungkapkan perjalanan emosional serta kontemplasi atas masa lalu dan alam.
Sementara itu, karya Made Sudana — dengan kekayaan warna dan tekniknya — menyatu dalam tradisi global yang menekankan ekspresi batin dan hubungan manusia dengan kekuatan alam. Setiap perbandingan membuka ruang bagi interpretasi yang lebih luas – apakah kita merasakan refleksi visual karya “tanah merah” Sudana ini sebagai lambang kehidupan yang keras, atau sebagai medium untuk merenungkan keberadaan yang lebih mendalam?
Apakah elemen gestural dan lapisan pada karya-karya tersebut mengundang kita untuk kembali ke kenangan atau refleksi pribadi tentang perjalanan hidup? Nah, ini menarik untuk didiskusikan dengan perupanya, tentunya. [T]
- Sejumlah referensi diambil dari sejumlah sumber
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA