APA yang kamu bayangkan dalam kepalamu ketika menyebut kata Bali? Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, atau The Last Paradise?
Semua julukan tersebut mungkin benar adanya, namun bagi Dodit Artawan keindahan Pulau Dewata tak cukup bila hanya didefinisikan dengan beberapa baris kata tersebut.
Ada hal yang lebih nyata dan merasuk dalam ke setiap relung kota yang ada di Bali, hingga rasanya menjadi masalah bagi semua orang. Hal itu tak lain adalah sebuah kenyataan bahwa kini imaji tentang Bali kerap dipenuhi perbincangan tanpa henti perihal kemacetan.
Bali yang kecil kini seakan terkepung oleh padatnya kendaraan yang lalu Lalang, memenuhi jalan hingga trotoar. Sehingga menjadi seorang pejalan kaki di Bali bisa menjadi tantangan tersendiri, kalau bukan karna lubang, bisa saja dari belakang ada saja motor nakal,yang merampas hak pejalan kaki, tak hanya warga lokal, bahkan hingga warga luar negeri menjadi ikut-ikutan karenanya.
Dodit menangkap setiap fragmen kecil dalam kemacetan yang sering ia hadapi, baginya setiap objek dan suasana yang terbangun dalam kemacetan adalah keindahan yang unik. Spanduk iklan, tulisan belakang mobil hingga barang bawaan yang dibawa setiap kendaraan menjadi gambaran umum yang ia tangkap dalam kekaryaannya.

Hal itulah yang kemudian Dodit suguhkan dalam sebuah pameran bertajuk: Bali Macet yang dihelat di Titik Dua, Ubud. Bekerjasama dengan Toko Elami, 1 Maret hingga 16 Maret 2025. Ini sebuah solo exhibition yang memamerkan seluruh karya-karya dari perupa kontemporer asal Gianyar ini.


Ia menangkap berbagai kejadian serta objek-objek yang ia temui ditengah kemacetan jalan. Menggunakan visual dengan warna cerah yang datar, karya-karya Dodit mencoba mengajak kita untuk merayakan setiap bagian kecil dari kultur jalanan namun juga menjadi sebuah ironi tentang sebuah prilaku konsumerisme akibat dampak dari globalisasi yang mendera Bali tanpa terkecuali.
Irama garis yang teratur, hingga ratusan titik kecil memenuhi seluruh bidang kanvas, menciptakan persepsi yang intim dalam melihat karyanya. Gambar yang lugas dengan tipografi yang tegas, menjadi gambaran akan kenyataan yang ia coba pindahkan secara langsung ke dalam karya tanpa sensor sedikitpun. Memberi pengalaman yang memorabilia, membawa kita untuk masuk dalam situasi yang nyata akan kemacetan yang acap kali kita hadapi.
Pameran Dodit menawarkan satu wacana kontemporer yang sangat relevan dengan situasi Bali hari ini, ia hadir sebagai sebuah ironi yang tak bisa kita hindari. Dodit masuk dengan pendekatan sederhana yang kerap kali membawa unsur humor, memberi pantikan kecil bagi kita untuk mulai memikirkan kemana Bali akan berjalan.
Dodit mengemas kritik sosial dalam bahasa yang satir, menunggu untuk mendapat sebuah jawaban akan semua permasalahan yang hadir, menuntut sebuah solusi nyata akan kesadaran kita sebagai warga Bali.


Dengan kemacetan yang semakin tak terbendung bukan tak mungkin parawisata Bali yang dulunya penuh gelak tawa dan kebahagiaan, kini hadir dalam wajah murung dan suram. Jalan yang dulunya dikelilingi sawah kini tergantikan dengan tembok-tembok permanen, langit yang dulunya biru cerah kini tergantikan dengan gulungan kabel Listrik yang lalu Lalang melintang tak karuan, menyisakan sebuah pertanyaan.
Mau sampai kapan Bali macet….? [T]
Penulis: Made Chandra
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA