KENCANA Resto & Garden, Desa Pekalongan, Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, malam itu tampak sangat ramai, tidak seperti hari-hari biasanya. Orang-orang lintas usia mengular dan bergerombol di setiap sudut tempat tersebut. Sedangkan di sudut lainnya, berdiri panggung pertunjukan sederhana dengan dekorasi yang sederhana pula.
Di panggung sederhana itu tampak beberapa alat musik, mulai dari yang asli Indonesia hingga yang datang dari luar negeri. Di sana ada gendang, gitar, kontrabas, dan tentu saja terbang (rebana). Dan tak hanya alat musik, terlihat pula semacam wayang golek berbagai bentuk yang tertancap di tengah-tengah panggung pertunjukan.
Ya, sekitar empat ratus warga lintas usia itu berkumpul menikmati sajian seni pertunjukan kentrung—kesenian tradisi yang berkembang di sekitaran Tuban, Blora, Jepara, Pati, hingga Semarang—yang legendaris, Sabtu (26/10/2024) malam itu. Dengan antusias mereka menyaksikan sang maestro kentrung Pati, Ki Djaswadi, menunjukkan kebolehannya.
Di Pati, Jawa Tengah, Ki Djaswadi atau Mbah Jas, terkenal sebagai seniman multitalenta. Ia bisa pemain gendang, melukis, pemain ketoprak, aktor teater, pembuat wayang, penulis sastra Jawa, hingga kentrung.
Mengenai pertunjukan intim tersebut, Kurator Mitra Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) Rama Thahara mengatakan pentas ini merupakan rangkaian acara Pekan Kebudayaan Nasional yang saat ini tengah memasuki fase rawat. Sejatinya, PKN adalah event dua tahunan yang mana puncaknya baru akan dilaksanakan pada tahun 2025 mendatang.
“Pentas kali ini kami sebut sebagai fase rawat atau istilah gampangnya adalah pemanasan. Diharapkan dari adanya fase rawat ini kesenian tradisional kita bisa tumbuh dan berkembang agar nantinya bisa kita panen hasilnya pada PKN 2025 nanti,” ungkap Rama.
Rama menambahkan, pada fase rawat kali ini ada lima hub seniman meliputi Jawa, Sumatera, Sulawesi, NTT dan NTB, Kalimantan. Ada puluhan seniman dan kolektif yang saat ini melakukan residensi untuk saling bertukar praktik kesenian dan saling belajar, utamanya dengan maestro seni tradisi.
Seniman residensi yang bertugas di Pati diisi oleh Kolektif Resdon (Bogor), Wayang Suket Indonesia (Tuban), dan satu produser dari Kampung Budaya Piji Wetan (Kudus).
“Di Jawa, kami memilih seni kentrung sebagai objek sekaligus subjek yang akan digarap dan dikolaborasikan untuk mencipta bentuk baru,” ujar Rama.
Mbah Djaswadi, kata Rama, merupakan salah satu sosok maestro yang dianggap perlu diserap ilmu dan praktiknya dalam berkesenian. Kita tahu, sebagaimana telah disampaikan di atas, Mbah Djaswadi adalah seniman multitalenta dan multidisiplin yang sudah sangat jarang ditemui dan jarang seniman sekarang bisa melakukannya.
“Beliau sangat layak kita sebut sebagai maestro dan kami berterima kasih karena beliau berkenan menerima kami selama empat belas hari untuk belajar di sini,” kata Rama.
Sementara itu, Kepala Desa Pekalongan Ukhwatur Roi merasa bangga dan bersyukur bahwa di desanya ada sosok maestro yang kiprahnya telah diakui secara nasional. Ia berharap keteladanan Mbah Djaswadi ini bisa menjadi refleksi bagi seluruh yang hadir untuk menjadikan seni sebagai pembentuk budi pekerti yang luhur.
“Melihat pementasan Mbah Djaswadi ini ibarat kita muthola’ah kitab. Setiap hari kita melihatnya tidak bosan, karena selalu ada pelajaran dan keteladanan yang muncul dari tutur maupun perilakunya,” ujar Roi.[T]
Editor: Jaswanto
BACA artikel lain terkait PEKAN KEBUDAYAAN NASIONAL 2023