- Artikel ini adalah materi dalam public lecture “Membaca Dharma Pemaculan: Meruapkan Energi Ibu Bumi” serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF), Minggu, 25 Agustus 2024, di Sasana Budaya, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
Berhenti jadi petani, Pak!
Kita harus berhenti jadi petani! Begitu kata saya kepada Bapak dan Ibu suatu sore. Bapak kaget. Ibu terperanjat. Adik-adik diam mengerutkan dahi. Meski begitu, saya tahu mereka setuju. Tidak ada untungnya.
Menjadi petani di jaman sekarang harus siap dengan segala macam bentuk kejutan-kejutan yang tidak terprediksi. Misalkan persoalan biaya yang musti dikeluarkan untuk berbagai macam jasa. Contohnya jasa nraktor untuk tanah seluas satu are adalah 23 ribu rupiah. Bila seorang petani memiliki 10 are, berarti mereka harus membayar 230 ribu rupiah. Harga itu dibayarkan di luar dari kebutuhan lainnya untuk penjaja jasa traktor, seperti kebutuhan makan dan minum. Tidak boleh lupa 2 kali ngopi plus jajanan. Tentu saja rokok kadang-kadang.
Setelah traktor, petani dihadapkan pada kondisi tanah dengan tingkat keasaman yang makin tinggi. Barangkali ini imbas pemakaian pestisida atau memang air yang datang dari hulu sudah tinggi tingkat keasamannya. Karena itu para petani musti membeli pupuk Dolomit (penetral pH) kurang lebih seharga 50 ribu per satu sak. Satu sak itu isinya 50 kg.
Urusan lainnya yang harus dikelola petani tentu saja urusan benih, urusan tanam, serta perawatan. Urusan-urusan itu belum termasuk urusan adat dan upacara, yang juga butuh modal. Contohnya adalah urusan ngabut bulih (mencabut benih) yang nantinya akan ditanam, petani membutuhkan modal sekitar 80 ribu rupiah per orang. Untuk ngabut bulih yang akan digunakan pada 15 are tanah, dibutuhkan kurang lebih 4 orang pekerja.
Menanam pun punya persoalannya sendiri. Selain urusan etik berdasarkan kepada wariga dan juga kebiasaan, persoalan menanam hadir secara biologis. Ongkos jasa tanam adalah 90 ribu per orang (dari jam 7 pagi – 1 siang). Bila lebih dari jam 1, petani harus membayar kelebihannya sekitar 15 ribu per jam. Itu di luar makan, minum, kopi, jajanan, dan rokok. Di titik ini juga ada persoalan tersendiri bagi para penyedia jasa tanam. Kelompok menanam ini di wilayah saya disebut sekaa mamula. Beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2019 sekaa ini terdiri dari 4 orang yang semuanya berasal dari satu banjar. Pada tahun 2024, hanya tinggal 2 orang saja yang usianya kurang lebih sekitar 50 sampai 60 tahun. Karena kebutuhan tenaga kerja, mereka kini menerima pekerja dari luar banjar.
Persoalan lainnya yang dihadapi petani adalah pupuk. Menurut keterangan Bapak, sawah kami butuh pupuk Urea dan NPK. Urea (1 sak = 50 kg) seharga 112.500. Sawah seluas 15 are, perlu pupuk 30 kg. Sehingga bila dibagi, artinya per are butuh pupuk seberat 2 kg. Pupuk Urea itu perlu ditambahkan dengan Pupuk NPK (1 sak = 50 kg) seharga 125 ribu.
Begitu juga ngorodang, petani harus membayar jasa kurang lebih 80 ribu per orang per hari. Ditambah makan, minum, kopi, jajanan dan rokok. Ngorodang itu proses membersihkan gulma-gulma yang dapat mengganggu padi. Biasanya gulma ini berupa kapu-kapu.
Sedangkan biaya jasa panen, petani biasanya membayar dengan gabah. Bila dapat 7 kampil gabah, dibayar 1 kampil. Plus kopi dan jajanan. Setelah gabah didapat, kemudian dijemur lalu diselip atau digiling. Ongkos menjemur sampai menggiling dihitung dengan beras. Tiap-tiap 100 kg beras, jasa jemur dan giling dibayar sebanyak 4 kg. Pembayaran itu belum termasuk ongkos mesin penggilingan yang tiap-tiap 100 kg harus dibayar 8 kg. Bila sawah menghasilkan 100 kg beras, pada satu rangkaian proses saja, mereka sudah harus memotongnya sebanyak 12 kg.
Untuk urusan tekhnis semacam itu, bertani harus punya modal. Daftar di atas belum termasuk pembelian bibit, jaring (untuk pelindung), dan sebagainya dan seterusnya. Rupa-rupanya kita belum sama sekali mencatat pembayaran suwinih di atas. Sekadar informasi, suwinih itu sejenis pajak yang dibebankan kepada petani dan harus dibayarkan ke sebuah Pura. Di dalam kasus saya, suwinih itu dibayarkan ke Pura Puseh. Untuk tanah seluas 10 are, kami harus menghaturkan suwinih sebanyak 1 kg beras. Jalinan pajak tradisional ini berlanjut sampai ke Pura Ulun Danu Batur. Istilah yang digunakan bukan suwinih tetapi upon-upon yang berarti hasil panen. Sehingga bentuknya tidak selalu beras. Seringkali juga dilengkapi dengan uang kepeng Cina.
Akibat dari beberapa modal yang harus dipenuhi dalam rangka menumbuhkan benih-benih padi itu, saya tidak dapat mengelak dari hipotesis bahwa bertani di era kekinian tidak hanya menanam benih-benih padi. Tetapi benih-benih kepedihan. Atas dasar ini pula berkali-kali saya sampaikan agar Bapak berhenti jadi petani. Kita harus berhenti, Pak, Bu.
Saya juga tahu, Bapak dan Ibu sebenarnya malah tidak setuju dengan pendapat itu. Tetapi sebagaimana umumnya orang Bali kebanyakan, Bapak tidak menyampaikan ketidaksetujuannya terang-terangan. Ia memilih kata-kata yang pas, agar tidak terkesan berkonfrontasi, dan tentu saja tidak menyakiti lawan bicaranya. Ia memilih menyerang dengan senjata yang disarungkan. Ahimsa kata ajaran agama, artinya tidak menyakiti. Bapak pasti berpegang teguh pada prinsip itu, karena dari tradisi seperti itulah ia dilahirkan, dirawat, dan mungkin saja suatu saat nanti akan dimatikan. Saya bisa menyebut satu per satu contoh orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip tradisional seperti itu, entah dalam cerita atau dalam dunia nyata. Namun naasnya mereka dilibas jaman, kalau pun bertahan, hanya namanya saja. Itu pun kalau beruntung dan punya sedikit pengaruh. Kalau tidak, mereka pasti lenyap bagai ditelan bumi. Sunia dalam artinya yang paling harfiah. Tidak dikenal. Tidak punya eksistensi.
Sedangkan Ibu, mungkin mengira anaknya sudah gila karena terlalu banyak bergaul di kota. Pandangan itu wajar dimiliki oleh Ibu, yang setiap hari bergumul dengan pekerjaan rumah tangga. Ia sudah lama terisolasi dari dunia luar. Tidak membaca buku lagi. Belum lagi urusan canang-nya yang harus sedia setiap hari. Pajati tiap-tiap Purnama atau Tilem. Segehan tiap kajeng kliwon. Saking sibuknya, ia bahkan tidak sempat bertanya, untuk apa ia lakukan itu semua.
Entah bagaimana caranya, ia punya jalan lain untuk belajar. Belakangan ia gemar mendengarkan ceramah-ceramah agama di youtube. Kadang-kadang saya terperangah sendiri mendengar celetukannya soal pendalaman agama. “Caru artinya harmonis, kasih sayang” katanya. Kebetulan saya dan Bapak memang sedang bicara soal caru, kami bergulat pada bagaimana mestinya caru dilakukan. Tentang ayam apa harus di mana. Mantra apa dirapalkan kapan. Tentang mudra-mudra apa yang harus dilakukan dengan cara bagaimana. Tentang urip-urip dan segala kerijidannya. Pernyataan ibu seperti cendawan di antara kayu-kayu yang kami susun di atas tanah. Meski begitu, saat saya tanya balik kepadanya soal caru itu, “Kalau caru artinya harmonis, mengapa kita mengorbankan banyak nyawa di dalamnya? Ayam, bebek, babi, kerbau, kambing, mengapa mereka harus mengorbankan nyawa demi hasrat manusia untuk harmonis? Bahkan setelah caru dilakukan, perang muncul di mana-mana, menelan nyawa sesama manusia. Apakah carunya gagal, Bu?” Ibu diam, tidak menjawab. Barangkali guru-gurunya di youtube tidak menjelaskan hal-hal di luar materi yang mereka hafalkan dan sampaikan berulang kali di tempat-tempat berbeda.
Begitulah cara kami memecahkan hal-hal yang kadang lepas dari perhatian. Berusaha memaknai perilaku-perilaku yang seringkali luput. Tidak terkecuali saat kami bicara soal kemungkinan untuk berhenti jadi petani.
Bapak dan Ibu bertanya, kalau kita berhenti jadi petani, bagaimana nasib tanah leluhur kita? Dalam menghadapi pertanyaan sejenis itu, yang muncul di otak saya tidak lebih dari sekadar keheranan. Karena bahkan di saat-saat seperti ini, yang ada di pikiran mereka bukanlah menyelamatkan diri. Tetapi menyelamatkan tanah leluhur. Benda mati. Seolah-olah mereka tidak punya waktu untuk memikirkan diri mereka sendiri. Selain itu, mereka malah memikirkan sesuatu yang sudah hilang dari alam material seperti leluhur.
Keleluhuran memang konsep yang pokok dalam kebudayaan Bali. Orang bisa saling memenggal kepala karena urusan ini. Di dalam sejarahnya di Bali, bahkan kaum-kaum cendikiawan sampai-sampai bersitegang kalau urusan keleluhuran. Mereka tidak lagi berdiskusi tentang leluhur, atau menatapi berbagai macam perang yang telah leluhur mereka lalui bersama selama bertahun-tahun, entah dengan penjajah atau saudara sendiri. Para kaum terpelajar itu justru gontok-gontokan soal leluhur siapa yang lebih luhur dari leluhur siapa. Siapa yang lebih pantas diajak bicara dengan bahasa halus dan siapa yang tidak. Kaum cendikiawan ini tidak lagi peduli konsep ahimsa, tidak seperti Bapak.
Pertanyaan Bapak dan Ibu tadi tidak bisa saya jawab dengan tegas. Meskipun terdengar sederhana, di dalam pertanyaan itu ada ide-ide lain yang tidak sederhana yang melatarbelakanginya. Semisal ide tentang Dharma Agama dan Dharma Negara. Kata Dharma di dalam konteks itu berarti kewajiban. Kata Agama berarti keyakinan yang dipersamakan dengan religi. Sedangkan kata Negara mengacu kepada term negara dalam artinya di masa modern ini, yakni sebuah identitas kebangsaan yang satu dan satu-satunya. Pertanyaan Bapak yang diajukan kepada saya, berlandaskan kepada kedua hal tadi. Secara Agama, Bapak meyakini ada sesuatu yang liyan di luar sana yang akan mempengaruhi hidup bila ditolak keberadaannya. Secara Negara, Bapak manut pada dogma-dogma bahwa manusia haruslah menaruh hormat kepada hal-hal yang seolah-olah telah melindunginya dari penderitaan. Paradoksnya, kepada hal-hal yang ia yakini dan hormati itulah hidupnya ia persembahkan. Ia rela menderita demi keduanya.
Mereka merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan swadharma dari para leluhur yang dahulunya memacul tanah. Sebagai keturunan yang baik, maka swadharma itulah yang harus dilanjutkan. Tidak boleh tertinggal secuilpun. Meninggalkannya berarti melanggar norma adat kesopanan dan sekaligus tuduhan ketidaksetiaan. Bagi kebanyakan orang Bali, dituduh tidak setia merupakan tuduhan paling menyakitkan. Terutama di tengah-tengah keyakinan mereka – yang dibangun oleh wacana-wacana sastra-agama – bahwa kesetiaan adalah sahabat paling unggul: norana mitra manglewihane kasatyan, kata Nitisastra. Tak pelak wacana-wacana sastra-agama inilah yang dihandalkan sebagai senjata paling tajam untuk menyerang lawan bicara bila tuduhan ketidaksetiaan diarahkan ke ujung hidung mereka. Contoh-contohnya jelas, seperti praktik masatya yang dilakukan sampai akhir abad ke-19. Meskipun di sisi lain, mata pisau satunya sudah mengarah ke leher mereka. Menjadi orang Bali berarti menjadi manusia dengan ribuan mata pisau yang mengarah ke diri serta siap menikam kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja.
Terakhir, kepada Bapak dan Ibu, saya setuju soal anugerah beserta ungkap rasa syukur kita kepada para Dewata. Tuhan tidak pernah mati di lubuk hati. Setidaknya hati kita sendiri. Bila Bapak dan Ibu tidak mau berhenti jadi petani, mari kita memejamkan mata sejenak, sambil mendengarkan soundtrack-soundtrack dari film The Flowers of War karya Zang Yimou. Di dalam kegelapan itu lamat-lamat kita renungkan, jangan-jangan semua kepedihan ini tercipta saat Tuhan sedang ‘mabuk.’ [T]
- BACA artikel lain terkaitSINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024