AKU memeluknya seperti boneka kecil, lalu mencium keningnya lembut. Semprotan air yang terus ke luar dari shower menerpa tubuh kami sengaja ia matikan pelan-pelan. Kemudian ia berbisik di telingaku, kata-katanya meruntuhkan ketulusanku.
“Jika kau perlakukan aku seperti ini, aku teringat pada Mas Refli, kau dan dia punya kekurangan dan kelebihan masing-masing dalam bercinta!”
Bayangkan sehancur apa hatiku. Aku tidak suka dibanding-bandingkan dengan siapapun, walaupun aku yang dimenangkan. Dengan segera aku melepas pelukan itu. Ketika aku dan istriku bercinta, malah ia mengingat lelaki lain, walaupun itu mantan suaminya yang sudah meninggal, tetap aku merasa cemburu.
Waktu kami pacaran dulu, ia sering membuat status yang menunjukkan ia belum bisa melupakan masa lalu itu. Membuat kegundahan tumbuh di hatiku, karena perasaan rindunya yang masih membuncah-buncah pada almarhum suami, dan aku bisa memaklumi, karena suaminya meninggal baru beberapa bulan waktu itu.
Contoh statusnya yang panjang dan menggunakan foto yang pernah dipostingnya seperti ini:
Malam ini akusengaja duduk di halte, sembari menunggu ojek online. Aku melihat begitu banyak orang yang berlalu lalang di depanku, tetapi aku menyadari satu hal, dari sekian banyak orang tersebut, ternyata aku tidak akan bisa melihatmu lagi.
Awalnya aku diam, tapi lama-lama aku tak tahan, kecemburuan dalam jiwaku terus memberontak, dan akhirnya membuatku tersakiti sendiri. Tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya melampiaskan kekesalanku lewat ketikan, dan kukirimkan untuknya pesan itu.
Pesan yang ditulis Resti untuk almarhum suaminya membuatku marah, sampai-sampai berniat meninggalkannya waktu itu. Dan dia membalasku yang kesal dengan kata-kata yang lembut pada pertemuan kami di rumah seseorang.
“Sayang, tadi aku ulang lagi baca pesan kamu, dan ternyata di sini aku yang tidak menjaga perasaan kamu. Aku tidak bermaksud seperti itu, dan aku minta maaf. Sekarang aku tidak mau membahas hal yang berlalu. Intinya sekarang cukup aku dan kamu, dan cerita kita ke depannya. Aku ingin kita membahas tentang kita saja, dan aku janji hal seperti ini tidak terjadi lagi. Aku tidak mau kamu merasa masih ada hal lain di pikiran aku. Aku ke depannya hanya fokus ke kamu, karena kamulah yang ada di hidup aku sekarang, seperti yang pernah kubilang sebelumnya, Tuhan mengambil sesuatu dari aku, tapi Tuhan juga menggantikan sesuatu itu dengan kehadiran kamu. Aku merasa memang kamulah teman hidup aku ke depannya. Aku harap seperti itu ya. Jadi jangan memikirkan apa-apa lagi. Kita fokus saja dengan cerita kita dan kehidupan kita. Tidak usah mengingat masa lalu yang telah usai!”
Ucapannya begitu santai dengan keyakinan penuh. Ia mampu menyihirku, dan memang ia berhasil membuatku terpesona.
Ternyata kata-katanya omong kosong belaka, dan tidak seharusnya aku percayai waktu itu. Kenyataannya ia menyimpan seseorang dalam hati. Apa benar kata-kata teman perempuanku dulu, rahasia perempuan yang sulit terungkap, ia bisa mencintai dua lelaki sekaligus dalam waktu bersamaan, dan yang buaya itu bukan saja lelaki macamnya. Aku merasakan itu sekarang, aku yang tulus mencintainya ia sia-siakan, dan aku sadar, cinta tak bisa dipaksakan. Aku sering melihat sinaran cinta di matanya, aku bahagia sekali. Tapi setelah aku tahu itu bukan untukku, aku pun remuk seperti sepotong kue yang digenggam, kemudian diperas sekuat-kuatnya, lalu dicampakkan.
Apa aku harus membalas keperihan yang di lemparnya untukku? Apa perlu aku bercerita tentang kisahku ketika aku berpacaran dengan perempuan Eropa itu? Lalu aku menyebut-menyebut nama perempuan itu dengan lembut di depan istriku menunjukkan kerinduanku, biar dia cemburu seperti yang aku rasakan.
Dulu semasih pacaran, aku tidak berhak marah berlebihan, karena ia belum resmi jadi milikku. Sekarang dia istriku, dan aku ingin ia mencintaiku seorang saja, tidak boleh ada orang lain dalam pikirannya.
“Aku sudah bilang padamu dulu, aku seorang janda, dan tentu punya masa lalu. Bukan saja dengan almarhum, tapi juga dengan keluarganya!”
Aku yang berharap ia bisa menyingkirkan nama itu dariku setelah aku jadi suaminya, ternyata gagal. Masih sering nama itu disebut. Aku ingin, jika ia masih mengingatnya terus-terusan, cukup dalam kesendiriannya, jangan di dekatku. Apalagi sampai ia menyeret-nyeretku untuk bicara tentang itu, tapi ia tak pernah mengerti aku.
“Makanya seseorang yang menikah dengan janda, adalah seorang yang harus bisa berlapang dada. Dan bisa jadi nanti kau mengalami hal yang lebih sulit dari ini. Misalnya kau dibanding-bandingkan nanti dengan almarhum suamiku oleh keluarganya, lalu mereka memburukkanmu!”
Ia terus memukulku, dan aku semakin tak tahan. Aku teringat pada gadis Eropa itu, kulitnya yang putih membuatku ingin memeluknya terus tanpa lepas. Tapi aku terpaksa menyuruh ia pulang, setelah ia mengakui ketulusan cintanya padaku. Ia mau mencopot keyakinannya lalu pindah agamaku. Tapi orang-orang di kampungku bilang, itu pasti bertahan sebentar, apalagi orang tuaku tak merestui walaupun perempuan Eropa itu sudah menyatakan mau tinggal di Indonesia bersamaku. Akhirnya ia pergi ke negaranya dengan perasaan hampa, dan aku memilih hidup bersama Resti.
“Apa yang ingin kau katakan, katakan saja meskipun kau yakin itu membuatku marah!”
Istriku tahu, aku menyimpan sesuatu dalam pikiranku.
“Kalau kau pernah punya pacar sebelum menikah denganku, itu hal yang wajar bagi seorang laki-laki, dan aku tidak kecewa karena itu!”
Sepertinya ia tahu apa isi dalam kepalaku. Perempuan Eropa belum hilang dalam ingatanku. Aku melihat ia ada di sini menyaksikan perseteruanku dengan istriku, dan ia tersenyum, lalu berkata singkat, Johan, itulah hukuman bagi laki-laki yang telah menyingkirkan ketulusan seorang perempuan, lalu kau terhempas pada pelukan yang salah. Aku merasakan rindu yang tak terbendung pada perempuan Eropa itu secara tiba-tiba setelah perang dengan istriku.
“Aku sedang memikirkan perempuan Eropa itu!” Walaupun sekilas, ia memang tahu tentang perempuan itu.
“Kenapa kau belum bisa melupakan dia? Kan sudah ada aku di sisimu.” Ia begitu egois. Semakin kuat keinginanku untuk menyakiti hati istriku.
“Sama sepertimu, yang belum bisa melupakan Refli!”
Mendengar jawabanku, ia memalingkan wajah.
“Selama kalian pacaran, apa kau pernah ke negaranya? Maksudku ke rumahnya langsung, bertemu dengan orang tuanya?” Ia menatapku kembali.
Aku mengangguk, membuat ia semakin kesal. Aku yang sengaja memanas-manasinya ingin tahu, bagaimana reaksinya menanggapi masa laluku dengan perempuan Eropa itu.
“Itu sih masa lalumu, yang mungkin bisa terulang lagi, beda denganku. Walaupun aku cerita semesra apa tentang suamiku, itu tidak akan bisa terulang lagi, karena dia sudah mati!”
Ia menunjukkan sikapnya yang tak mau kalah, dan yang tak mengerti aku yang cemburu pada yang sudah mati itu, dan aku harus melawan pendapatnya.
“Bisa saja kisahmu terulang di surga nanti!”
Mendengar ucapanku ia tertawa.
“Pikiranmu terlalu jauh, lagian belum tentu aku dan Refli masuk surga!”
Ia tetap dalam pendiriannya, tak ada niat mengubah sikap agar ia jangan membuatku cemburu lagi. Saatnya aku beraksi untuk membuat ia benar-benar sakit hati.
“Kalau ada reski dan kesempatan aku ingin ke Belanda untuk beberapa hari menemui perempuan Eropa itu, aku sangat merindukannya,” ucapku tegas.
Ia menggigit bibir, lalu meludah di atas lantai, kemudian ia keluar dari kamar mandi sambil membanting pintu.
Konflik yang terjadi antara aku dan dia, semakin hari membesar. Berhari-hari aku tak pernah menyentuhnya.
***
Istriku mendatangiku yang lagi duduk di teras rumah sambil baca buku, ia menangis dan meminta maaf. Tapi entah kenapa, aku pun tak tahu apa yang terjadi pada diriku, yang jelas hatiku masih keras. Menurutku tak pantas diberi ampun kesalahan istriku. Karena istri yang terus mengingat lelaki lain yang sudah mati, itu adalah bentuk perselingkuhan yang halus, dan apapun bentuk perselingkuhan tidak bisa diberi ampun.
“Kau tidak salah apa-apa Resti. Kau boleh mengingatnya terus, dan juga mencintainya. Jejak hati pada seseorang yang sudah bisa membuat kita nyaman dalam kenangan, tidak akan bisa dihapus oleh orang lain!”
Airmatanya masih titik, ia belum berhenti menangis.
“Maafkan aku sayang, tolong maafkan aku.”
Aku sudah berpikir matang dalam beberapa hari ini. Kelakuannya yang menyebut-nyebut kemesraan dengan suaminya tak akan pernah ia tinggalkan. Jalan terbaik aku harus menceraikannya. Aku berusaha untuk tidak membencinya. Aku mengambil keputusan bulat ini, karena ingin menyelamatkan diriku dari perempuan yang mencintai dua orang laki-laki dalam waktu bersamaan. Aku tidak mau dicintai perempuan yang juga memikirkan lelaki lain, aplagi ia sudah mati. Bersaing dengan dia yang telah mati saja aku kalah, apalagi kalau ia hidup kembali, semakin tercecerlah aku yang tercela ini dibuatnya.
“Dalam bulan ini aku ke Belanda bertemu Aleid.”
“Terus bagaimana denganku?”
“Aku tidak bisa mencintai perempuan yang isi kepalanya juga memikirkan lelaki lain.”
***
Bayangkanlah kemudian, aku sudah tiba di Belanda bertemu dengan Aleid yang sudah punya suami.
“Percuma kau datang. Dulu kau mencampakkanku di Indonesia, sekarang aku yang menyuruhmu pergi dari negaraku. Lelaki yang tidak punya perasaan sepertimu, tidak pantas menginjakkan kaki di negeriku!” Akhirnya aku pulang membawa luka. [T]
BACA cerpen lain di rubrik CERPEN