DIDAMPINGI sejumlah pengawalnya, Robert mengadakan jumpa pers yang diadakan di salah satu kafe miliknya. Ia memang memiliki sejumlah kafe, klab malam dan agen penyalur jasa keamanan. Tentu saja, semua itu adalah bisnis-bisnis legal yang sebetulnya digunakan untuk menutupi berbagai bisnis hitam yang dimilikinya sebagai penghasil utama kekayaan supernya.
Namun, jumpa pers yang dilakukannya bukanlah untuk sebuah kabar baik terkait pengembangan bisnisnya. Ia hendak menyampaikan sebuah respon tak terduga dari seorang bos mafia atas rencana aparat penegak hukum yang sedang menyidiknya dan sudah pasti akan menangkapnya.
Ia menjadi tersangka atas dugaan peredaran narkoba, penculikan dan pembunuhan saingan bisnis serta pemerasan terhadap aparat pemerintah yang menghalangi berbagai bisnis ilegalnya. Sungguh sangkaan kejahatan yang dapat memberinya ancaman hukuman amat berat. Bisa saja hukuman mati. Ia, seperti biasanya, tampak tenang seakan tak terjadi apa-apa. Di hadapannya, sejumlah jurnalis dari berbagai media sudah menunggu.
“Dengan segala hormat, saya menghargai langkah-langkah yuridis yang telah dan akan dilakukan oleh para penegak hukum!” Suara Robert yang nyaring memecah suasana.
Seketika, para wartawan yang berada di sana, dari bahasa tubuhnya, berebut ingin bertanya. Isu yang menerpa Robert, memang seakan pusaran tornado yang sedang menyedot perhatian semua warga di kota pesisir yang ramai itu.
“Saya, Rita, dari Pos Kota. Apakah Anda akan melakukan pembelaan diri, atas berbagai tuduhan yang ditujukan kepada Anda?” Seorang wartawan wanita muda, bertanya dengan tergesa-gesa.
Robert tersenyum. Sebelum menjawab, ia menyeruput air mineral dalam botol kemasan. Ia tidak merokok dan dengan kemeja berkerah lengan pendek yang dikenakannya, kedua lengannya tampak lembut dan halus. Ia bahkan tidak memakai arloji maupun cincin.
“Tentu saja saya akan melakukan langkah-langkah efektif sesuai aturan hukum. Jika diperlukan saya akan menyewa pengacara!”
Robert masih tersenyum dan kemudian melanjutkan bicaranya.
“Apakah kalian punya kenalan pengacara yang bagus?” Bos mafia itu mulai memainkan gimik. Awak media dan para pengawalnya tertawa dan tersenyum.
“Izin, saya Dony, dari HotNews. Pak, pihak kepolisian dan kejaksaan mengumumkan akan menangkap Bapak dalam waktu dekat. Apakah Bapak tidak melihat ini sebuah pernyataan terlalu terburu-buru?” Seorang wartawan pria, tampak senior, seakan merasa hebat dengan pertanyaan krusial yang diajukannya.
Kali ini Robert tak hanya tersenyum, bahkan ia tampak menahan tawa.
“Hal itu, silakan kalian saja yang menilai. Sekali lagi saya menghargai kerja aparat penegak hokum!”
Robert mengambil botol air mineral yang baru, membukanya lalu menenggaknya hampir separuh habis. Meskipun tampak tenang, keringatnya tampak membasahi keningnya di ruangan ber-AC itu.
Tiba-tiba, seorang wartawan lain bertanya. Ia seorang laki-laki, bereperawakan tegap dan berambut tipis, duduk paling belakang. Sepertinya ia datang agak terlambat.
“Selamat sore, Pak Robert dan rekan-rekan media semua. Saya Hary, dari media online OnTime!”
Robert dan para pengawalnya tampak sedikit kaget, namun berusaha bersikap biasa. Mereka tahu, siapa Hary ini dan segala sepak terjangnya. Para koleganya sesama wartawan menoleh ke belakang, karena tadi saat jumpa pers dimulai ia belum hadir.
“Sore, Pak Hary!” Robert langsung membalas sembari menggerakkan tangan kanannya memberi kode hormat ke samping kepalanya.
“Terimakasih sudah hadir. Saya yakin, jurnalis kritis dan pemberani seperti Pak Hary ini dapat diandalkan membuka kebenaran yang selama ini diselimuti mendung prasangka!”
Robert mencoba bernarasi bijaksana, namun masih terasa sedikit dipaksakan.
Hary cuma tersenyum. “Maaf, Pak Robert. Saya mau bertanya, kenapa jumpa pers ini perlu dilakukan?”
Pertanyaan yang tak diduga-duga tersebut, membuat Robert dan para pengawalnya tampak terganggu. Namun ia cepat membalas.
“Seperti yang tadi sudah saya sampaikan. Ini sikap saya merespon kerja aparat. Karena banyak isu yang mengatakan saya akan melawan atau melarikan diri. Sesederhana itu!” Robert berusaha tersenyum.
“Apakah termasuk juga untuk membantah anggapan orang-orang, bahwa selama ini Pak Robert tak tersentuh hukum?” Hary kembali menyerang.
Wajah para pengawal semakin tegang, Robert masih bersikap tenang dan sambil tertawa menjawab.
“Hahaha… kadang, anggapan-anggapan memang perlu dijawab dengan sikap dan fakta. Bila perlu fakta yang paling mengesankan!”
Akhir kalimat Robert terasa tajam. Ia melihat jam dinding di tembok kafe di hadapannya dan tiba-tiba meminta izin.
“Mohon maaf rekan-rekan. Saya izin ke toilet dulu, hari ini saya terlalu banyak minum air. Sebentar saja, mohon menunggu!”
Robert bergegas dan diikuti beberapa orang pengawalnya.
Para wartawan mengikuti Robert hanya dengan pandangan sampai orang penting kaya raya itu menghilang di balik koridor menuju toilet laki-laki. Sementara kedua pengawalnya menunggu di ujung koridor yang masih tampak dari pandangan orang-orang yang berkumpul di dalam kafe mewah tersebut.
***
Secara fisik, sedikitpun ia tak menunjukkan tampang seorang bromocorah. Rambutnya masih hitam di umur 50 tahun dan selalu pendek disisir rapi. Lebih sering memakai celana kain gelap dan kaos lengan pendek berkerah, ia lebih cocok seorang pemilik toko kelontong yang banyak bertebaran di kota itu. Bahkan sepatuya tampak tak pernah berganti baru, sepatu kets Converse coklat tua.
Ia tidak merokok, tidak minum alkohol apalagi bertato. Semua itu, jauh dari kehidupannya yang “sehat.”
Ia sayang keluarga. Sering pergi berlibur bersama istri dan anak gadis semata wayangnya. Namun di balik itu, sebagian lebih warga kota sangat meyakini dialah otak hampir semua tindak kejahatan di kota itu dan kota-kota sekitarnya. Namun hebatnya, ia seakan tak tersentuh hukum. Menemukan bukti hukum dari gembong kejahatan terorganisir dan memiliki banyak pengikut, bukanlah hal yang mudah.
Sudah sekitar 10 menit, Robert belum keluar dari toilet. Apakah ia buang air besar? Namun baru saja Robert mengatakan ia cuma mau kencing dan meminta para jurnalis menunggu sebentar.
Kini sudah hampir 20 menit. Jangan-jangan ia pingsan karena syok menghadapi masalah yang begitu mengerikan? Namun pembawaannya jelas-jelas begitu tenang. Semua pengawalnya sudah merapat ke ujung koridor toilet pria kafe tersebut. Apakah ia nekat bunuh diri?
Setelah 30 menit telah lewat belum juga ada tanda-tanda Robert keluar dari toilet, para pengawalnya memutuskan untuk mengetuk pintu toilet yang digunakan bosnya dan memanggil-manggil namanya. Sama sekali tak ada jawaban dari dalam.
Beberapa wartawan mulai ikut mendekat. Bahkan ada yang telah bergabung dengan para pengawal bos mafia itu. Agak aneh, para pengawal tersebut tak melarang wartawan untuk mendekat. Mungkin mereka telah kehilangan fokus lantaran situasi janggal dan penuh tanda tanya itu. Tak adanya tanda-tanda keberadaan mahluk hidup dari dalam toilet itu, telah menambah ketegangan suasana di kafe itu.
Para pegawai kafe dan sejumlah pengunjung pun mulai berkumpul di sekitar koridor toilet. Para pengawal akhirnya memutuskan membuka paksa toilet itu. Dan, saat dibuka, semua orang yang dapat melihat langsung ke dalam toilet itu terkejut bukan kepalang dan tak kuasa menahan teriakan histerisnya.
Teriakan histeris para pengawal dan beberapa wartawan, seketika menjalari semua orang yang ada di kafe, di sore menjelang malam yang diselimuti mendung tebal itu.
Di dalam toilet berukuran 3×4 meter itu, tubuh Robert bersimpuh di depan kloset marmer dengan badan rebah di atasnya. Pemandangan yang begitu mengerikan, tubuh itu sudah kehilangan kepalanya. Dari leher yang terpenggal itu, masih mengucur darah memenuhi kloset yang baru saja digunakannya untuk buang air kecil. Hanya sedikit sekali ada percikan darah yang mengotori lantai maupun dinding toilet tersebut. Sepertinya, pembunuhan itu dilakukan dengan sangat rapi. Saat Robert buang air kecil, perlu beberapa orang untuk menahan dan mengekangnya dari belakang. Menekan kepalanya ke lubang kloset, lalu menyembelihnya dengan pisau tajam dan kuat hingga lehernya terputus. Lalu mereka membawa pergi kepalanya, tanpa izin.
Dalam hitungan menit, beberapa petugas dari kepolisian setempat sudah datang. Mereka memasang garis polisi, melakukan oleh TKP dan menanyai beberapa saksi mata. Tentu saja mengamankan rekaman kamera CCTV kafe, yang memang milik Robert.
***
Ada lima orang polisi yang datang. Tiga orang petugas laboratorium forensik, sisanya dari unit pembunuhan. Petugas forensik mengambil sampel korban dan memotret semua hal yang dipertimbangkan menjadi barang bukti dan petunjuk dari peristiwa pembunuhan tersebut. Sudah pasti itu sebuah pembunuhan berencana.
Sementara petugas dari unit pembunuhan telah memeriksa toilet dan seluruh akses gedung. Mereka menemukan lubang tempat eksosfen toilet itu telah rusak dan ukurannya melebar, cukup untuk seorang penyusup keluar masuk. Lubang outdoor eksosfen itu berhubungan dengan halaman belakang kafe yang berbatasan dengan semak-semak.
Polisi merasa yakin takkan sulit membereskan kasus pembunuhan keji itu. Mereka segera melakukan wawancara dengan beberapa saksi mata.
Yang pertama dimintai keterangan adalah kepala pengawal pribadi Robert. Mereka duduk berhadapan di salah satu meja.
“Di mana posisi Anda saat korban ada di dalam toilet?” tanya salah seorang petugas yang lebih tua, dengan sikap formal. Ia seorang kapten, tertulis di dadanya nama Irvan. Sejawatnya yang lebih muda, bernama Andre, seorang polisi berpangkat sersan, memperhatikan saksi mata penuh tato itu.
“Saya dan beberapa rekan menunggu di ujung koridor,” jawab kepala pengawal itu yakin.
“Apakah Anda tidak mendengar suara apapun, atau keributan, saat menunggu di ujung koridor?”
“Tidak, sama sekali tidak!”
“Kenapa Anda perlu menunggu sampai kurang lebih 30 menit sebelum membuka paksa pintu toilet?”
“Mungkin Anda juga akan begitu. Menunggu. Bos saya tidak memberi pesan apa-apa dan ia tidak sakit. Jadi kami merasa tidak perlu terlalu khawatir!” Kepala pengawal itu menghisap rokoknya dalam-dalam, ketegangan pada wajahnya masih jelas terlihat.
“Apakah Pak Robert pernah bercerita kepada Anda sebagai kepala pengawal, ia memiliki musuh?” Petugas itu bersikap lebih serius. Rekannya terus menulis.
“Kalau musuh bisnis, saya rasa banyak. Ini kota, penuh persaingan keras, Bos!”
“Adakah yang bersangkutan pernah meminta pengawalan lebih ketat karena ada yang telah memberinya ancaman misalnya?” Pengawal itu tampak berpikir, membuang puntung rokoknya dan menggeleng.
“Seingat saya tidak ada!”
“Baiklah, untuk saat ini kami rasa sudah cukup. Terimakasih atas keterangan Anda. Jika kiranya ada hal-hal penting, tolong infokan kepada kami!”
Pengawal itu cuma mengangguk.
Saksi mata berikutnya yang akan diwawancarai adalah Hary. Polisi meminta salah seorang wartawan untuk memberi keterangan dan para jurnalis memilih Hary. Sebetulnya ia seorang polisi, terakhir berpangkat kapten, yang telah mengundurkan diri kedinasannya. Kini ia menjadi seorang wartawan sangat kritis. Ia mengundurkan diri dari kepolisian, karena hati nuraninya terus berlawanan dengan kondisi institusinya yang penuh kecurangan dan korup.
Hary dipeluk oleh petugas yang bernama Irvan, karena tentu saja mereka masih sempat bertugas bersama sebelum ia mengundurkan diri. Andre yang kebagian mewawancarainya, menyodorkan kedua tangannya untuk bersalaman dengan seniornya itu. Mereka tak sempat bertemu secara kedinasan, namun anehnya, telah merasakan ada cukup kedekatan diantara mereka.
“Izin, Pak Hary!” Andre bersikap hangat.
“Siap, Sersan!” Hary tersenyum
“Di mana posisi Bapak saat korban ada di dalam toilet?”
“Awalnya tetap di kursi di ruang jumpa pers. Setelah keributan, saya mendekati toilet!”
“Apakah Bapak mendengar keributan atau teriakan?”
“Tidak!”
“Apakah Bapak melihat semua pengawal saat korban di dalam toilet?”
“Ya, mereka berkumpul di ujung koridor toilet!”
“Apakah ada salah satu atau lebih dari mereka, yang menyusul ke toilet sebelum 30 menit berlalu?”
“Seingat saya, tidak ada, Sersan. Mereka secara bersamaan membuka paksa pintu kira-kira setelah 30 menit kemudian!”
“Baik, Pak Hary, terimakasih atas keterangannya. Jika ada hal penting yang Bapak ketahui, mohon diinfokan kepada kami!” Polisi muda itu memohon.
“Pembunuhan ini, terlalu sempurna!” kata Hary. Pandangannya menerawang, dan Sersan Andre kelihatan kaget. Kapten Irvan tak acuh.
Masih ada beberapa saksi mata lagi yang ada di TKP telah memberi keterangan, namun belum ada informasi yang cukup signifikan sebagai petunjuk. Sersan Andre semakin ragu, apalagi saat mengecek kamera CCTV di kafe tersebut mendapat informasi yang tak pernah ia harapkan.
Kamera CCTV telah rusak dan tak berfungsi sejak seminggu sebelum kejadian tersebut. Saat berdiskusi dalam perjalanan kembali ke kantor, ia mengutarakan kejanggalan ini. Anehnya, Kapten Irvan sebagai seniornya tak menanggapinya dengan serius. Tiba-tiba terngiang di telinganya kata-kata Hary, “Pembunuhan ini, terlalu sempurna!”
***
Suasana di ruang forensik RS kota begitu ramai. Seorang gembong mafia berpengaruh, banyak pengikut dan pemimpin kejahatan terorganisasi, ditemukan kepalanya terpenggal. Di tempat miliknya sendiri, di antara para pengawalnya. Hari ini jasadnya diserahkan kepada keluarganya.
Tampak istri dan anak gadisnya, dengan beberapa anggota keluarga serta para pengawalnya. Istri dan anak itu memakai kaca mata hitam dan masker. Beberapa petugas polisi tampak berjaga-jaga. Kepada sejumlah wartawan yang mengerubunginya, istri Robert sedikit berbicara dan terbata-bata.
“Kami mengutuk tindakan keji yang merenggutkan nyawa suami dan ayah kami. Kami meminta aparat penegak hukum untuk mengejar pelaku dan memberikan hukuman seberat-beratnya!”
“Kami turut berduka, Bu Robert. Adakah pihak-pihak yang Ibu duga sebagai dalang pembunuhan suami Ibu?” Salah seorang wartawan mencoba bertanya.
Wanita itu tak menanggapi. Beberapa pengawal langsung memisahkan keluarga yang sedang berkabung itu dengan para wartawan.
“Sudah ya. Cukup, cukup ya. Tolong hormati keluarga. Terimakasih!”
Di antara para wartawan tampak pula pensiunan polisi itu, Hary. Sersan Andre mendekatinya dan membisikinya sesuatu. Lalu mereka berjalan menuju kantin RS. Mereka memesan minuman lalu duduk berhadap-hadapan.
“Pak Hary!” Nada kalimat sersan itu seakan mengadu.
“Siap, Sersan!” Hary seperti memahami perasaan penyidik belia di hadapannya.
“Pak Hary bilang kejahatan ini terlalu sempurna. Sepertinya ucapan Bapak benar.”
“Oh ya?”
“Sampai hari ini kami belum menemukan petunjuk apa pun. Musuh-musuh bisnis Pak Robert, sepertinya tidak terlibat.”
“Sudah buka rekaman CCTV?”
“Aneh sekali. Kamera CCTV di kafe tempat kejadian sejak seminggu sebelumnya rusak!”
Sikap Hary semakin antusias, bibirnya sekilas tersenyum.
“Hanya ada beberapa rekaman dari sejumlah kamera CCTV di luar TKP. Sebuah mobil minibus hitam memang datang menuju halaman belakang kafe pada estimasi jam yang sesuai dengan ketika Pak Robert masuk ke toilet. Begitu berbelok ke area belakang kafe, sudah tak terpantau lagi. Sekitar setengah jam kemudian, minibus hitam itu terpantau kembali ke arah yang berlawanan. Sepertinya menggunakan plat nomor kendaraan palsu. Terpantau melewati beberapa rest area, lalu menghilang di hutan bakau di pinggir kota. Hingga kini mobil itu tak terlacak posisinya.”
“Sersan. Yang kita hadapi adalah pembunuhan dengan jasad korban tanpa kepala.” Hary tampak gelisah.
“Ya, Pak Hary, seperti yang kita ketahui bersama. Pelaku mengambil kepala korban.”
“Untuk apa?” kata Hary.
Sersan Andre agak kaget dan tak mampu menjawab.
Hary bicara lagi. “Mengambil kepala korban bukanlah modus yang lazim. Itu hanya dilakukan oleh psikopat atau tradisi perang masa lampau!”
Andre terus meresapi analisis seniornya dan ia merasa memahami maksud yang tersirat dari pemaparan wartawan itu. Lalu ia memotong.
“Tes DNA sudah keluar dan hasilnya sesuai dengan korban!”
Hary berusaha bersikap menghargai, namun tetap memberi pendapat.
“Bila mana institusi ini bersih dan berintegritas, saya pun bisa meyakini. Apa sih yang tak bisa dimanipulasi jika suara sebagian besar warga kota saja bisa diabaikan? Tes DNA sekalipun. Saran saya, jika sersan ingin menguak kebenaran, segera cek dokumen berita acara pengambilan sampel korban!”
Sersan Andre tampak tegang dan gelisah.
Hary melanjutkan. “Kejanggalan sudah dapat saya rasakan dari acara jumpa pers itu sendiri. Jika taat kepada hukum, bukankah cukup menyerah saja saat ditangkap?”
Andre semakin penasaran.
“Jumpa pers itu sebuah panggung. Sebuah panggung bagi Robert dan gerombolannya serta oknum-oknum aparat penegak hukum jahat dalam lingkaran bisnisnya!” kata Hary.
Andre semakin lekat memandangi seniornya. Ia seakan mendengarkan kuliah strategi intelejen dari guru terhebatnya.
“Lalu kamera CCTV yang tak berfungsi, dan seterusnya.”
Sersan itu semakin terdesak oleh logika analisis Kapten Hary. Hary lalu mengakhiri dengan tantangan.
“Andre! Nak, jika ingin menegakkan kebenaran, kau harus berani. Tidak seperti seniormu ini yang telah kalah!” Hary mengusap bahu penyidik muda itu, lalu meninggalkannya.
Minuman mereka utuh tak tersentuh.
***
Di bandara internasional Incheon, Seoul, Kore Selatan.
Robert melewati bagian imigrasi tanpa kendala. Semua dokumentasi penerbangannya sudah lengkap. Ia berjalan santai menuju ruang tunggu penerbangan kembali ke negaranya. Ia bukan lagi Robert yang dulu. Wajahnya telah berubah total seusai menjalani bedah plastik rekonstruksi yang sempurna di kota itu.
Meski wajah baru, hatinya masih yang lama. Manusia bromocorah dengan segala ambisi dan manipulasi. Sebab DNA-nya adalah DNA yang lama. Ia pun tak pulang ke kota asalnya. Ia akan menuju sebuah kota, yang baru dimekarkan oleh pemerintah, di mana kelak berbagai kejahatan pun akan ikut bertumbuh. [T]
Editor: Adnyana Ole
BACA cerpen-cerpan lain di rubrikCERPENatau baca tulisan lain dariPUTU ARYA NUGRAHA