NENGAH Sadra begitu gelisah. Ia menunggu jemputan. Sampai-sampai suara air sungai di belakangnya terdengar begitu berisik dan membuatnya kesal. Di sungai itu ia baru saja mandi, membersihkan peluh seusai bekerja. Ia buruh pemetik cengkeh.
“Jangan-jangan aku ditipu lagi!” Hatinya betul-betul gusar.
Ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada seorang pemuda desa yang berjanji akan menjemputnya sore ini. Sudah satu jam lamanya ia menunggu di pondok kayu pangkalan ojek, di atas kali tempat orang-orang desa mandi dan mencuci.
Namun sejujurnya, bukanlah uang itu yang telah membuatnya risau. Ia risau karena seorang perempuan. Ia membayangkan wajah maupun tubuh perempuan itu, tubuh seorang pelacur. Seminggu lalu, di sebuah lokalisasi, perempuan itu telah memberinya kebahagiaan dan kenikmatan tiada tara. Kejutan hidup yang tak pernah ia bayangkan. Pun dunia yang tak pernah ia kira ada.
Hati dan jiwanya semakin guncang ketika desir dingin angin senja menerpa tubuhnya. Angin yang berhembus dari pegunungan di belakang perkebunan cengkeh tempatnya mencari nafkah. Tubuh yang penuh gelora.
Sesekali penduduk desa lewat di depannya. Dan, perasaannya pun kian resah setiap kali ia menerima sapaan. Ia salah tingkah. Ia menyembunyikan sesuatu.
Namun, ketegangan saraf yang menjalari seluruh ototnya tiba-tiba melorot ketika ia mendengar bunyi khas mesin sepeda motor tua. Awalnya bunyi motor itu terdengar sayup-sayup, lalu semakin keras. Dan seorang pemuda, Putu Kenyat, yang lebih cocok menjadi anaknya, muncul dari tikungan. Dari atas sepeda motornya yang ringkih, ia nyegir seakan mengejek orang yang menunggunya. Dan tanpa diminta, motor rongsokan itu mati sendiri.
“Hahaha, sori, Bos! Busi kotor tadi, harus dibersihkan dulu!” Seperti biasa, pemuda itu selalu enteng. Bahkan lawan bicaranya tidak akan pernah tahu, apakah omongannya fakta atau fiktif, tipikal manusia yang menyambung hidupnya di jalanan.
“Aaaah! Pak kira kau telah nipu Bapak, Tu. Satu jam lebih macam cacing kepanasan Pak di sini,” kata Nengah Sadra/ Meski menggerutu, jelas terasa nada senang dalam ucapannya.
“Santai, Bos, waktu masih panjang. Ayo berangkat, saatnya kita bersenang-senang!”
Dalam sekejap, Nengah Sadra sudah nangkring di boncengan sepeda motor tua karatan dan berisik itu. Siapapun takkan pernah tahu, apakah sepeda motor itu memang kepunyaan Putu Kenyat, barang pinjaman, pinjaman yang tak kunjung dikembalikan, dibeli namun belum dilunasi, dan seterusnya. Yang jelas, omongannya sulit untuk dipegang. Persis seperti sepeda motornya itu, yang larinya hanya perlahan saja, namun suara bisingnya selalu mengganggu orang-orang.
***
Sepasang manusia desa yang sebetulnya cocok berperan sebagai ayah dan anak itu terus menyusuri jalan aspal penuh lubang, menuju komplek lokalisasi pekerja seksual komersil di sudut kota yang semrawut. Minggu lalu, Putu Kenyat untuk pertama kalinya mengenalkan Nengah Sadra dengan dunia berlendir itu. Dan layaknya orang desa lugu yang hasrat libidonya tak terkelola dengan baik, ia langsung ketagihan.
Tak perlu diragukan lagi, Nengah Sadra pastilah korban makelar Putu Kenyat yang kesekian. Si makelar kini dalam posisi aman, bakal dapat cuan dan berbagai bonus kenikmatan di remang-remang malam ini. Ia tersenyum dalam hatinya.
Korbannya, Nengah Sadra, terus menahan desakan hasrat menggebu-gebu yang telah dikobarkan oleh pikiran-pikiran liarnya. Uang upah hasil jerih payahnya berbulan-bulan memetik cengkah, baginya sudah tak berarti lagi. Wajah dan tubuh perempuan itu terus menggodanya.
Saat sampai di lokasi, semua menyapa Putu Kenyat dengan sangat ramah. Sebuah tanda, ia telah sering ke tempat itu dan berhasil menciptakan hubungan baik dengan semua orang. Petugas keamanan lokal, penjaga warung, germo dan tentu saja kelihaiannya merayu para pelacur. Itu kecakapan yang memang harus ia kuasai untuk bertahan hidup. Bahkan ia bisa membaca pikiran Nengah Sadra yang buru-buru hendak menghambur ke dalam kamar perempuan pujaannya.
“Santai, Bos, kita minum dulu. Cari ramuan biar strong, hahaha!” Putu Kenyat perlu mendekatkan mulutnya ke telinga Nengah Sadra, untuk melawan bisingnya suara lagu dangdut yang saling bertabrakan yang nyaris keluar dari semua kamar di komplek pelacuran itu.
Nengah Sadra hanya bisa menuruti, meski ia harus melawan rasa malu dan segan bertemu orang-orang dan pelayan di warung itu. Namun bagi Putu Kenyat, mengajak klien ke warung adalah target, agar dapat komisi.
“Mbak Nur masih luluran dan mandi bunga!” kata Putu Kenyat.
Nengah Sadra cuma tersenyum malu-malu.
“Halo, Mas Putu, dibuatkan apa nih?” Pelayan warung menyapa dengan ramah kedua orang tamunya. Tampak juga beberapa pria nongkrong, menikmati minum sambil merokok, di warung yang berada di pojok komplek pelacuran itu. Dari sana juga bisa dilihat hampir semua kamar para pekerja seks komersil. Lampu kamar yang remang-remang dengan berbagai warna. Ada yang merah, kuning, biru bahkan hijau. Selain irama lagu dangdut yang terdengar tumpang tindih, tampak pula asap rokok yang mengepul di sana-sini. Seorang petugas keamanan tampak berdiri di pintu gerbang, sesekali pandangannya menyapu seluruh area komplek.
“Halo, Mbak Puji, tolong buatkan bos saya ini susu telor madu jahe ya. Kalau saya seperti biasa, cukup bir saja,” kata Putu Kenyat mantap seakan semua dalam kendalinya. Pesan bir pun ada embel-embel kata “cukup”, padahal itu minuman paling mahal di warung itu.
“Wah, sip, Mas Putu. Oh ya, mau ketemu siapa malam ini? Wis janjian?”
“Ini lho, Mbak, bos saya dititipin pesan terus sama Mbak Nur. Macam sayang sekali dia sama bos saya ini!” Mimik Putu Kenyat begitu serius, mulut comberannya menyemburkan segumpal asap rokok lalu menenggak bir langsung dari botolnya. Semua dinikmatinya secara gratis malam ini. Dipuji begitu, Nengah Sadra cuma tersenyum sambil memandangi minuman stamina yang dihidangkan di depannya.
“Wah Mas ini memang jago kalau milih pasangan di sini. Nur itu memang paling ayu, perhatian dan setia orangnya. Wis top dah pokoknya!” Setali tiga uang, pelayan warung yang dipanggil mbak Puji ini pun tukang gombal. Masak pelacur dibilang setia? Namun, bagi laki-laki yang telah mabuk kepayang dan hasratnya meledak-ledak, seperti Nengah Sadra ini, nalarnya pun sudah tumpul.
“Tunggu sebentar ya, Bos, saya cek Mbak Nur dulu. Untuk Bos, saya harus pastikan dulu dia sudah paling cantik dan wangi!” Putu Kenyat bangkit lalu menghilang.
“Ayo, Mas, tidak merokok tah?” Mbak Puji terus mengajak Nengah Sadra ngobrol.
“Saya tidak merokok!” jawab Nengah Sadra. Cuma itu yang bisa ia jawab. Sesungguhnya ia laki-laki yang sangat pemalu dan pendiam. Urusannya selama ini hanya bekerja dari pagi sampai sore, setiap hari, sepanjang tahun. Merawat dirinya pun ia hampir tak pernah. Nyaris seluruh badannya digerogoti jamur alias panu. Maka, merupakan sebuah kesuksesan luar biasa bagi si makelar Putu Kenyat, telah berhasil membawanya ke komplek pelacuran itu. Setelah berkali-kali merayunya untuk mau mencoba sensasi kenikmatan yang digembar-gemborkannya itu.
***
“Ayo dong, Pak, sekali-kali cari hiburan ke komplek.” Begitu kata Putu Kenyat suatu hari.
“Ahhh?” Nengah Sadra tampak kaget. Ia seakan tak percaya dengan ajakan Putu Kenyat.
“Cantik-cantik, Pak! Nikmati hidup. Buat apa uang disimpan-simpan, jamuran nanti. Mati juga nggak bawa duit!” Pemuda kurus kerempeng itu terus melancarkan serangannya.
Sebagai makelar, setidaknya Putu Kenyat telah melakukan survey. Untuk melancarkan propaganda atau hasutannya, ia wajib punya data. Ia tahu betul, baik Nengah Sadra maupun istrinya, sepenuh waktunya cuma untuk bekerja. Pekerjaan apa pun ia lakoni. Ia tak pernah mereka pilih-pilih pula, sekalipun harus bergumul dengan tanah atau lumpur. Bahkan sebagai seorang wanita yang belum memasuki usia lanjut, tampang dan penampilan istrinya sudah sangat tua dan dekil. Kondisi yang kian jauh dari pesona seksual.
“Bagaimana caranya Tu?” Nengah Sadra agak berbisik, mulai tertarik.
“Oh gampang, Pak. Ikut saya saja. Jika mengecewakan, uang kembali!”
“Ahhh? Bisa kah saya?” kata Nengah Sadra. Meski mulai tertarik, ia ragu.
“Hahaha, kerjaan paling gampang itu, Pak. Gampang, tapi asik bukan main.”
“Bapak takut kena penyakit, Tu.”
“Saya carikan yang mulus dan sehat, Pak. Buktikan sendiri nanti rasanya.”
Demikian Putu Kenyat terus meyakinkan Nengah Sadra. Berkali-kali menemuinya saat Nengah Sadra selesai bekerja di sawah atau sehabis memetik cengkeh. Dan kini, ia telah menjadi kecanduan, begitu cepat. Dan semenjak itu ia dipanggil Bos.
***
Bertepatan Nengah Sadra menandaskan minuman staminanya, Putu Kenyat muncul dari keremangan.
“Ayo, Bos. Mbak Nur sudah menunggu!”
Bukan main senang hati Nengah Sadra. Jantungnya berdebar lebih cepat. Bahkan kedua tangannya terasa gemetar. Adrenalin dalam tubuhnya meluap.
“Selamat menikmati malam yang indah, Mas!” ucap Mbak Puji saat kedua tamunya itu berlalu.
“Bos, Mbak Nur kangen sekali sama Bos!” Si makelar terus menjaga ritme bisnisnya saat mereka menuju kamar si pelacur.
“Nanti Bos cari saja saya di warung ya. Saya tunggu di sana kalau Bos sudah selesai. Tak perlu buru-buru. Mbak Nur mau sama Bos lama-lama katanya!”
“Ya, Tu. Sambil nunggu, Tu beli aja makan atau minum lagi. Nanti semua Pak yang bayar.” sahutnya dengan suara bergetar.
Perangkap makelar begitu efektif.
***
Pelacur itu, Nur, mengunci pintu kamarnya. Ia mengecilkan volume suara musik dari tape recorder-nya, membuat suara kipas angin jadi terdengar lebih keras di kamar itu. Ia memeluk Nengah Sadra dan menariknya ke kasur busa, di atas lantai berkarpet plastik itu. Nengah Sadra menanggapinya dengan sikap malu-malu. Keduanya sudah berbaring di atas kasur busa murahan yang sudah muai peyot itu. Nur memeluk laki-laki lugu yang terus berusaha menahan nafsu birahinya. Sayup-sayup, ia masih bisa mendengar musik lain dan suara cekikian pasangan lain di balik dinding, sebelum laki-laki itu terbenam dalam kekuasaan si pelacur.
“Kok lama banget sih Mas Nengah baru datang?” sapa manja Nur dengan mata terpejam, yang malam itu hanya memakai gaun mini yukensi dengan bau parfum menyengat.
“Hehehe…!” Nengah Sadra cuma tertawa dan tersenyum.
“Aku nggak mau terburu-buru lho Mas, aku mau ngobrol manja-manja dulu ya?” Rayuan Nur bertubi-tubi.
“Hehehe…”
“Boleh kaaan, mas-ku?”
“Hehehe.” Nengah Sadra mengangguk, napasnya tertahan.
“Mas Nengah, kok gantengnya gak habis-habis sih?” ucapan gombal ini telah melambungkan perasaan Nengah Sadra yang lugu seakan didaulat menjadi seorang raja. Harus diakui, wajah perempuan pelacur itu memang manis. Matanya bulat dan ada tahi lalat di atas bibirnya yang tipis. Tubuhnya mungil namun berisi. Jika dibandingkan dengan istrinya di rumah, hampir bagaikan perak dengan besi berkarat.
Tiba-tiba, berikutnya kata-kata pelacur itu sangat mengejutkannya.
“Tapi, kok panunya masih banyak Mas? Tuh, tuh, tuuuh coba lihat. Di lengannya, eh ini di punggungnya juga!”
“Eh, oh ya, besok saya ke puskesmas.” Jawab Nengah Sadra kaku karena malu. Istrinya sendiri tak pernah mempermasalahkan soal jamur yang berlumuran di tubuhnya itu.
“Betul lho, ya Mas? Minggu lalu sudah Nur bilangin. Kan lebih cakep kalau kulitnya mulus, ya nggak?”
Nengah Sadra cuma mengangguk.
“Eh, itu juga, pasti belum juga beli sikat dan pasta gigi ya? Itu mulutnya masih bau. Ayo, tak jewer lho ya kupingnya!”
Nengah Sadra menyembunyikan wajahnya di bantal. Tiba-tiba ia membayangkan gigi istrinya yang bukan cuma kuning kecoklatan berkerak, sebagian besar bahkan sudah tanggal.
“Jangan marah ya Mas, ini karena Nur sayang lho sama Mas Nengah!” Pelacur itu pintar sekali.
Nengah Sadra makin melayang. Pelacur itu bahkan menasehatinya seakan seperti ibunya sendiri. Itu pun belum sampai pada kenikmatan dan sensasi yang akan ia rasakan, yang seingatnya tak pernah ia dapatkan di rumah.
***
Saat itu, waktu sudah mendekati tengah malam. Kedua lelaki desa itu baru meninggalkan komplek pelacuran dengan tergesa-gesa. Namun, Nengah Sadra bersikeras meminta Putu Kenyat untuk mampir sebentar ke pasar, sebelum kembali ke desa. Beberapa kios di pasar itu memang buka 24 jam.
“Beli apa, Bos?”
“Antar saja Pak mampir ke pasar sebentar!” Ia enggan menjelaskan.
Ketika kembali, Putu Kenyat tak dapat menahan senyum saat memeriksa apa yang dibawa bosnya. Pasta gigi, sikat dan obat kulit anti jamur. Nengah Sadra ikut tersenyum masam.
“Bos sih bandel. Kan minggu lalu sudah saya sampaikan pesannya Mbak Nur, hehehe!”
Nengah Sadra tak menanggapi. Mereka menembus udara dingin yang menusuk, kembali ke desa mereka di lereng bukit penuh tanaman cengkeh itu. Tanaman yang telah memberinya banyak uang namun ludes begitu cepat di pelukan sang pelacur.
***
Meski malam telah turun menuju subuh, Nengah Sadra tetap melawan kantuknya untuk menggosok giginya yang berwarna kekuningan. Setelah bertahun-tahun, rasanya baru kali ini ia menggosok giginya lagi. Maka selain agak nyeri, ia melihat ada darah keluar saat berkumur. Tentu saja lantaran iritasi gusi yang tak lagi sehat. Meskipun ia tak pernah menyadari aroma busuk mulutnya, namun pelacur itu begitu terus-terang telah mengatakannya.
Selain kenikmatan seksual, ia pun merasa banyak mendapat perhatian kasih sayang dari pelacur manis itu. Aroma wangi parfumnya yang terbawa pulang, terus ia nikmati dan membawa khalayannya kembali ke kamar penuh nafsu itu. Lalu ia tersenyum masam saat membuka bajunya. Hampir sekujur tubuhnya ditumbuhi jamur. Subur seperti bunga cengkeh yang tebal bermekaran di sekujur dahan dan ranting pohonnya.
Ia mulai mengoleskan obat panu yang menimbulkan rasa perih itu. Untuk mendapatkan kenikmatan, ia harus lalui rasa perih ini terlebih dadulu. Dari seluruh percakapan mesranya dengan Nur, kalimat yang paling membuatnya bangkit adalah, “Mas Nengah, perawatan yang rajin ya? Biar kulitnya tak panuan lagi. Biar mulutnya bersih dan seger. Aku mau lho jadi istri simpananmu!” Kalimat Nur itu diucapkan dengan manja dan genit.
Semenjak itu, Nengah Sadra rajin sekali merawat diri. Selain menggosok gigi dan mengobati jamur yang mengganas, ia pun mulai membeli parfum, deodoran bahkan menyemir hitam rambutnya yang mulai memutih. Sementara, istrinya sendiri tetap menjalani siklus alaminya, membuat tubuhnya semakin tampak tua dan dekil.
***
Sudah hampir sebulan Nengah Sadra intensif merawat dirinya. Perubahan prilaku ini telah mengherankan orang-orang di sekitarnya. Jamur di tubuhnya sudah berangsur menghilang dan giginya pun mulai memutih. Selama itu pula ia telah mengumpulkan upah hariannya sebagai buruh pemetik cengkeh.
“Sudah waktunya!” Ia membatin.
Waktunya ia menemui kekasihnya, atau calon istri simpanannya. Ia mengenakan celana jins dan baju kaos putih berkerah. Tak lupa pula ia menyemprotkan parfum dan melumuri tubuhnya dengan deodoran. Hanya saja, belakangan ini ia tak pernah melihat lagi Putu Kenyat, pengawalnya selama ini. Maka ia perlu menyewa ojek lain untuk membawanya ke lokalisasi. Ia pun harus turun agak jauh dari komplek untuk menyembunyikan maksudnya dari tukang ojek itu.
“Akan kuajak Nur jalan-jalan ke pantai dan makan di restoran!” kata Nengah Sadra dalam hati. Rencananya makin banyak.
“Ia pasti tak malu lagi. Karena badanku sudah tak panuan lagi dan gigiku sudah putih dan mulutku seger!” Hatinya berbunga-bunga. Dan yang terpenting… “Uangku cukup banyak kali ini,” bisiknya.
Saat itu sudah menjelang senja, ketika ia sampai di gerbang komplek, seorang petugas keamanan menyambutnya dengan sedikit ogah-ogahan.
“Mau ketemu siapa Pak? Sudah janji kah?”
“Ya Pak, saya mau ketemu Nur. Sudah janjian bulan lalu.”
Cukup lama, petugas itu mengernyitkan dahinya, lalu menggeleng. “Nurani?”
“Ya, Mbak Nur?” Nengah Sadra mulai gelisah.
“Ya iya, Nur. Si bibir tahi lalat. Kan sudah pulang ke Jawa, minggu lalu!”
“Apa?” Mulut Nengah Sadra menganga, tak percaya apa yang telah didengarnya.
“Iya, dia pulang ke kampungnya. Minggu lalu bikin acara perpisahan sama kita semua.”
“Pulang kampung?” Uluhati Nengah Sadra terasa perih, keringat mulai membasahi keningnya. Si satpam mulai menyadari kekacauan lawan bicaranya.
“Maaf, Pak, jadi ini Bapak belum tahu ya?”
Nengah Sadra menggeleng lemah. “Kapan Nur kembali ke sini ya, Pak?” suara Nengah Sadra lemah penuh harapan.
“Pak, mungkin Nur bakalan ndak kembali lagi ke sini lho, Pak!”
Kedua lutut Nengah Sadra gemetar, kepalanya terasa pusing berputar, makin terasa berat. Suara petugas keamanan semakin sayup-sayup…
“Nur dijemput mantan suaminya. Mereka bakal rujuk kembali katanya, atas permintaan anak-anak mereka…”
Pandangan mata Nengah Sadra mulai kabur, tubuhnya telah bermandi keringat…
Nengah Sadra, sudah siap menerima tubuhnya akan tumbang. Namun ia masih sempat mengambil keputusan lain. Segera berpaling dari satpam jujur itu, mendorong tubuhnya yang telah kehilangan bobot ke satu-satunya tempat di komplek itu yang ia kenali, warung Mbak Puji. Air matanya berlinang dan napasnya begitu sesak, matanya nanar saat tiba di warung itu.
Didapatinya Putu Kenyat di warung itu. Dan, yang bikin kaget, ia melihat Putu Kenyat bersama beberapa rekan-rekannya sesama buruh pemetik cengkeh yang semuanya ia kenal. Mereka tengah bercengkrama dan saling menggoda dengan beberapa pelacur berpakaian seksi sambil menikmati berkerat-kerat bir. Derai tawa cekikikan, obrolan-obrolan kotor, sesekali desahan tak senonoh bercampur aduk menyongsong malam penuh bintang itu.
Seketika ia menghentikan langkahnya. Berbalik setengah berlari Nengah Sadra keluar gerbang, menuju jalan raya yang telah gelap. Di rumah, istrinya tetap dengan penuh setia menunggunya, bahkan ketika malam sudah begitu larut. [T]
Editor: Adnyana Ole
BACA cerpen-cerpan lain di rubrik CERPEN atau baca tulisan lain dari PUTU ARYA NUGRAHA