Vera sayang, kamu mau dibelikan apa? Uang gajiku baru keluar.
Sepotong pesan baru saja aku lempar lewat WA pada perempuan itu. Meskipun dia bukan pacarku, aku sering menggunakan kata-kata sayang pada cewek tomboi itu, yang menurutku hidupnya tak beraturan. Baginya tidak ada yang terlarang di dunia ini, semua serba boleh. Dia juga gadis peminum, hampir setiap malam teler. Kalau merokok soal kecil, dua bungkus perhari.
Dia gadis pezina, terlalu kasar kalau aku sebut wanita pelacur, apalagi menggunakan bahasa lonte, ngeri aku mendengarnya. Setiap malam dia selalu keluyuran meskipun ketika hujan deras bertaburan turun dari langit menyomprot tumbuh-tumbuhan di bumi. Pagi-pagi setiba di kampus ia sering tertidur pulas.
Dia benar-benar wanita yang hidup di dunia kegelapan. Dan aku sebagai lulusan pondok pesantren, yang sering dipanggil dengan sebutan ustaz, ingin sekali perempuan yang berpipi halus dan bermata cantik itu berubah secepat ombak bergulung-gulung saling kejar-kejaran menghiasai tepian pantai. Dia jadi bahan pikiranku, dan bisa mengganggu konsentrasiku, dan melumpuhkan imajinasiku, terutama ketika aku mengarang novel.
Aku pun tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diriku ini. Aku coba meraba-raba dadaku, perut telapak tanganku yang menempel berhenti tepat di bagian hati, aku merasa dia duduk dan berpangku tangan di sana seorang diri, dan entah kenapa, aku menemukan kesejukan.
Mungkinkah antara aku dan dia ada rasa cinta? Sungguhkah aku mencintai perempuan setan itu. Astagfirullah, aku telah melakukan kesalahan besar, sebesar dunia hina ini, merasa diri lebih suci dari pada orang lain. Bukankah setitik kesombongan bisa merusak ibadah yang sudah dilakukan bertahun-tahun? Aku mengucap istigfar berkali-kali, minta ampun pada Tuhan, suaraku yang parau menyerupai bisikan.
Jika kau mencintai seseorang karena perubahan, itu bukan cinta, tapi perjanjian, sayang di dalam cinta tidak ada perjanjian. Kata-kata itu berdentum dalam benakku. Berlakukah ucapan Sahrukhan yang menyihir dalam film Mahabbatain itu pada diriku? Aku menggaruk-garuk kepala dalam kamar yang bernyanyi sendirian seperti pendekar gila.
“Tidak, aku tidak mencintainya!” Aku meludah pada lantai, seolah aku meludahi wajahnya. Tapi kenapa setelah aku dapat gaji pertama, aku berlari-lari kecil menuju kosan, langsung mengirim sepotong pesan untuknya, keringatku saja yang bercucuran dari tubuhku yang ringkih ini belum kering. Gila, benar-benar dia perempuan gila, dan aku tergila-gila.
Benarkah aku mencintainya? Siap menerima dia apa adanya, walaupun maksiatnya terus menjadi-jadi, bodoh sekali. Aku hanya ingin dia berubah tak lebih, titik. Tapi kenapa wajahnya terus menyerangku, apakah ini tidak terlalu agresif bagiku. Kenapa aku tidak bisa membuang jauh-jauh pikiranku tentang dia.
Ya Tuhan tolonglah aku, jangan hanyutkan aku pada jalan ketololan. Bolehkah perasaan cinta itu tumbuh di hati seorang pria yang gersang, pada seorang gadis yang cantik rupawan, tapi kehormatannya paling kehormatan yang wajib dia jaga sudah dipetik beberapa pemuda yang tidak bertanggung jawab dan berhati bangsat? Jika perasaan cinta ini tidak salah di matamu ya Tuhan, aku pun tak tahu apa yang aku minta setelah ini padaMu.
***
Dua minggu yang lalu, malam itu, aku sengaja lewat dari kosan Vera. Waktu itu hujan barangsur-angsur mulai turun. Aku dengar ia mendesah. Setelah aku periksa mengintip dari lubang kecil, ia sudah menanggalkan pakaiannya sampai bugil, menyandarkan tubuh yang bahenol ke tembok, sedang dipanen seorang pemuda, dan aku tak mengenal pemuda itu, sementara aku tak ingin mengenalnya, tapi siap kalau diperintah membunuhnya. Mereka sama-sama merasakan kenikmatan yang luar biasa tiada tara.
Aku mengubah posisi, menjadikan diriku lelaki itu dalam bayangan. Melumat lekat-lekat bibir Vera. Desah napas sama-sama tersengal, bisikan hati kami bergerak dengan sinkron, siap melakukan sesuatu. Begitu aku sadar, aku mengucapkan sumpah serapah.
“Kurangajar sekali mereka, semoga jadi monyet yang terkutuk!”
Apakah aku cemburu, tentu saja. Apakah kalau Vera mengelus-elus leherku, menggigit telingaku dan berkata-kata romantis, mengajakku melakukan persetubuhan sebelum waktunya, aku menuruti jejaknya yang menjerumuskan, biar aku puas, meskipun setelah itu aku dan dia sama-sama rusak, terlebih-lebih dia sebagai seorang perempuan. Walaupun ia sudah rusak, jika masih melakukan persetubuhan sebelum menikah, ia pasti bertambah rusak. Apa aku harus melakukan cara untuk melucuti gadis itu?
Nauzubillah, jangan sampai terjadi. Jangan bilang aku impoten, atau lemah sahwat, atau kata-kata lain yang menyudutkan, seperti kau tuduh aku tidak memiliki kejantanan. Aku yakin seribu persen kemampuanku di bidang seksual lebih menggigit setelah aku menikah nanti. Aku yakin asmaraku lebih hangat daripada kau yang sudah membolongi dan yang sudah bolong.
Abangku sayang, aku ingin dibelikan celana pendek, seharga tujuh ratus ribu itu, warna hijau. Aku ingin menampakkan lutut dan pahaku yang halus pada semua orang.
Duapuluh menit sudah berlalu, Vera baru membalas WA-ku yang tidak sampai berukuran sejengkal itu, keterlaluan sekali dia, bunyi WA itu seolah menghinaku. Padahal dalam pertemuan kami yang ke 21 malam itu di dekat rumah Pak Manan, ia bilang dia berencana memakai jilbab. Seharusnya dia mikir dong, seandainya dia memakai celana pendek keluar rumah mempertontonkan auratnya yang montok itu di hadapan lelaki, pasti mereka memandang dengan mata tak berkedip diiringi sahwat yang bergejolak, kemudian mereka berkata,
Seandainya gadis itu menjadi miliku malam ini saja, terpuaskanlah nafsuku. Sebaliknya pula, kalau dia memakai jilbab biru, begitu ia lewat di depan mereka, ekor jilbabnya menari-nari diterjang angin, pasti lelaki yang jadi penonton itu berkata, Cantiknya, andaikata bidadari itu jadi istriku. Tapi malah dia minta dibelikan celana pendek, sepertinya ia menghinaku dan menginjak nuraniku.
“Kurangajar sekali kau Vera,” gerutuku dalam hati yang bergelora, kemudian sekonyong-konyong aku mendesah, menghempaskan badan di atas kasur kumuh membenamkan kepala ke dalam bantal.
Aku kesal karena dia belum juga berubah. Dia masih termasuk golongan perempuan yang belum bisa menjaga kemaluannya erat-erat. Tapi aku tidak menyerah, aku harus merubah dia ke arah yang lebih baik. Dan harus kuakui, sungguh aku mencintainya, dan siap hidup satu atap dengan perempuan itu, jika ia mau berubah sikap. Entah kapan ia bisa berubah, aku pun tak tahu. Tugasku hanyalah berusaha, yang menentukah pasti yang maha kuasa. [T]
BACAcerpen-cerpen tatkala.coyang lain