“Ini untukmu!” Aku menyodorkan selembar kertas pada gadis itu.
“Tulisan tangan yang bagus, pasti bukan tulisanmu.” Pernyataannya membuatku malu. Menurutku ini konyol, dan tidak romantis.
“Kau tahu sendiri kan? Yang bisa membaca tulisanku cuma aku!” Serasa aku menginjak nuraniku sendiri dengan berkata begitu.
Dia tersenyum tanpa suara, menarik napas dalam-dalam. Tenggorokannya kembang kempis, dadanya terlihat jelas naik turun.
“Kenapa kau membelakangiku, dan tidak menatap wajahku, apa perlu aku mencium keningmu dulu, dengan bibirku yang lembut ini?” kataku merayu.
Friska begitu apatis hari itu, wajahnya yang merona semakin jauh dari pandanganku, seakan dia sengaja mempertontonkan sifatnya yang tak acuh.
Ia menyibak tirai, menenggelamkan kepalanya ke luar jendela, kemudian mendogak ke langit. Mendung yang ia pandang berubah jadi rintik hujan.
“Ada keperluan apa kau menemuiku siang hari begini? Hanya karena selembar kertas?”
Sedikitpun ia tak ada menoleh. Baju lengan panjang warna kuning yang ia kenakan ditarik-tarik ke bawah seakan mempromosikan bajunya yang superketat. Kakinya sengaja digoyang-goyang, kepalanya ikut menari-nari. Kenapa hari ini dia terlihat ceria seperti itu.
Tidak ada aku melihat segumpal kesedihanpun menempel di wajahnya. Padahal seseorang baru saja memetik kebahagiaannya, yang bisa menjadi kesedihan yang berlarut-larut.
Bukankah tadi malam dia dihujani dengan cacian, pukulan. Bahkan berujung angkat kaki dari rumah malam itu. Ibunya yang galak dan begitu agresif yang menciptakan permusuhan baru denganku.
Sampai kapan pun aku tak pernah setuju kalau kau dan lelaki anjing itu menyatukan hati,
Itulah kata-kata kebencian yang pertama kali dilontarkan ibunya untukku. Lalu ia memukul putrinya menggunakan kayu bakar, membuat Friska teriak.
Dari situlah awal mulanya perasaan cinta kami yang berkecamuk diintervensi.
Kegaduhan itu mengganggu orang-orang yang duduk santai di warung. Begitu mendengar teriakan, penduduk warung sama-sama terkejut turut berbondong-bondong mengikuti arus suara yang menggelegar.
Ada yang lari tergopoh-gopoh sambil memilin-milin sarungnya yang melekat di pinggang, dan salah satu mereka yang datang itu ayah. Ia bertanya pada orang-orang, apa gerangan yang terjadi?
“Friska dibawa Jetri ke luar, dan sampai sekarang belum pulang,” jawab seseorang.
Secepat kilat memotret bumi ayahku mundur ke belakang. Ucapan yang spontan itu menyiksa batinnya, membuatnya malu. Ia merasa, sebagai seorang ayah, kepribadiannya telah diruntuhkan seruntuh-runtuhnya, pelakunya aku, anak kandungnya sendiri.
Anehnya sampai di rumah aku yang hatinya terus berdebar-debar tidak ada dapat semprotan. Jangankan semprotan kecil, ayah dan ibu yang sudah tahu kejadian sedih itu tidak ada membahasnya sejengkal pun di depanku. Entahlah kalau di depan orang-orang.
Aku tahu penyebabnya, setelah mendengar cerita dari orang-orang, ternyata ayah dan ibuku dulunya juga cinta terlarang, sulit mendapat restu. Mereka tidak ingin nasib yang telah menimpa dirinya terjadi juga pada diri orang lain, apalagi yang mengalami nasib serupa itu anak kandungnya sendiri.
Apa yang terjadi pada diriku, sebaliknya yang terjadi pada Friska. Dia mendapat luka berat. Malam itu dia menderita di atas derita.
Tapi kenapa dia masih berpura-pura dihadapanku. Jurus apalagi yang akan dipertunjukkannya di depanku? Kenapa ia terlihat santai seperti itu? Sekadar menipuku, seolah-olah ia bahagia. Dan ia tidak ingin aku pergi dari sisinya?
Begitu takutnyakah dia kehilanganku, sehingga derita ini ia pendam sendirian. Dia pikir aku tidak tahu hatinya lagi menangis. Aku melempar senyum sekadar berbasa-basi.
“Friska sayang, kenapa kau tidak menolehku? Bukankah aku ini kekasihmu?”
Aku menggigit bibir, menyembunyikan rasa kesedihan, memandangnya penuh makna. Dia benar-benar cuek di hari yang mendung itu.
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa sih kau ingin bertemu denganku siang hari begini?” Dia mendengus. Membosankan, dia bertanya untuk yang kedua kali.
“Kau ingin bertemu malam hari saja. Biar kau bebas duduk bersandar di pangkuanku, dan sesuka hatiku menggigit pucuk telingamu yang mungil itu?” Aku mencandainya, tangannya menjulur mencubitku.
“Kau ini apa-apaan sih, ngaur kamu.” Ia meronta, seperti anak kecil, sambil melirik kiri kanan, seakan mewanti-wanti apa ada orang melintas.
Atau jangan-jangan, ia melihat di depan matanya melayang-layang kesedihan yang akan memeluknya. “Menurutmu apa perlu aku berterimakasih pada Evi yang memanggilmu datang kemari atas permohonanku?”
“Itu urusanmu.” Ia tetap tak menoleh. Mungkin gadis hitam manis itu mau keluar dari ruangan pengap ini. “Memangnya Kak Evi cerita apa saja padamu?” Kali ini gadis jelita itu yang menimpali. Usahaku yang gigih melunakkan hatinya mulai berhasil.
“Dia cuma bilang…,” kataku.
“Dia bilang apa?” Barulah ia menatap wajahku, aku hampir mencium keningnya, dan memang aku biasa melakukannya, tapi tidak untuk saat ini dan mungkin seterusnya.
“Dia bilang, ‘Kalau kau serius mencintai Friska, akulah yang bertugas mencuri gadis cantik yang hidupnya terguncang itu untukmu’.”
“Dasar tukang kibul!”
Dia mencubitku lagi, sambil melempar senyum. Aksiku menggodanya benar-benar berhasil. Aku telah menemukan puncak kemenangan. Inilah saat yang tepat untuk aku berkata serius dari hati ke hati.
“Friska, tadi malam kau dimarahi ibumu kan? Sampai mendapat pukulan yang bertubi-tubi, dan berujung angkat kaki dari rumah?”
Tadinya ia merunduk memandangi lantai, sekarang ia fokus menatapku tajam, seakan hatinya berbisik, “Kenapa rahasia yang sengaja kusimpan dan kututup rapat bisa ketahuan sama dia.”
“Aku tahu ini salahku yang nekat mengajakmu keluar. Padahal aku tahu sendiri konflik sudah mulai hidup di antara kita berdua. Mulai sekarang aku berjanji kejadian buruk ini tidak akan terulang lagi. Karena hari ini pertemuan kita yang terakhir.”
Suaraku serak-serak basah. Kata-kata perpisahan itu begitu berat mengucapkan pada orang yang sangat aku sayangi.
“Maksudmu apa?”
Dia mulai gerah.
“Kita putus!” kataku.
Dia tidak setuju keputusan yang aku pilih, dia geleng-geleng kepala meneteskan airmata, kemudian menangis sesenggukan.
“Lebih baik aku mati, daripada berpisah denganmu,” katanya.
Meskipun memikirkan kebaikannya, dan untuk masa depannya, dia tetap tidak peduli. Apa ada cinta sekuat itu di dunia ini? Hanya lelaki bodohlah yang mau meninggalkan gadis setia seperti itu. Hatiku berbisik pada diri sendiri.
Aku kasihan melihat giginya yang gemerutuk menahan kesedihan di hati. Aku bersumpah terus mencintainya sampai bumi ini runtuh. Aku meminta maaf dan berjanji tidak akan melupakannya. Cinta antara aku dan perempuan itu tidak akan pernah kuredupkan.
“Friska aku bersumpah atas nama Tuhan, aku mencintaimu. Selama cintamu tidak hilang diterjang angin nakal. Selama itu pula aku kukuh memepertahankan cintamu sampai bisa memilikimu,” kataku.
Friska menarik napas lega yang tadinya hampir sesak, diapun berkicau, “Demi Tuhan aku tidak berhianat, apalagi menyingkir dari sisimu, selama perasaan cinta ini kau simpan dalam hatimu.”
Kami saling berpelukan mesra mengusir kedinginan, mencari kedamaian, dan ingin menemukan ketenangan sesaat. Airmatanya terus meleleh, melintas melewati pipinya yang montok. Setitik airmatanya jatuh mengenai bajuku, dan aku mengecup matanya yang basah, meminum tintanya yang keluar dari sembernya.
Sementara mulutnya terus komat-kamit, “Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku.”
Pelukannya semakin erat, seakan tak melepasku pergi. Dia begitu sayang pada diriku. Aku merasa sampai air laut tumpah ke daratan, tak akan kutemui lagi wanita setulus dirinya. Tapi apa yang terjadi, akhir kisah cinta ini, aku ditinggalkan dan dibiarkan terkapar sendirian. [T]