NOVEMBER. Matahari melintas di selatan garis katulistiwa. Sewajarnya rintik hujan menyambut pergantian tahun. Namun musim sering tak sesuai dengan pelajaran anak sekolah. Dan itu menyebalkan.
“Seharusnya sudah hujan,” kata Tony.
“Seharusnya kamu sudah ngurusin AC mobil,” sungut Rara.
Tony diam.
“Panas sekali. Aku tak perlu susah-susah diet. Terus saja jemput aku pakai mobil rongsokan ini. Aku pasti sudah kurus saat tahun baru.” Rara mengangkat kedua kakinya, berjongkok di jok, lalu membesarkan blower AC yang kering tanpa freon.
“Besok pagi aku ngantre di bengkel AC. Deket rumah.” Tony perlahan membuka kedua jendela depan, beberapa detik setelah berhenti di perempatan Gatot Subroto Denpasar. Tony menaruh tangan kanan di celah jendela mobil untuk menopang dagu sambil menunggu antrean kendaraan. Dua ratus meter dari perempatan yang padat merayap. Hampir melamun, Tony tersentak.
“Pak, minta, Pak.”
Seketika tangan kecil menyodorkan bungkus permen. Seketika pula, tangan kanan Tony melambai. Tangan kecil itu tidak berhenti. Tangan kecil itu memang tak akan berhenti sebelum lampu lalu-lintas mwnyala hijau.
Anak kecil pemilik tangan kecil itu tidak sendiri. Ia hanyalah satu di antara banyaknya pengemis yang lalu lalang di tiap perempatan macet kota ini.
“Kok tak dikasi?” tanya Rara sambil mengibaskan tangan ke arah muka yang basah keringat.
“Kamu sudah tahu faktanya, kan? Mereka sedang bekerja. Bukan mengemis.” Tony tetap fokus pada pedal gas dan kopling.
“Aku memang dengar berita itu. Tapi, kan, kasihan. Seandainya mereka memang dipekerjakan oleh bos besar. Atau, mungkin, bos itu adalah orang tua mereka sendiri. Tetap saja kasihan, kan? Anak sekecil itu masih harus berpanas-panasan. Paling tidak, mereka sudah mengeluarkan tenaga untuk mencari makan. Mungkin saja, jika ada pilihan, siapa yang mau jadi seperti mereka?” Kibasan tangan Rara mulai berkurang akibat hembusan angin yang numpang lewat di antara mereka.
“Lalu, apakah mereka perlu ditolong?” Tony masih fokus dengan pedal kopling dan gas, kemudian memasang rem tangan saat lampu kembali merah.
“Tentu saja,” kata Rara.
“Dengan memberi mereka uang di terik panas seperti ini?” Tony menatap Rara.
“Paling tidak, itu cara paling nyata. Yang paling penting, tujuannya baik.”
Mata Tony menatap lampu lalu-lintas yang masih merah, lalu ia menatap Rara perlahan, Tony mulai berceramah,”Kamu pernah dengar tentang tikus di dalam labirin, nggak?”
***
Ada dua tikus laboratorium milik Tuan Skinner. Mereka berusia sama dan dibesarkan dengan cara yang sama. Diberi makan tiga kali sehari seperti manusia. Kebersihan terjaga, begitu juga kesehatannya. Pada suatu saat, Tuang Skinner, sang majikan hendak bermain-main dengan mereka. Majikan membuat labirin sederhana dan hanya ada satu jalan yang tembus sampai ujung. Tidak ada jalan buntu. Sangat sederhana.
Kedua tikus tidak diberi makan seharian. Setelah itu, kedua tikus dimasukkan ke dalam labirin dan diberi keju di pintu keluar labirin. Tidak hanya mendapat keju, tikus yang dapat keluar dari labirin juga akan dibebaskan ke alam liar. Tidak lagi terkurung di laboratorium yang membosankan.
Permainan dimulai dan tibalah waktu untuk tikus pertama. Ia mulai masuk dan menjelajah. Berkali-kali tikus menabrak dinding. Tetapi, dengan penciuman dan kegigihan, ia dapat menemukan jalur yang seharusnya. Karena, secara alami, tikus tidak akan menabrak dinding yang sama lebih dari sekali ataupun berbalik ke arah ia datang. Akhirnya, tikus pertama dapat keluar dari labirin, memakan keju, dan terbebas ke alam liar.
Berbeda dengan tikus pertama, tikus kedua tampak sedikit terhuyung setiap kali menabrak dinding labirin. Karena kasihan, sang majikan akhirnya memberikan remahan keju setiap kali tikus menabrak dinding dengan tujuan agar tikus memiliki tambahan tenaga untuk keluar dari labirin.
Tetapi, apa yang terjadi selanjutnya? Alih-alih mencari jalan lain agar bisa sampai di pintu keluar, tikus kedua akhirnya terus menabrakkan kepalanya ke dinding labirin yang sama demi mendapat hadiah instan. Ia tidak mengubah arah dan terjebak di dalam labirin.
***
“Gimana?”
***
Tony memasukan gigi satu dan menekan pedal gas pelan-pelan bersamaan dengan lampu hijau yang baru saja menyala. Jalanan macet di siang hari itu rasanya tidak berujung. Tepat di kiri mobil, tampak petugas Pamong Praja berkejaran dengan beberapa pengemis yang lari berhamburan.
Di antara kabut fatamorgana, pengemis wanita berusia belasan tiba-tiba terlihat membalikkan badan akibat benda pipih yang terjatuh dari kantongnya. Niatnya dibatalkan oleh petugas yang makin dekat. Berkilau memantulkan cahaya matahari, tampak tiga bulatan kameraserta lambang buah yang tergigit pada benda pipih yang mau tak mau ditinggalkan pemiliknya. Banyak orang setuju, benda pipih itu adalah lambang dari kekayaan, gengsi, dan harga diri. [T]