USAI MAKAN, SAAT ITU. Dari sarangnya rokok aku cabut. Hanya saja aku lupa membawa korek. Tanpa korek tentu saja rokok hanyalah sebatang kara yang kesepian. Dalam keadaan darurat ini, mau tidak mau agar rasa kecut tidak bersemayam di langit-langit mulut, aku mesti meminjam korek tanpa malu, lebih-lebih kepada pemilik warung nasi yang aku datangi.
Setelah kulempar pernyataan ingin meminjam sesuatu, seorang ibu penjual nasi itu juga tidak memiliki korek rupanya Ia menggelengkan kepalanya dua kali dan kemudian menjawabnya tidak. Tetapi ibu itu memiliki korek yang lebih besar, yaitu kompor. Aku dipinjamkannya kompor kemudian. Sempat aku berfikir, mungkin ia tidak memiliki korek yang lebih kecil karena ia tidak merokok.
Setelah aku masuk ke dapur yang telah ia tunjukkan jalannya itu, melihat-lihat sejenak setelah di dalam ruangan dapur miliknya itu. Sepertinya ruangan tersebut butuh perbaikan yang maksimal agar terlihat nyaman, walaupun tidak lama ini baru saja ada yang di perbaiki. Tidak lebih, hanya bagian atapnya, dan bagian tembok, lantai, dan ruangan lainnya masih belum diperbaiki sehingga masih terlihat buruk sebagai bagian dari pada rumah.
Ada banyak kusen rusak di sana, di lantai. Ada baju bekas di karung-karung, di lantai. Ada batu bata yang juga tak tersusun, kursi rusak, dan meja dengan kakinya kurang satu. Tidak ada benda-benda yang apik di sana, semuanya berantakan, tak tersusun. Dan adapun soal ruangan yang masih berfungsi, selain satu ruangan untuk masak, dapur itu. Ada juga dua kamar tidur di samping ruang dapur yang mungkin asap masakan ibu itu masuk ke sana dan sangat mungkin nyamuk terusir dari kamar mereka setiap kali pagi menjelang.
Apa yang telah teramati, seketika ingatan sesuatu pergi kepada satu waktu tentangnya. Tentang dia pernah bercerita baru saja menempati rumah bekasan orang Belanda tersebut tiga tahun yang lalu setelah bercerai dengan suaminya. Dan apakah mungkin, perceraian telah menjadi langit mendung di antara mereka sehingga ruangan yang mereka tempati dibiarkan saja dalam kondisi jelek? Dan aku masih sangat penasaran, bagaimana bisa mereka mau memiliki rumah bekasan orang Belanda itu untuk ditempati dalam keadaan tak terawat, dengan waktu yang cukup lama pula, selama tiga tahun.
Lantas, jika memang rumah itu adalah tempat barang-barang tak berguna setelah pemilik terakhir rumah itu entah pindah ke mana. Mungkinkah ibu itu telah menumpahkan seluruh kesedihannya di sana dan memulai hidup yang baru dengan getir, dengan tangis? Ini, barangkali cukup sulit untuk dipahami tentang mereka, tentang bagaimana cara seorang ibu bisa tinggal dan menghangatkan tubuh sedihnya sedang tiga anaknya masih bocah. Aku tidak yakin pula jika di sana ada api abadi yang bisa diajaknya minum arak dan kemudian bercerita sampai tengah malam setiap kali kedapatan sedih atau dingin badan.
Ibu itu memiliki gadis paling kecil, yang sangat mungkin membuatnya kerepotan saat memasak, anak ketiga. Kira-kira masih sekolah di taman kanak-kanak umurnya. Dan bocah itu seakan membantah semua perikiraanku tentang keluarga mereka yang buruk-buruk.
Selalu aku jumpai gadis kecil itu sedang bermain di warung nasi milik ibunya, di depan. Dia selalu menyapa orang-orang yang datang ke sana saat lapar. Wajah ceria Anggun itulah yang mematahkan perkiraanku tentang kesedihan yang ada di tembok-tembok kusam di dapur ibunya.
Tidak hanya saat itu. Ketika orang-orang datang membeli makan kesana. Bukan karena tempatnya yang bersih atau menyenangkan sebagai tempat makan favorit sehingga datang dengan senang hati. Aku dan mereka dating, sebab ibu gadis kecil itu sangatlah baik, sering kali menambahkan nasi atau sesuatu yang lain dengan percuma. Dan kelewat ramah sebagai penjual tentunya. Memang, semua orang pasti akan baik dan ramah kepada siapapun selagi ia sedang berbisnis. Tapi, ini lain. Ini berbeda dengan konsep bisnis; untung dan rugi.
Sebuah kemungkinan ibu itu menjual masakannya tidak lagi dengan segala hal, tentang dirinya sendiri. Padahal dari hasil penjualannya yang didatangi banyak pembeli itu, selain bisa saja membuat dirinya tambah kaya, yaa.. paling tidak membuat rumah bekasan Belanda itu terlihat nyaman sebagai rumah klasik. Itu sebabnya kali ini, tentang hal tadi, aku mesti mengakhiri prasangka tentang mereka sebagai keluarga paling buruk di Bali utara. Tetapi paling bahagia, karena ada kebahagiaan indah yang tersembunyi di antara yang kumuh rumah mereka, dan warung nasi yang mereka miliki dengan sederhana, sangat cukup membantu orang lapar seperti aku, teman-temanku, dan orang lain dengan uangnya yang sama, pas-pasan. Apa mungkin perceraian juga mendatangkan kebahagiaan kepada seseorang?
***
“Ibuuu.. ada Ka Ucup?” teriak gadis itu. Memang Anggun kecil selalu panggil ibunya dengan nada sedikit keras saat aku datang atau siapapun yang datang dan ia kenal, pasti disambutnya, dipanggilkan ibunya dengan keras. “Apa kabar, Ka Ucup?” ucap gadis kecil itu lagi.
“O, tentu saja kabar baik, Gun. Kalau Anggun sendiri bagaimana?”
“Kabar aku juga baik,” jawabnya, sembari melemparkan senyum.
Aku melihat dari matanya, gestur tubuhnya, ada sesuatu lain yang tampak setelah tersenyum. Terbaca, ada hasrat untuk cerita lebih banyak dan mengobrol apa saja denganku. Ini bukanlah yang pertama, memang seperti itulah Anggun kecil jika sedang memiliki cerita yang menarik tentang dirinya. Dan jika tidak sempat bertemu denganku sekian waktu, dirinya pasti tak mau diam setelah bertemu lagi denganku di lain hari.
Senyum-senyum tak biasa dan menari-nari kecil membuat tingkah gadis kecil itu semakin lucu. Padahal aku sedang tidak mood untuk mengobrol lebih banyak dengannya hari ini. Sebab rasa lapar menjadikan suasana hati cukup buruk, aku tidak tahu, apakah boleh seseorang yang sudah dewasa berbohong pada anak kecil tentang harinya yang buruk, diucapkan baik?
Setelah ibunya datang menghampiri tempat dimana lauk-pauk itu disimpan, obrolan pun terputus dengan gadis kecil itu. “Aah.. lama sekali tidak ke sini, Cup,” sahut ibunya. Kemudian dengan senyuman penutup, gadis kecil itu meninggalkan aku dan menghampiri kursinya kembali. ”Hehe, iya, Bu. Sedang ada urusan serius akhir-akhir ini!”
“Oalah, begitu. Tapi kabar kamu baikkan?
“Alhamdulillah, baik, Bu!” terlanjur aku sudah mengatakan kabarku baik kepada anaknya, padahal hari ini sangatlah lapar. “O, iya. Cup, kamu mau lauk apa?” tanya ibu itu memegang capitan, di balik etalase.
“Aku pilih ayam betutu saja, Bu.”
Ibu itu kemudian menawarkan lagi sesuatu yang lain dengan gratis. “Kamu mau ditambahkan goreng ampela? Dan ditambah nasinya juga?”
“Aah, boleh saja, Bu. Kalau memang tidak merepotkan, hehe..”
Doa langsung aku panjatkan agar lekas diberkahi oleh Tuhan manapun setelah seporsi ayam betutu berada di mejaku. Tidak lama juga ibu itu mengantarkan teh manis hangat yang biasa aku pesan, tanpa diminta. Bagaimana dengan doaku tentang keberkatan? Apakah Tuhan sama cepatnya dalam memenuhi keinginanku hari ini seperti teh manis hangat atau seporsi ayam betutu yang diantarkan ibu itu? Atau barangkali ibu itu adalah sesosok malaikat yang sebenarnya Tuhan ciptakan sebelum aku berdoa kepada-Nya? Ah, tidak tahulah! Yang jelas, gangguan kecil di tengah sibuknya aku makan dengan lahap. Gadis kecil itu menghampiri kursiku lagi dan ia tersenyum-senyum kembali sembari menggoyangkan sedikit tubuhnya ke kanan dan ke kiri tanpa iringan musik.
Sudah kuduga, pasti ia mau menunjukkan sesuatu yang lain. Gambar pohon dan dua gunung dipamerkannya kepadaku. “Aku baru saja menggambar ini, Ka Ucup,” ucap gadis kecil itu.
Aku punmenoleh. “Wahh.. bagus sekali gambar Anggun ini,” pujiku ke gambar yang telah ia buat.
“Tadi di sekolah aku belajar menggambar. Ada temanku, dia bisa gambar, sangatlah bagus..”
“O, ya? Tapi gambar Anggun juga tidak kalah bagusnya, kok.” pujiku.
Tersipu malu dirinya setelah aku puji, dan kemudian ia melanjutkan cerita tentang teman-temannya. Bahwa, ia memiliki banyak teman di kelas dan sukar dihitung. Karena mungkin ia belum pandai berhitung, ia tak menyebutkan berapa jumlah temannya.
Tanpa berfikir panjang tentang jumlah, dia kemudian melanjutkan ceritanya lagi, tentang dirinya baru saja membeli mahkota mainan dari kertas yang digunting mengikuti pola. Ia membelinya seharga dua ribu rupiah dari teman sekelasnya, katanya. Karena baru saja dibeli, mahkota itu ia simpan di koper mainan rahasia berwarna pink, lantas menunjukkannya kepadaku. Kemudian dibuka koper itu secara perlahan seolah sedang membuka kejutan. Setelah lebar terbuka koper di tangangannya, seolah takut rusak, gadis kecil itu mengambilnya dengan rasa awas, “Dan ini mahkotanya, Ka Ucup.”
“Waahhh.. keren sekali!” ucapku terkejut. “Cobalah, pakai..” pintaku.
Dan sembari tersenyum lagi, ia mencoba memakainya dan berlaga seperti putri di film-film Princes saat berdiri. Anggun kecil itu terus memakainya setelah aku puji begitu cantik ketika memakai mahkota buatan temannya. Ia berlari dengan riang kesana kemari, seperti bidadari, kemudian hinggap perlahan di kursi belajarnya seperti kupu-kupu. “Aku mau menggambar untuk Ka Ucup, yang ini,” katanya sembari memegang spidol berwarna hitam, “Aku mau coba gambar muka Ka Ucup, yah..”.
“Boleh-boleh, silahkan. Ini muka Ka Ucup.”
Aku alihkan mukaku kepadanya dan kutunjukkan gigiku, “Hiiiii..”
“Ahaha…”
Setelah tertawa kecil, dia mengatakan sesuatu yang membuatku bingung, “Aku gak punya uang untuk diberi ke temenku. Aku cuman bisa gambar,” celetuk gadis kecil itu.
Aku sedikit terheran-heran, apa yang sedang dibicarakan gadis kecil itu dengan wajahnya yang tiba-tiba melankolis, tentang sesuatu dan teman. “Wehe..he..he.. iya tidak apa-apa, tidak mesti uang kok, Gun. Apa yang bisa kita beri, apapun itu. Orang lain pasti seneng, selagi baik. Sudah jadi gambarnya?”
“Belum, sebentar yah Ka Ucup, hehe..”
Setelah menghabiskan waktu lebih kurang sepuluh menit, kemudian ia memberiku gambar yang di maksud. Gambar wajahku dari potongan kertas berpola, tampak seperti wajah betulan karena tak ada leher dan badan, dan yang menjadi mirip denganku adalah mata di gambar itu, besar sebelah. Aku pun tertawa dan tidak lupa memujinya lagi. “Ahahaha.. Terima kasih lho, Anggun. Sangat keren, ini. O, iya. Kasihlah nama Anggun di belakangnya, dan gambarkan lagi satu wajah Anggun dong, hehe..”
Kemudian ia memberiku dua gambar setelah gambar yang terakhir rampung. “Aku namain dulu,” ucap gadis kecil itu sebelum diberikan kepadaku.
“Angguuun, pasti nulis huruf ‘G’ nya terbalik. Maafin yah Ka Ucup. Aduuuhh..Anggun, Anggun..” teriak seseorang dari dalam dapur.
Aku sedikit kaget dengan suara keras itu dan cukup bingung apa yang dimaksudnya tentang huruf ‘G’ terbalik. Setelah diperhatikan, barulah aku mengerti teriakkan ibu itu. Tenyata benar, anak itu keliru menulis huruf ‘G’, terbalik. “Haha.. tidak apa-apa, Bu, lama kelamaan pasti Anggun akan mahir menulis nama sendiri.”
***
Di hari yang sama. Sekitaran malam jam 19:00 WITA. Aku bertemu dengan gadis kecil lain yang sama-sama menjadi perhatian karena tingkahnya. Kali ini di satu kedai klasik yang penuh dengan benda-benda jadul, mulai dari lukisan lama, benda-benda kuno yang terbuat dari kramik, kayu, sampai telpon rumah dan mesin ketik juga ada disana. Kedai itu bernama Kovaitnam, aku berada disana karena sedang mengerjakan sesuatu.
Kedai kopi dan makanan itu sangat dekat dengan kampusku dan kost dimana aku tinggal. Saat itu dari kejauhan, aku melihat ia datang dengan ibunya, bapak, om, omah dan yang lainnya, sebagaimana keluarga besar dan utuh.
Aku sengaja tidak menyapa gadis kecil yang ini dan apalagi keluarganya, selain tidak mengenal mereka, pekerjaanku membuat proposal skripsi jauh dari kata kelar dan cukup penting untuk segera selesai. Tetapi menarik untuk diperhatikan tingkah laku gadi kecil yang tidak tahu aku namanya. Lantas aku perhatikan saja gadis kecil itu dari tempatku. Terlihat ia berjalan menghampiri mesin ketik. Dan jarinya yang lentik hinggap di mesin ketik dan menari di sana, sedang rasa penasaran sepertinya membuat dirinya tak memperdulikan apakah mesin itu masih berfungsi atau tidak. Seperti orang dewasa, rasa penasaran yang hebat membawanya ingin mencoba dan mencoba, dan bermain lebih lama lagi. Sepuluh jarinya kemudian mulai menari-nari hebat seperti pengarang yang sudah mahir saja dalam menulis. Dan merasa diri tidak puas dalam memainkan mesin ketik itu. Kemudian dia mencoba untuk mengangkat telpon rumah yang juga sama rusaknya dengan mesin ketik.
Matanya kembali melirik ke benda lain, yang mungkin juga dia lupa, sudah berapa kalimat yang telah ia ketik sebelum mengangkat telepon? Dan atau ia hendak menelpon siapa ditelepon yang sudah rusak itu? Tentunya ini menjadi sebuah misteri baru di kedai ini, dan hanya benda usang dan gadis kecil itu lah yang tahu.
Seolah tidak ingin meninggalkan kesenangan dengan percuma. Dirinya lagi berpindah ke barang antik lainnya. Di sentuhnya satu persatu tentu saja, dengan sisa pensaran yang masi banyak, lebih dari satu jam ia mengamati juga mengusap-usap benda yang dihampiri, terakhir mengusap-usap mesin jahit. Sepertinya dia suka dengan benda-benda yang sudah kolot di kedai ini, hanya saja rasa penasaran gadis kecil itu raib perlahan setelah panggilan ibunya terdengar nyaring, memaksanya untuk segera menoleh ke belakang, dan kemudian gadis kecil itu pun berbalik badan dan berjalan kearah suara yang memanggil namanya; Putri.
Waktu memang tidak memandang siapa, benda-benda itu tidak mungkin bisa di bawa kemana ia ingin pergi. Atau dimiliki agar gembira terpacak tahan lama di wajah anak itu. Sebagai buah hasil pertemuan, gadis kecil dan benda-benda usang. Apakah suatu hari, jika memang umur masih ada atau gadis kecil itu sudah dewasa kelak, akankah gadis kecil itu kembali dan mengingat satu waktu tentang harinya dengan mereka? Atau tentang Anggun, apa mungkin anak itu juga akan tetap ingat tentang dua potong gambarnya setelah aku tidak tinggal di Singaraja? [T]