- Judul Buku : Hanya Nestapa (Novel)
- Pengarang : Sunaryono Basuki Ks
- Penerbit : Buku Arti
- Tahun : 2008
- Tebal : viii + 124 halaman
NOVEL INI berlatar peristiwa Bom Bali, 12 oktober 2012. Kisah cinta yang menarik dibalut dengan kengerian akibat peristiwa ledakan bom di Jalan Legian, Kuta. Peristiwa Bom Bali mengagetkan dunia, menggetarkan kehidupan banyak orang. yang tersisa hanya nestapa.Hanya nestapa.
Pada saat terjadi ledakan bom di Kuta yakni di Paddy’s Pub dan Sari Club, tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka. Korban kebanyakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat hiburan.
Tragedi pengeboman kembali terjadi di Jimbaran 1 Oktober 2005. Dalam insiden itu, 23 orang tewas dan 151 lainnya luka-luka. Tampaknya tragedi bom Bali yang terjadi di Kuta menyentuh perasaan sastrawan Sunaryono Basuki Ks. dan menjadikan tema cerita sebuh novel berjudul “Hanya Nestapa”.
Pengarang mensimulasikan psikologi para korban bom Bali kemudian menuliskannya ke dalam sebuah cerita novel.
Tokoh utama dalam novel Hanya Nestapa adalah Made Budi, salah satu pemilik perusahaan biro perjalanan wisatawan di daerah Kuta. Tokoh tambahan adalah tokoh Komang Widyareni dan Dian yang merupakan kekasih dari tokoh utama yaitu Budi. Tokoh pelengkap adalah Ayah Komang, Bu Dewi, Briant Smith, dan Susan Watson.
Pada awal kisah Novel Hanya Nestapa menceritakan tentang pekerjaan tokoh utama Budi, pemilik perusahaan biro perjalanan wisatawan di daerah Kuta, berasal dari Singaraja, menganut agama Hindu. Ia bersaudara lima, pekerjaan ayah sebagai pegawai negeri, ibu sebagai guru SD.
Perkenalan tokoh Budi dan Komang dimulai saat Komang melamar pekerjaan hingga akhirnya Budi dan Komang menjalin hubungan spesial. Pada tahap tengah ini pengarang melukiskan tentang hubungan Budi dengan Komang Widyareni.
Pada tanggal 14 Oktober 2022 Budi mengajak Komang jalan-jalan pergi ke Pantai Kuta dan membahas acara pernikahan. Budi dan Komang menjadi korban tragedi bom. Ia meninggal. Budi tidak sadarkan diri selama tiga hari di rumah sakit dan melihat sosok Komang menggunakan pakaian pengantin. Budi tidak bisa menerima keadaan setelah peristiwa bom.
Budi memohon maaf kepada ayah Komang dan berinisiatif membiayai semua upacara pengabenan Komang walaupun mereka belum menikah, Pada tahap akhir tragedi bom kembali terjadi di Jimbaran saat tokoh Dian dan Budi makan di Jimbaran
Kondisi psikologis masyarakat Bali, yang diwakili para saksi peristiwa bom, digambarkan oleh pengarang ada yang mengalami rasa ketakutan, panik, kebingungan karena peristiwa bom itu mengerikan.
Dengan rasa marah dan jengkel akibat perbuatan para pelaku, Amrozi dkk. Masyarakat mengutuk terorisme. Di sisi lain kondisi psikologis tokoh Budi terganggu, ia terus merasa bersalah terhadap ayah Komang karena telah meninggalkan Komang saat terjadi tragedi bom Bali.
Sebaliknya, tokoh ayah Komang menganggap Komang tewas dalam tragedi bom tersebut karena merupakan takdir Tuhan. Ia berpendapat, kepergian Komang sebaiknya diikhlaskan dan tidak perlu disesalkan. Bukan karena salah Budi,
Dengan menggunakan analisis psikologis sastra dapat disimpulkan bahwa pengarang novel Hanya Nestapa ini mampu menggambarkan kejiwaan tokoh-tokoh dengan secara mendalam seperti ketika peledakan bom, ketika Budi mengajak Komang jalan jalan. Mereka disimulasikan dalam kondisi terkejut, sedih, marah kebingungan, panik, dan ketakutan.
Dari analisis teori mimpi, kondisi seperti itu dapat diartikan sebagai keinginan tidak sadar yang muncul dalam kesadaran. Mimpi adalah bentuk perealisasian suatu keinginan. Digambarkan oleh tokoh Budi yang dalam keadaan pingsan bermimpi bertemu orang yang dicari.
Ditinjau dari teori psikoanalisis dan teori mimpi Sigmund Freud, yaitu ketidaksadaran itu terdiri atas tiga instansi, id, ego, dan superego. Id digambarkan oleh tokoh Budi yang dirinya merasa senang karena telah menikah dengan tokoh Komang walaupun hanya mimpi.
Ego digambarkan tokoh Budi yang bersikukuh mengatakan dirinya tidak pingsan dan bertemu dengan tokoh Komang yang mengenakan pakaian pengantin. Superego digambarkan oleh tokoh Budi yang menganggap tokoh Komang tidak tahu norma berpakaian. Tokoh Komang berdiri di samping jenazah kakek Budi menggunakan pakaian pengantin,
Pada tahap akhir tragedi bom kembali terjadi di Jimbaran saat tokoh Dian dan Budi makan malam di restaurant di Jimbaran. Latar disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010:216).
Latar tempat novel Hanya Nestapa banyak ditempatkan di Kuta dan Jimbaran. Latar waktu dalam novel Hanya Nestapa dimulai pada tahun 2002 sampai tahun latar sosial kepercayaan agama Hindu dan kebiasaan orang beragama Hindu dalam bersembahyang sesuai dengan adat agama Hindu.
Kondisi psikologis masyarakat Bali, yang diwakili para saksi peristiwa bom,digambarkan oleh pengarang ada yang mengalami rasa ketakutan, panik, kebingungan. Tak jarang mengakibatkan seseorang bermimpi buruk dan ingatan akan hal tersebut akan terus menerus menimbulkan gangguan, seperti gangguan makan dan gangguan tidur, atau menimbulkan reaksi panik terhadap bau atau suara yang tiba-tiba. Juga bisa menimbulkan masalah hubungan iritabilitas dan gejala fisik,
Bagi sebagian orang yang mengalami tekanan ini menganggap semua itu adalah reaksi normal terhadap pengalaman yang traumatis. Namun, tidak semua orang memiliki reaksi yang sama terhadap trauma, atau pulih dengan cara yang sama, atau dalam jangka waktu tertentu.
Nah, novel Hanya Nestapa ini menggambarkan semua itu dengan baik dan bisa dipahami dengan mudah.[T]