“Maaf, Bu, jika boleh saya tahu, kenapa baru sekarang suami ibu diajak berobat?”
Kata-kata Dokter Ary tidak terdengar sebagai sebuah pertanyaan. Itu lebih terasa sebagai sebuah sikap menyayangkan.
Ni Luh Suci tahu betul maksud dari kata-kata Dokter Ary itu. Suara tangis yang sedari tadi ditahannya kini pecah. Ia berteriak histeris. Teriakannya terdengar lebih keras dari berisiknya putaran kipas angin yang tergantung di atas ruang konsultasi kecil itu.
Suster Mona yang berada di samping Ni Luh Suci terlihat salah tingkah. Ia berusaha keras menampilkan gestur empati.
“Maaf, Dokter. Maaf, Suster,” kata Ni Luh Suci. Ia terbata-bata. Ia masih mengangis. Tangisan wanita muda itu sepertinya layak dipercaya sebagai bentuk terbesar dari rasa cintanya kepada suami.
Dokter Ary dan Suster Mona membiarkan Ni Luh Suci tetap menangis.
“Saya nekat!” kata Ni Luh Suci. Tiba-tiba tangisannya berhenti. Kedua mata Ni Luh Suci sedikit mendelik. Sebelum melanjutkan bicaranya, ia menarik napas lebih panjang.
Dokter Ary dan Suster Mona tetap menunggu. Mereka seakan merasakan energi yang dihadirkan wanita itu. Tubuh Dokter Ary dan Suster Mona tampak jadi kaku dan pandangan serta perhatian mereka dipasang sedemikian rupa untuk menunjukkan betapa mereka siap menunggu lanjutan dari kata-kata perempaun itu.
“Saya nekat membawa suami saya ke sini berobat,” kata Ni Luh Suci kemudian. “Sudah hampir enam bulan saya mengikuti kemauan keluarga suami saya, untuk berobat kepada dukun dan hasilnya, sakit suami saya semakin parah. Seperti yang Dokter dan Suster lihat, suami saya tinggal tulang terbungkus kulit!”
Suara Ni Luh Suci kembali melemah, dan tangisannya mulai terdengar lagi.
Dokter Ary dan Suster Mona nyaris bersamaan menghela napas. Mereka tampak mencoba memahami kesedihan wanita itu.
“Saya mohon sebesar-besarnya, Dokter dan Suster dapat menyembuhkan suami saya. Agar ada yang saya ajak nanti membesarkan anak-anak kami yang masih balita. Hanya dia yang menjadi tumpuan hidup saya. Jika tidak sakit seperti ini, bulan lalu, harusnya suami saya sudah berangkat lagi bekerja ke kapal pesiar,” kata Ni Luh Suci.
Dokter Ary mengangguk pelan. “Baik, Bu, kami akan berupaya semaksimal mungkin. Mohon ibu bersabar dan tetap berdoa ya!”
Suster Mona mengangguk sebagai tanda setuju dengan ucapan Dokter Ary.
“Mohon dokter menjelaskan penyakit suami saya, apakah nanti ia bisa sembuh, Dok?” Sambil terisak, Ni Luh Suci menguatkan dirinya untuk bertanya meski air matanya terus berlinang.
Dokter Ary lalu menjelaskan dengan nada selembut mungkin.
“Baik, Bu. Suami ibu, I Made Arta, saya duga menderita kanker darah.”
Ni Luh Suci kembali histeris, lalu sesunggukan mendengar diagnosis Dokter Ary. “Ya Tuhaaan…!”
Suster Mona buru-buru mengusap bahu wanita sedih itu. Dokter Ary pun buru-buru melanjutkan penjelasannya.
“Namun, sepertinya ia mengalami jenis kanker darah yang punya peluang kesembuhan yang besar. Cukup banyak pasien-pasien kami yang saat ini membaik atau boleh dikatakan sembuh.”
Kepala Ni Luh Suci perlahan tegak lagi. Energi kembali membangunkan tubuhnya. Debaran jantung lebih kuat dan cepat mengalirkan energi ke kedua lengan dan tangannya.
Tiba-tiba tangannya sudah menjangkau dan meraih kedua tangan Dokter Ary. Ni Luh Suci mencium tangan Dokter Ary berkali-kali.
“Terima kasih, Dok. Terima kasih, Suster, terima kasih!” kata Ni Luh Suci. Masih dalam tangisan, namun kali ini ada getaran rasa penuh harapan.
Suasana hening sesaat. Hanya putaran kipas angin di langit-langit ruangan yang terdengar.
“Ya, Bu, kita lihat hasil lab suami ibu besok. Semoga sesuai dengan analisis saya!”
“Terima kasih, Dokter.”
Suster Mona membuka pintu ruangan dan keramaian suara suster-suster serta para pegawai menyeruak masuk. Ada kelakar dan canda tawa terdengar. Jam pulang memang selalu memberi energi tambahan di ujung rasa lelah bagi siapapun. Momen yang selalu ditunggu, walau itu terjadi setiap hari. Momen menggairahkan pulang ke rumah dan kembali bertemu keluarga setelah sehari berpisah. Betapa berharganya keluarga.
Begitu pula Dokter Ary yang siap melangkah pulang. Namun ia sempat kaget ketika Suster Mona berbalik ke arah ruang konsultasi sambil tersenyum dan bicara sambil lalu.
“Maaf, Dok, kelupaan mematikan kipas angin.”
Namun Suster Mona kaget, saat ia temukan kipas angin sudah mati. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Di balai sekepat di kediaman rumah orang tua I Made Arta, pada hari menjelang gelap, berkecamuk perbincangan yang dialiri rasa bingung, kecewa dan cemas. Mungkin pula rasa dengki yang telah paling lama bercokol di hati mereka. Terutama pada tubuh dan hati Ni Ketut Deni.
“Heran sekali saya sama I Suci! Semau-maunya sendiri saja membuat keputusan!” ujar Ni Ketut deni sengit.
Ni Ketut Deni adalah istri dari I Gede Adi. Dan, I Gede Adi adalah kakak dari I Made Arta. Jadi Ni Ketut Deni adalah ipar I Made Arta.
Di balai sekepat itu, Ni Ketut Deni duduk bersila seperti laki-laki, seperti mertua laki-lakinya dan seperti suaminya. Sementara mertua perempuannya duduk selonjoran, menyandar pada salah satu tiang sekepat, terbenam dalam kesedihan dan kebingungan.
Mendengar ocehan istrinya, seperti biasa, I Gede Adi setia untuk setuju dalam diam.
“Bapak tidak tidak bisa menghalangi. Apalagi sudah enam bulan kita upaya berobat Bali. Sekian banyak dukun, tidak juga memberi hasil apa-apa,” kata I Gede Adi.
“Tapi Bapak kan tahu sendiri. Empat dukun dari jauh-jauh sudah bilang, penyakitnya I Made memang gegaen anak. Dikerjai orang lain. Bahkan tiga dukun yang bilang itu adalah kerjaan istrinya sendiri. Bagaimana bakal sembuh dengan obat dokter. Coba Bapak, Ibu dan Gede piker! Di mana logikanya?” Ni Ketut Deni menyambar.
Si ibu, mertua perempuan Ni Ketut Deni, yang sedari tadi menyandar, berusaha menegakkan tubuhnya, menimpali dengan ucapan serak. “Kenapa sampai punya niat begitu jahat ya I Suci? Buruk sekali nasib anakku. Jauh-jauh bekerja ke luar negeri, punya istri ingin menguasai?”
“Di mana-mana, orang jika sudah punya ambisi jahat, maka suami sendiri dapat dikorbankan menjadi tumbal.” Ni Ketut Deni semakin berkobar.
I Gede Adi ikut bicara. “Sejak awal kita sudah curiga. Kok ada penyakit tiba-tiba seperti itu. Dalam beberapa bulan sudah kurus kering. I Made kurang hati-hati sama istrinya.”
“Bapak tak ngasi tau I Suci ya? Harusnya dia ikut di sini bicara dan bertanggung jawab!” kata Ni Ketut Deni hendak menyalahkan mertuanya.
“Bapak sudah ngasi tau dia, kita perlu bicara. Tapi I Luh Suci bilang harus menunggui suaminya di rumah sakit. Kedua anaknya pun tak mau dibawa ke sini. Mereka dititipkan sama tetangganya,” kata sang mertua laki-laki.
“Ya begitulah, orang kalau sudah ketahuan salahnya, pasti bakal menghindar terus. Apa kata orang coba? Dia lebih percaya tetangga ketimbang keluarganya sendiri?”
Ni Ketut Deni memang memiliki modal lengkap untuk membenci Ni Luh Suci. Sampai sekarang ia dengan suaminya belum dikaruniai seorang anak pun. Sementara iparnya telah memiliki dua orang anak. Lengkap pula laki dan perempaun. Suaminya yang tamatan sekolah pariwisata, diploma, justru tak bisa berangkat kerja kapal pesiar lantaran hasil tes kesehatannya diketahui mengidap hepatitis B. Penyakit yang kebanyakan tak memberi keluhan, namun membuat pengidapnya tak lolos tes untuk bekerja ke luar negeri atau tes TNI/polri.
Di pihak lain, iparnya yang cuma tamatan SMU, telah bolak-balik ke luar negeri, kerja di kapal pesiar dengan penghasilan yang semakin baik. Itulah kemudian, ia bisa membeli rumah untuk tinggal mandiri bersama keluarga kecilnya.
Sebaliknya I Gede Adi dan istrinya, hingga kini masih numpang di rumah orang tuanya.
“Masih ada satu kesempatan terakhir yang bisa kita lakukan untuk menolong I Made,” kata Ni Ketut Deni.
Kata-kata Ni Ketut Deni membuat semua yang ada di balai sekepat memberi perhatian.
“Kita minta tolong I Gede Joni, untuk mencarikan obat di Lombok. Dia bilang, banyak teman-temannya yang kena penyakit aneh bikinan orang, bisa disembuhkan,” kata Ni Ketut Deni.
Ia menceritakan adik bungsunya, I Gede Joni, yang bertugas sebagai polisi di kota Mataram.
“Besok saya hubungi I Joni. Bila perlu saya sama Gede berangkat ke Lombok. Begitu I Made sembuh, kita harus menyelamatkannya dari cengkraman istrinya!”
Tiba-tiba HP di saku baju kemeja I Gede Adi bergetar. Saat diperiksa, ada SMS dari Ni Luh Suci. Ia terperanjat seakan tak menyadari mulutnya bicara.
“I Luh ini,” kata Ni Luh Suci dalam SMS-nya.
Semua tegang, kalau-kalau ada berita buruk. I Gede Adi membacakannya.
“Bapak, ibu, Bli Gede dan Mbok Ketut. Maaf saya tidak bisa pulang ke rumah karena menunggu I Made di rumah sakit. Sudah enam bulan saya mau menuruti kemauan keluarga untuk mengajak I Made berobat ke balian. Saya jalani walapun sambil menerima tuduhan yang sangat kejam. Saya-lah yang dibilang menyakiti suami saya sendiri. Saya tidak pernah melawan maupun membela diri. Tapi mohon izinkan mulai hari ini saya merawat suami saya di rumah sakit. Ini hak saya sebagai istrinya. Saya menyerahkan semuanya kepada Hyang Widhi Wasa, terimakasih.”
Meski I Gede membacanya dengan gayanya yang penuh keraguan dan tampak selalu tak punya sikap, isi SMS itu telah membuat seisi balai tertegun dan menciut.
***
Hampir tiga minggu sudah, I Made Arta menjalani opname di rumah sakit. Ia menerima transfusi beberapa kantong sel darah merah lantaran mengalami anemia berat. Kini kondisinya sudah jauh membaik. Ia bisa menghabiskan porsi makan yang disiapkan petugas gizi dan mampu lebih sering duduk. Tubuhnya tampak lebih gemuk.
“Selamat pagi, Pak Made!”
Dr Ary menyapanya dengan hangat dan selalu menjadi hal yang senantiasa ditunggu-tunggu oleh I Made dan juga istrinya. Ni Luh Suci memberi hormat dengan mencakupkan kedua tangannya di dada. Suaminya memberi senyum. Suster Mona mendampingi kunjungan Dokter Ary pagi itu.
“Hasil lab Pak Made pagi ini sangat bagus Bu Luh. Sel darah putihnya sudah turun di bawah 50 ribu. Ibu masih ingat kan, saat pertama kali diperiksa nilainya sampai 400 ribu lebih. Jika saja terlambat, itu dapat saja menimbulkan bekuan darah di otak, dan menyebabkan kematian mendadak,” kata Dokter Ary.
Meski sekilas, informasi yang disampaikan Dokter Ary, seakan menakutkan. Namun I Made Arta, istrinya, maupun Suster Mona merespon dengan senyum. Karena sejatinya, maksud yang disampaikannya adalah sebuah berita baik.
Ni Luh Suci lebih banyak menyampaikan perasaannya lewat mimik wajah maupun sinar matanya. Sesuatu yang baginya adalah sebuah mukjizat.
“Saya kira, penyakit leukemia itu tidak bisa sembuh, Dok?” kata Ni Luh Suci.
“Oh ya. Jika leukemia akut, itu memang masih sulit disembuhkan. Jika leukemia kronis seperti ini, dengan pengobatan yang teratur dan penemuan obat yang semakin bagus saat ini, pasien punya harapan sembuh sangat besar. Ini, limpanya Pak Made sudah mulai mengecil.”
Dokter Ary berbicara sembari telapak tangan kanannya meraba bagian kiri atas perut I Made Arta, pasiennya. Bibirnya selalu tersenyum. Ia menjelaskan tentang penyakit kanker darah yang bisa disembuhkan. Disamping modal penemuan obat-obatan yang makin mujarab alias efektif, semakin cepat dan disiplin menjalani terapi adalah kunci yang lain.
“Hari ini, Pak Made sudah boleh pulang. Suster Mona jangan lupa menyiapkan surat kontrol untuk rawat jalan ya. Pak Made dan Ibu harus tetap semangat ya. Harus yakin sembuh,” kata Dokter Ary.
Genangan air mata semakin banyak di kedua sudut mata Ni Luh Suci, lalu air mata itu mengaliri pipinya begitu ia mengedipkan mata.
Di meja konter paramedis, sembari menyiapkan keperluan administrasi untuk pasien yang pulang, sambil tersenyum, Suster Mona mengajukan pertanyaan kepada Dokter Ary.
“Dokter percaya magic?”
“Percaya.” Dokter Ary menjawab sambil mengangguk. Lalu meneruskan, “Magic itu energi. Ya tentu saja ada. Karena sering dipercaya dapat menyebabkan penyakit, maka menurut saya itu adalah energi negatif.”
“Tapi kok menurut ‘orang pintar’, penyakit Pak Made itu akibat magic?”
“Memang betul, semua yang terjadi karena energi kan? Itu jelas jawaban orang pintar, makanya dukun itu disebut orang pintar, ha ha ha! Seperti penyakit ini misalnya. Penyakit kanker darah kronis ini, disebabkan karena mutasi gen atau kromosom. Lalu jika ditelusuri, mutasi gen itu karena apa? Semua tak ada yang tahu. Tapi sudah pasti karena peranan energi. Ya kan?”
Suster Mona tak bisa memberi reaksi apa-apa. Ia cuma tercengang, mengapa segala hal jika diterangkan Dokter Ary menjadi benar?
“Jika kamu bertanya apakah kebencian seseorang dapat menyebabkan penyakit pada orang lain, saya akan menjawab kebencian lebih sering menyakiti diri sendiri!” kata Dokter Ary.
Suster Mona dalam hatinya sangat meyakini kebenaran ucapan Dokter Ary. Ketika hendak minta tanda tangan surat kontrol pasiennya, ia terkaget. Dokter Ary sudah tak ada di depannya, namun, suratnya sudah berisi paraf. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Setelah hampir enam bulan lamanya I Made Arta menjalani pengobatan rawat jalan, tubuhnya telah pulih, hampir seperti sedia kala. Dalam enam bulan itu pula hubungan keluarga ini dengan keluarga besarnya belum pulih betul. Lebih-lebih dengan iparnya, Ni Ketut Deni.
Sore itu mereka sedang merawat halaman rumah, kedua anaknya ikut bermain air yang digunakan ayah mereka untuk menyiram tanaman. Ni Luh Suci hampir selesai menyapu pekarangan, ketika mereka melihat sesuatu yang sulit mereka percaya.
Dari gerbang depan, Ni Ketut Deni berjalan setengah menunduk diikuti suaminya yang selalu penuh keraguan.
“Deee, Luuuh, ini Mbok,” kata Ni Ketut Deni memanggil-manggil dengan lunglai, tak lagi getar seperti biasa.
Meski kikuk dan ragu-ragu, pengalaman menghadapi kesulitan telah membuat pasangan tuan rumah itu menjadi lebih kuat. Mereka mengajak ipar dan saudaranya duduk di kursi teras.
“Ada apa ya, Mbok, Bli Gede?” Ni Luh Suci cepat bertanya, mengurangi basa-basi. Pikirannya penuh tanda tanya, begitu juga I Made Arta.
“Made, Luh, maafkan Mbok selama ini. Mbok dan Bli Gede ikut bersyukur, I Made bisa sembuh seperti sekarang,” kata Ni Ketut Deni. Ia semakin menunduk, suaminya cuma bengong. Lalu ia melanjutkan, maksud pokoknya.
“Luh, Mbok minta tolong Luh dengan sangat. Mbok menerima kabar, adik Mbok di Lombok, Gede Joni didiagnosis penyakit kanker darah,” kata Ni Ketut Deni.
Ni Luh Suci mendengar dengan sedih.
“Tolong beri petunjuk pengobatan agar I Gede Joni bisa sembuh!” kata Ni Ketut Deni kemudian. Kali ini ia menangis tersedu-sedu. [T]