DATA BUKU
Penulis dr. Putu Arya Nugraha, Sp.PD
ISBN: 978-623-5435-00-8
Tebal xiv + 300 halaman, 13X20 cm
Editor Made Adnyana Ole
Penerbit Mahima Institute Indonesia + Yayasan SeSama
Cetakan pertama, Mei 2022
[][][][][][]
Everything should be made as simple as possible,
but not simpler
– Albert Einstein
Sangat sederhana ketika kita membaca pikiran seorang dokter yang juga penulis, Putu Arya Nugraha—akrab dipanggil Dokter Arya–dalam buku terbarunya yang berjudul “Dinosaurus Punah Virus Tidak” (Mahima, 2022). Kalimatnya sederhana, pendek, bernas dan lugas. Tidak ada kalimat yang menggebu, semua terkesan ringan, namun sesungguhnya tidak.
Ada sebuah kesadaran mendalam yang ditawarkan oleh Dokter Arya. Sebuah perspektif. Sebuah pandangan yang mindful. Mindful dapat disederhanakan menjadi sebuah konsep hidup berkesadaran tinggi, meskipun tidak sesederhana itu.
Ellen J Langer (1989) dalam konsep mindfulness yang sangat terkenal itu mengatakan bahwa menjadi mindful adalah sebuah pilihan belajar yang sangat urgent dalam konteks kemanusiaan kita. Manusia seharusnya terus memperbaiki hidupnya dengan belajar.
Dan menjadi mindful adalah pilihannya. Mindfulness adalah sebuah kondisi dimana pikiran kita terkondisikan untuk mengamati, menemukan, menyelidiki, dan akhirnya membuahkan pandangan baru.
Ada 4 ciri khas seseorang yang memiliki mindfulness itu menurut Langer.
Pertama, memiliki kemampuan memandang sesuatu dari perspektif berbeda. Dalam konteks Dokter Arya sebagai dokter yang menjadi penjaga gerbang Covid-19, kita memahami bahwa setiap harinya Dokter Arya telah menyerahkan kehidupannya pada garis tipis yang bisa membawanya ke gerbang dunia lain.
Setiap hari dia membentengi diri dengan peralatan ‘tempur’ yang tak sederhana, setiap hari pula dia berhadapan dengan rasa takut, tentu saja. Tapi yang membawanya mindful, adalah kemampuan melihat sesuatu dari perspektif berbeda. Harapan misalnya. Tentu selalu ada harapan di balik semua musibah kan. Apakah yang menyelamatkan manusia dari perasaan penuh kesia-siaan? Salah satunya pasti harapan.
Dengan perspektif berbeda, seorang Dokter Arya telah menjadi manusia yang melengkapi dirinya setiap hari dengan kenyataan yang tak sederhana, menghadapi pasien yang meninggal, keluarga pasien yang tak siap. Dan seterusnya. Jika dia bukan seorang yang mindful, tentulah dia telah terkubur bersama semua kesedihan.
Jika dia seorang seniman murni yang lebih bergerak dengan intuisi dan emosi, mungkin dia sudah pergi bersama semua imajinasinya. Tapi dia seorang dokter. Yang harus berjaga di gerbang. Antara kehidupan dan kematian. Mindfulness telah menyelamatkannya.
Kedua, ciri mindfulness berikutnya adalah mampu menggali informasi baru. Setiap detiknya dalam hidup kita, tak ada yang persis sama. Tak ada yang betul-betul sama. Hanya orang yang lemah dalam jiwa yang tak tahu bahwa setiap detik kita berbeda dengan rasa dan pengalaman yang berbeda. Seseorang yang mindful adalah mereka yang belajar menemukan hal-hal baru setiap harinya. Dengan demikian ia terus menemukan celah belajar.
Dokter Arya adalah cermin sifat kedua ini. Suatu tulisan memperlihatkan sisinya sebagai seorang ayah, sedang mendengar anak bungsunya memberikan tebak-tebakan sederhana. Yang tak dapat dijawabnya. Sebuah momen langka, karena di balik semua kesibukannya menjadi dokter, ia kerap mengabaikan waktu bersama anak-anaknya.
Tiba-tiba ada hal baru yang ia sadari, anaknya telah bertumbuh, rumahnya seperti mengecil, dan pusara anjing kesayangan istrinya membuat dia tersentuh. Hal-hal baru yang direkam seperti ini, adalah sebuah momentum mindfulness. Sebuah kesadaran sederhana namun mendalam. Dari Dokter Arya kita belajar, kembalilah ke rumah, kembalilah menemukan diri. Yang mungkin lama ditinggalkan.
Yang ketiga, menemukan konteks. Seorang dokter yang sibuk pastilah ahli memilah-milah konteks. Konteks mana harus menjadi dokter, konteks mana harus menjadi teman, konteks mana harus menjadi ayah. Dalam tulisan ini kita menyadari kemanusiaan Dokter Arya. Dia hadir hampir di segala konteks. Di segala lini. Di segala penyertaan. Dan di segala kemungkinan.
Contoh nyata adalah ketika saya mencoba mengirim pesan whatsapp perihal kesehatan anak saya. Kecemasan seorang ibu, dalam konteks tertentu telah ditangkapnya, dan solusi yang diberikan Dokter Arya sesuai konteks. Kapan harus dirawat jalan, kapan harus dirawat di RS, dia telah menempatkan konteks pada waktu yang tepat. Dan penyertaan itu tentu bagi dia terasa sederhana saja, tapi bagi saya, itu adalah sebuah tindakan mindfulness yang bermakna.
Yang keempat, membuat kategori baru. Seseorang yang mindful bukanlah orang yang suka mengikuti pola lama. Namun selalu hadir dengan kebaruan. Tulisan Dokter Arya adalah lintasan pikiran-pikiran yang telah diperbaharuinya dengan sengaja atau tak sengaja tapi kami merasakannya.
Tulisan-tulisan Dokter Arya telah bertumbuh dari waktu ke waktu telah menjadi baru dan selalu diperbaharuinya. Tak mungkin tidak dapat dikatakan bahwa kemampuan adalah hasil latihan yang diasah terus menerus. Dan bukan hanya dilatih terus menerus namun juga diperbaharui terus menerus. Inilah ciri mindfulness yang keempat.
Pemikiran yang terus menerus dilatihkan dengan hati-hati ini mengingatkan saya pada buku menarik karya Marvin Minsky berjudul The Society of Mind (1985). Di dalam buku ini saya memahami bahwa sebuah pikiran tidaklah datang sendiri. Dia datang dari pikiran-pikiran lain, dari waktu yang lain lain pula, dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Pikiran juga datang dari budaya yang mendasari pikiran awal, yang juga dipengaruhi dari konteks-konteks yang memperkayanya.
Jadi pemikiran seorang Dokter Arya logikanya hadir dari pikiran-pikiran yang membentuk masyarakat pikiran dalam pikirannya. Inilah yang kemudian diperkenalkan menjadi pikiran-pikiran yang mewakili suaranya. Kemudian inilah yang bisa membentuk pikiran masyarakat.
Sederhananya kumpulan pikiran di dalam pikiran ini kemudian dituliskan dan membentuk pikiran baru yang diteruskan ke masyarakat. Ketika masyarakat memikirkan pikiran itu, maka akan lahir kumpulan pemikiran baru yang terus menjadi pikiran baru yang terbarukan terus menerus.
Dalam konteks itu sesederhana apapun pemikiran yang kita dapatkan dari Dokter Arya, maka bila kita berada dalam mindfulness, kita akan selalu menemukan hal baru, perspektif baru, konteks baru, dan potensi kebaruan pikiran.
Lalu sebelum tulisan ini menjadi panjang dan berlarut-larut, saya ingin mengakhirinya dengan membahas pikiran Albert Einstein yang membuka tulisan ini “Everything should be made as simple as possible, but not simpler”.
Bagi siapapun yang mencoba meyakini hal-hal sederhana, sebagaimana ia meyakini hidup ini sederhana, itulah manusia yang sederhana. Ia menyikapi dengan sederhana, meski tahu bahwa kesederhaan itu sangat subjektif, sangat personal, sangat konteksual, dan sangat multiperspektif.
Dalam konteks itu rupanya saya sedang mengupayakan menjadikan diri menjadi lebih mindful, menjadi lebih terbuka, lebih mudah belajar dan lebih bertumbuh. [T]
- BACA artikel lain dari penulis Kadek Sonia Piscayanti