Di ruang pameran yang megah, di Agung Rai Museum of Art (ARMA) Ubud, Bali, terpajanglah 24 lukisan, 6 karya rupa dengan bahan kayu berupa panil, 3 set karya seni gerabah, dan 10 karya fotografi. Totalnya terdapat 43 karya seni, dan semuanya dipajang atau dipamerkan di ARMA Ubud sejak Selasa 6 September 2022.
Karya-karya itu lahir dari tangan para dosen seni rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan merupakan hasil karya dari program Penelitian dan Penciptaan Seni (P2S) di kampus itu. Hampir semua karya punya upaya keras untuk memberi sekaligus menampilkan makna, filosofi, dan pesan indah dan pesan tak indah tentang air.
Untuk itulah pameran itu diberi tajuk ”Ngerupa Guet Toya”. Bisa diartikan secara mentah-mentah sebagai “Menggambar Garis Air”. Bisa juga diberi makna luas, selayaknya rangkaian kata-kata dalam puisi. Misalnya, diartikan sebagai “memberi wajah pada air yang sudah hilang tanpa bentuk”.
BACA JUGA:
- Seni Rupa Bali dan Persoalan Arsip
- Pameran Seni Rupa “Megibung”: Kolaborasi dan Kesadaran Berbagi dalam Proses Berkarya
Secara luas, karya-karya para dosen ini menampilkan pesan dan ajakan untuk memahami lingkungan, membaca lingkungan, memanfaatkan lingkungan, merawat lingkungan. Alam adalah kesatuan organis yang tumbuh, berkembang dalam adabnya sendiri.
Karya-karya rupa itu berkisah tentang air. Air yang muncul dari mata air. Air yang mengalir, air yang penuh manfaat bagi semua mahluk, dan air yang harus dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain pelestarian melalui tradisi sakral dan kepercayaan-kepercayaan yang juga sakral.
Sapi, Petani-Nelayan dan Ikan-ikan
Bicara tentang air, tentu saja para dosen-perupa itu menggambarkan air beserta segala hubungannya dengan materi-materi alam, hewan, manusia, juga materi yang tak kasat mata.
Simak misalnya dalam satu bidang lukisan terdapat sosok nelayan dengan dungki (kantong wadah ikan dari anyaman bambu), sapi, dan kepala-kepala sapi yang seakan-akan tercebur dibawa sinar matahari dari langit.
Pameran “Ngerupa Guet Toya” di ARMA, Ubud, Bali
Karya lukisan itu tentu bisa membangkitkan romantisme Bali, di mana banyak hal sudah hilang, dan kita tetap mengenangnya hingga kini, meski hanya lewat lukisan, ukiran, dan patung. Justru dalam lukisan itu bentuk air bukanlah hal yang ditonjolkan, melainkan bagaimana sapi dan nelayan yang berjongkok di ssisinya membuat kita paham pada masa lalu yang secara perlahan bisa hilang.
Air pun demikian. Ia bisa hilang. Dan jika ia hilang, maka tak ada lagi kehidupan apa pun di dunia ini. Maka dalam pameran itu ada sebuah lukisan dengan obyek ikan dengan beragam rupa. Ikan bergerombol. Mereka meratap atau mati. Ikan yang sendiri. Ia mungkin saja lukisan dari manusia yang kesepian di tengah alam yang tak penuh lagi dalam memberi kehidupan. Kita telah merusaknya.
Pemahaman itu bersambung dengan perkataan Rektor ISI Denpasar Prof. Wayan Kun Adnyana saat memberi sambutan untuk pameran 43 dosen ISI itu. Air, kata dia, sebagai salah satu entitas utama yang terdapat di muka bumi memiliki sifat-sifat yang unik dan penuh filosofis.
“Air juga merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Sumber-sumber air pasti menjadi pusat perkembangan peradaban,” kata Kun Adnyana.
Tema air, lanjut dia, yang diangkat dalam pameran ini sangat relevan dengan isu-isu global yang berkembang belakangan ini, khususnya tentang pemanasan global. Keberlangsungan (sustainability) dari air itu sendiri menentukan kualitas kehidupan yang ada di bumi nantinya.
“Artinya, sangat penting menyampaikan pesan-pesan kebudayaan tentang air kepada dunia,” kata Kun Adnyana.
Dibuka dengan Kegembiraan
Pameran ”Ngerupa Guet Toya” dibuka dengan penuh kegembiraan oleh Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Dr. I Ketut Muka. Tentu juga dihadiri oleh Agung Rai, pemilik ARMA.
Wakil Rektor Ketut Muka mengatakan, pameran ini sebagai pembuktian bahwa karya-karya seni penciptaan ISI Denpasar sudah masuk museum. Apalagi, kegiatan ini dimotifasi pemilik museum ARMA, sehingga para dosen bisa menyajikan karya seni, di samping sebagai bentuk menlaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Pameran “Ngerupa Guet Toya” di ARMA, Ubud, Bali
Pameran para dosen ini diharapkan dapat menginspirasi para dosen lain, juga mahasiswa dalam berkarya. Kehadiran mahasiswa dalam kegiatan ini, akan dapat merangsang mereka untuk lebih kreatif baik dalam menggali ide dan menghasilakn karya seni. “Ini pameran hasil karya dari program P2S, semoga saja nantinya kouta dan volumenya ditambah,” kata Muka.
BACA JUGA
- “Bah Bangun: Diorama Seni Lukis Kamasan” dalam Pameran “Manifesto VIII: Transposisi” di Jakarta
- “Sekala-Skala”: Menakar Geliat Seni Patung SDI
Suasana senang menyeruak pada acara pembukaan itu, termasuk Agung Rai, karena museum yang dikelolanya itu sudah memberi manfaat pada karya-karya dosen ISI yang dibuat dari hasil penelitian itu.
“Tugas museum adalah memfasilitasi dan mengangkat, sehingga bisa dipertanggung jawabkan baik secara nasional maupun internasional,” kata Agung Rai.
Agung Rai mengatakan, pameran ini bisa disebut sebagai sebuah terobosan baru, dimana seniman sudah melirik pentingnya museum sebagai ruang untuk mengapreasi karya seni. ARMA sudah menasional, bahkan lintas negara untuk menyaksikan karya-karya seni yang dipamerkan.
“Pameran ini akan memberikan suasana baru bagi publik, selain public juga menyaksikan pameran yang dilakukan secara tetap di ARMA,”kata Agung Rai.
Agung Rai dalam pameran “Ngerupa Guet Toya” di ARMA, Ubud, Bali
Koordinator Prodi Seni Murni ISI Denpasar Wayan Setem yang juga menjadi tim kurasi pameran mengatakan, pesan dari karya-karya yang dipamerkan kali ini, sebagai ajakan memahami lingkungan untuk ”dibaca” dan dimanfaatkan.
Alam, kata dia, adalah kesatuan organis yang tumbuh, berkembang dalam adabnya sendiri. Prilaku dan daya hidup dari sebuah ekosistim merupakan mutual yang saling memberi.
Esensi dari karya-karya yang ditampilkan ini adalah, Bali tidak hanya cukup dijaga dengan Om Shanti, Shanti, Shanti, melainkan harus lebih jauh dari itu, yakni kita bersama mencari tafsir baru mengenai kaitan Tri Hita Karana dengan menggali kearifan lokal yang sesuai konteks zaman.
“Semua harus menjaga Bali, tidak saja orang Bali, tetapi juga para pendatang,” kata Setem. [T][*]