Bukankah hidup adalah sebuah pilihan, tapi mengapa hidup kerap kali menyuguhkan hal-hal yang tidak pernah dipilih sebelumnya? Setidaknya itulah yang diyakini Sukasih setelah begitu beratnya cobaan hidup yang ia terima di usia senja. Menikah di usia 25 tahun, memiliki anak-anak yang lucu, menyaksikan anak-anaknya tumbuh, hingga menyaksikan anaknya menjadi seorang sarjana adalah hal sederhana yang ingin diraih dalam hidupnya.
Setidaknya itu adalah sebuah perjalanan yang pernah Sukasih harapkan di awal masa pernikahannya. Hingga saat usianya menginjak 50 tahun, apa yang ia tulis seketika berubah di luar kehendaknya. Cahaya matahari hendak rebah di ufuk barat saat ia menyiram tanaman di halaman rumah. Rutinitas ini sudah dilakukannya hampir 4 tahun lamanya. Biasanya tugas tersebut dilakukan oleh Kinanti, anak perempuan semata wayangnya.
Sesudah menyiram tanaman, ia kemudian menikmati teh sembari menunggu suaminya, Rajeg, pulang bekerja. Rajeg sudah hampir tiga tahun bekerja sebagai pengrajin keranjang dari anyaman bambu. Sebelumnya ia bekerja sebagai penggarap sawah hingga pekerjaan tersebut tidak bisa ia lakukan lagi karena sebuah kecelakaan fatal yang mengharuskannya kehilangan kaki kanannya.
Sukasih termangu di kursi bambu yang selalu berdecit saat ia duduk. Sepasang bola matanya sengaja ia tautkan pada sebuah foto 16R di tembok, tepat di atas TV tabung yang sudah ia miliki sejak 15 tahun lalu.
Dalam foto tersebut, senyum bahagia terlihat jelas di wajahnya, Rajeg, dan Sukma Kinanti. Ia ingat betul foto itu diambil saat Kinanti menamatkan sekolah di salah satu SMA di desanya. Putrinya menjadi lulusan terbaik saat itu, dan prestasinya tersebut mengantarkannya pada beasiswa untuk melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi.
“Kinan pasti banggain Bapak sama Ibu nanti,” kata Kinan setelah sesi foto berakhir yang disambut dengan pelukan kedua orang tuanya.
Sukasih dan Rajeg membesarkan Kinanti penuh dengan kesederhanaan. Akan sangat muluk-muluk ketika ia berharap hidup bergelimang harta dan menjalani hidup begitu mudah. Ia sudah terbiasa hidup serba kekurangan bahkan sejak bayi. Orang tuanya yang hanya berprofesi sebagai petani penggarap membuatnya terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Hal itulah yang selalu ditekankan Sukasih kepada Kinanti. Meski demikian, ia dan suaminya sepakat bahwa pendidikan adalah hal utama yang harus dipenuhi.
Baginya, Kinan adalah cahaya di tengah kegelapan hidupnya. Meski harus meminjam uang ke tetangga dan saudara, ia dan suaminya selalu mengusahakan agar Kinanti dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Sampai akhirnya, prestasi demi prestasi mengantarkan Kinanti berada di tahap pendidikan tinggi yang sebelumnya tidak pernah dicicipi olehnya maupun Rajeg.
*
Kinan adalah perempuan yang diandalkan di desa, khususnya menari. Setiap upacara agama yang membutuhkan penari, Kinan tak pernah absen untuk terlibat. Tak hanya menari, ia juga menghidupkan olahraga bola voli di desanya. Kini olahraga bola voli tidak hanya digandrungi oleh kaum laki-laki, tapi kaum perempuan di desa pun antusias dengan olahraga tersebut.
Kini ia sedang meniti impian menjadi seorang sarjana. Prestasi-prestasi yang ia raih semasa SD hingga SMA mengantarkannya mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi. Menjadi sarjana pertama di keluarganya dan menjadi kebanggaan bagi orang tuanya. Berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah, tidak menghambatnya untuk berprestasi. Sebaliknya, kekurangan tersebut ia ubah menjadi motivasi untuk meraih pencapaian yang lebih dari teman-temannya.
Langit mulai menunjukkan warna jingganya tatkala Kinanti akan berpamitan. Senja mungkin bagi kebanyakan orang adalah momen perpisahan antara matahari dan bumi. Tapi baginya, senja adalah momen bertemunya terang dan gelap yang menyuguhkan keindahan bagi segenap mahluk hidup. Keindahan itulah yang ingin ia raih dan persembahkan pada orang tuanya.
“Udah mau berangkat, Kinan?” tanya Sukasih setelah menyapu kamar tidur.
“Iya, Bu. Biar Kinan sempat istirahat di kos,” menghampiri Ibunya dan mencium tangannya.
“Kinan, jangan boros. Uang beasiswanya kan bisa bantu-bantu untuk biaya buat skripsi. Kalau bisa, sekalian sama wisudamu tahun depan,” kata Rajeg yang sedang duduk sambil memegang koran pemberian Pak Wayan pemilik warung kopi di depan rumah.
“Jangan khawatir, Pak. Kinan udah nabung untuk wisuda tahun depan kok,” kata Kinan lalu mencium tangan bapaknya.
Menggunakan motor matik bekas yang sudah ia gunakan sejak SMA, Kinanti melaju menuju kota, meninggalkan ketenangan kampung halaman yang tidak bisa ditemui di rantau.
Lagu berjudul “Manusia Kuat” yang dinyanyikan oleh Tulus menemani Kinanti bersama dua temannya berbincang di depan Kamar Kos. Mereka bertiga memiliki keresahan dan juga impian yang sama—lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude. Menginjak semester 7, Kinan menjalani masa studinya dengan cukup baik. Nilai IPK yang selalu berada di atas teman-temannya, berlangganan mengikuti lomba untuk mewakili jurusan, dan beberapa kali mendapat juara menjadikannya cukup menonjol secara akademis.
“Sumpah, aku deg-degan nunggu pengumuman besok,” ujar Melati sambil membiarkan punggungnya bersandar di pilar.
“Menunggu memang kerap kali membuat kita berdebar, jadi apa yang kamu rasakan itu cukup wajar saudari Mela,” Aldi memberatkan suara layaknya motivator tenar yang berseliweran di televisi.
“Apaan sih, biasain aja ngomongnya, Al!” protes Melati lalu memukul lengan kiri Aldi.
“Terus kamu gimana, Kinan? Deg-degan nggak?” mengalihkan pertanyaan ke arah Kinanti.
“Iya, Mel. Aku deg-degan juga. Semoga nggak dapat Prof. Kembar atau Bu Resmi, bisa-bisa jadi mahasiswa abadi aku.”
“Bener juga katamu, Kinan. Aku sih berharapnya dapat Pak Surya. Udahganteng, masih muda, pinter lagi. Aku juga dengar kalau dia itu bakal jadi Ketua Jurusan,” kata Melati dengan matanya yang berbinar.
Kerumunan mahasiswa memenuhi papan pengumuman pagi itu. Kinan memilih mengajak Melati duduk di Taman Internet, tidak jauh dari papan pengumuman. Ia lebih memilih untuk menunggu sampai kerumunan perlahan surut. Setidaknya ia ingin membaca pengumuman tanpa harus berdesakan dengan teman-temannya. Sepuluh menit berlalu. Ia sudah berada di depan papan pengumuman. Sepasang matanya mulai menjelajah deretan tabel yang berisi begitu banyak nama mahasiswa beserta dosen pembimbing. Yes! Bukan Prof. Kembar atau Bu Resmi yang menjadi dosen pembimbing serunya dalam hati. Adalah Dr. Surya Prakasa yang bakal menjadi dosen pembimbingnya. Seorang dosen muda berprestasi. Disegani dosen lain di jurusannya. Begitu banyak mahasiswi yang mengagumi sosok Pak Surya, termasuk Kinanti di dalamnya.
Segaris senyum tergambar di wajah Kinanti. Selain terhindar dari dua dosen killer, begitu banyak teman-teman perempuan yang iri dengan nasibnya. Menjadi anak bimbingan Pak Surya adalah dambaan setiap mahasiswi di jurusannya. Hal itu pun menjadikannya merasa lebih beruntung dibanding yang lain. Deru langkah kaki mahasiswa mulai reda di hadapannya. Sudah 15 menit ia duduk di depan ruang dosen, ia masih kesulitan mengaitkan kata satu dengan kata lain. Tumpukan kata yang ia miliki seketika lenyap. Lantas apa yang harus ia katakan kepada Pak Surya?
Hanya dua kamar kos yang pintunya masih terbuka dan lampunya masih menyala. Itu pasti kamar Aldi dan Melati ujar Kinan dalam hati. Setelah menutup pintu gerbang kos, dengan wajah begitu muram ia melangkah ke kamar kos Melati yang berada di ujung.
“Baru pulang? Habis dari mana, Kinan? Biasanya juga jam 8 udah matiin lampu,” Melati mencecar banyak pertanyaan ke hadapan Kinanti.
“Huhhh… Iya, Mel. Aku baru habis bimbingan di rumah Pak Surya,” air matanya mulai mengalir tatkala wajahnya mendarat di atas bantal.
“Kamu kenapa? Kok nangis, Kinan?” tanya Aldi yang memerhatikan Kinan sejak tadi.
“Kenapa nangis, Kinan? Kamu kena marah Pak Surya? Atau kenapa? Cerita sama aku,” Melati langsung memeluk Kinanti yang masih terbaring di kasur.
“Enggak kenapa kok, Mel, Al. Aku cuma kangen rumah aja. Enggak lebih,” lalu menyeka air matanya.
Pelukan Melati melempar ingatannya kembali kepada hal yang menimpanya hari itu. Kerumunan awan hitam yang memenuhi langit sejatinya memberikan pertanda buruk baginya. Tapi tidak dengan wajahnya yang begitu cerah menyambut fase lebih tinggi sebagai mahasiswa. Senja itu ia duduk cukup lama di beranda rumah Pak Surya. Hari ini adalah kali ketiga bimbingan setelah ia menyelesaikan draf bab satu dan sebagian bab dua skripsinya. Dosen mud aitu muncul di bibir pintu dan mempersilakan Kinanti masuk ke ruang tamu. Sore itu Pak Surya mengenakan celana jins dan baju kaos hitam polos—samar namun menampakkan tubuhnya yang atletis.
“Oke, sepertinya kamu perlu nambahin data di bagian latar belakang. Nanti bapak kirimkan beberapa jurnal, setelah itu kamu coba rinci di bagian batasan masalah. Kalau seperti ini nanti penelitianmu bisa melebar,” jelas Pak Surya.
“Baik, Pak,”
“Kamu kenapa nunduk aja?” tanya Pak Surya yang kini sudah duduk di samping Kinanti.
“Kalau kamu kurang enak badan, mungkin bisa istirahat di kamar bapak,” segaris senyum menghiasi wajah Pak Surya, dan tangannya mulai mengelus paha Kinanti.
Apa yang dilakukan Pak Surya menyentak kesadarannya. Kekaguman yang selama ini tumbuh atas sosok Dr. Surya Prakasa kini perlahan layu menunggu mati.
“Tolong jaga sikap Bapak! Hal ini tidak menjadi bagian dari proses bimbingan, Pak!” tangannya coba menahan jemari dosennya.
Masih dengan segaris senyum di wajahnya, Pak Surya justru semakin merapatkan tubuhnya. Kinanti mencoba menahan tubuh dosennya. Mencoba bertahan dan menyadarkan Pak Surya yang terlihat dikuasai berahi.
“Siapa yang bilang ini bukan bagian dari proses bimbingan? Justru ini penting membuatmu lebih dewasa, Kinan,” bisik Pak Surya.
“Jangan macam-macam ya, Pak. Nanti saya laporkan bapak ke Ketua Jurusan!”
“Kalau kamu siap untuk tidak lulus, silakan laporkan!”
Nyalinya menciut. Pikirannya terbang ke kampung halaman dimana kedua orang tuanya menunggu kabar baiknya—membawa ijazah dan membuat bangga kedua orang tuanya. Air mata tumpah dari pelupuk matanya. Pertahanannya ambruk. Seketika kuasa atas tubuhnya diambil alih secara paksa. Ia terperosok ke jurang kesedihan terdalam. Ia hanya terdiam menyaksikan Pak Surya dikuasai berahi binatang. Ia merasa mual karena pernah merasa beruntung mendapatkan dosen pembimbing seperti Pak Surya.
Dalam pelukan Melati, air matanya kembali mengalir bak sungai yang disibukkan menampung air hujan.
Berada dalam kuasa Pak Surya membuatnya tak berdaya. Tubuhnya dibolak-balik sesuka hati. Tak sedikit pun hadir rasa iba di hati dosennya. Gendang telinganya dipaksa menerima lenguh kenikmatan Pak Surya. Lubang vaginanya dipaksa menerima benda asing yang tidak pernah ia kehendaki. Waktu pun terlihat enggan berpihak padanya. Apakah untuk meraih gelar sarjana aku harus mengorbankan tubuhku untuk dinikmati oleh dosenku sendiri? protesnya dalam hati. Guncangan semakin keras ia rasakan. Pada akhirnya cairan hangat menyelusup ke dalam tubuhnya mengakhiri kelakuan binatang dosennya.
“Tubuhmu begitu indah dan nikmat, Kinan. Saya tunggu waktu bimbingan selanjutnya,” bisik Pak Surya lalu mencium pipi mahasiswinya—Kinanti hanya terdiam, tenggelam dalam tangis, menyesali nasib sial yang menimpanya, merasakan berat di matanya, lalu larut dalam ketidaksadaran.
Malam sudah larut. Kinanti masih terbaring lemas di kamar Melati dengan pakaian yang masih belum berganti.
“Supaya enakan, mending kamu mandi dulu. Hari Sabtu besok aku antar kamu pulang kampung!” Melati coba menghibur Kinanti.
*
Langkahnya gontai saat berjalan menuju kamar kosnya. Hangat bias cahaya matahari yang ia rasakan tidak mampu memberi ketenangan. Rambutnya masih berantakan, pakaian yang ia gunakan tampak begitu lecek, begitu juga bagian bawah matanya yang tampak bengul. Matanya mengawang-ngawang menatap langit-langit kamar kos. Ingatannya kembali terlempar pada detik-detik saat ia tak berdaya dihadapan nafsu berahi dosen pembimbingnya. Air matanya kembali mengalir tak terbendung membasahi pipinya, di saat bersamaan Melati masuk ke kamar kosnya.
“Kinan! Kamu nangis? Belakangan ini aku lihat kamu sering menangis. Ada masalah? Cerita dong sama aku, kan aku sahabatmu.”
“Heh, nggak kenapa kok, Mel. Cuma lagi kangen sama keluarga di kampung aja sama ada beberapa jurnal yang aku belum punya,” ia coba mengelak.
“Beneran? Kan minggu lalu aku sudah antar kamu pulang kampung. Rambutmu juga berantakan banget, terus bajumu lecek banget. Beneran kan kamu nggak kenapa?” Mela menyelidik.
“Beneran, Mel. Kalau aku ada masalah pasti aku cerita sama kamu.”
*
Tiga bulan berlalu setelah Kinanti menyelesaikan ujian proposalnya. Beberapa perbaikan telah ia selesaikan sesuai dengan permintaan dosen pengujinya. Kini ia tengah menumpahkan waktu dan pikirannya untuk menyelesaikan bagian akhir skripsinya. Berharap segera menamatkan studinya, juga segera menyelesaikan segala derita yang dihadirkan oleh dosen pembimbingnya. Terkadang manusia bergerak karena faktor di luar dirinya. Tekanan hingga harapan dari faktor luar seakan memberi kekuatan untuk melampaui batasan—memaksakan tubuh melakukan hal yang mulanya tidak mungkin menjadi mungkin. Senyum dan kebahagiaan orang tuanya membuatnya masih tetap berjalan. Menyelesaikan skripsi meski jiwa dan raganya sudah habis terkoyak.
Hari terakhir bimbingan bukanlah hal mudah untuk ia lalui. Ujian skripsi akan dihadapinya dua hari lagi. Pemantapan dan penguasaan materi penelitian menjadi hal utama yang akan dibahas, dan tentu memuaskan nafsu Pak Surya menjadi sajian penutup pertemuan.
“Kinan, kamu harus baca-baca lagi teori yang ada di bab dua dan kaitkan dengan hasil penelitianmu. Nanti pertanyaannya pasti tidak akan jauh dari sana,” ujar Pak Surya setelah menyimak presentasi dari Kinanti.
“Baik, Pak. Nanti saya akan coba pelajari lagi supaya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dosen penguji.”
“Sudah selesai, Pak? Kalau sudah, saya ijin pamit pulang.”
“Lo… kamu kemana buru-buru? Kamu tahu kan harus melakukan apa?”
Melayani nafsu dosen pembimbingnya adalah satu syarat tak tertulis yang harus dijalaninya untuk merengkuh gelar sarjana. Ia terkepung oleh desahan yang keluar dari mulut Pak Surya. Kenikmatan tersebut adalah hinaan atas keperempuanannya. Bungkam adalah jalan terbaik dalam pikirannya. Ia tidak sanggup menerima kata “Tidak Lulus” menjadi konsekuensi jika ia coba melapor. Air mata kembali mengalir dari sepasang matanya. Mata Pak Surya tampak berkilat-kilat memandangi setiap lekuk tubuhnya. Jari-jarinya telah begitu hafal setiap lekukan tubuh Kinanti. Kembali, cairan hangat menyusup ke tubuhnya tanpa pernah izin terlebih dulu. Tubuh dosennya ambruk menindih tubuhnya yang terkulai tak berdaya.
“Tubuhmu tidak pernah membuat Bapak kecewa. Setelah ujian, jangan lupa datang kembali untuk mengucapkan terima kasih. Bapak akan siapkan hal yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya,” bisik Pak Surya di telinga Kinanti dengan rasa penuh kemenangan.
*
Lagu “Manusia Kuat” dari Tulus menemani Kinanti di dalam kamar kos yang sengaja ia kunci dari dalam. Beberapa bias cahaya berhasil menyusup seolah ingin mengetahui apa yang dilakukannya. Rambutnya sudah tersisir rapi. Kemeja putih dengan rok hitam sudah ia kenakan. Jas almamater masih tergantung di belakang pintu. Laptop beserta beberapa buku sudah tersimpan rapi di tas ransel berwarna kuning.
Tok…tok…tok… terdengar seseorang mengetok pintu kamarnya.
“Kinan! Ayo berangkat bareng ke kampus,” seru Melati dari balik pintu.
“Duluan aja, Mel. Aku masih latihan presentasi, nanti aku nyusul.”
“Oke. Semoga lancar hari ini ya! Aku tunggu di kampus,” langkah kaki menjauh dari balik pintu yang kemudian disusul suara motor meninggalkan kos.
Ingatannya kembali terlempar ke kejadian memuakkan bersama dosennya. Air matanya kembali tumpah. Segelas minuman menemaninya saat meratapi jalan hidup yang tak pernah ia duga sebelumnya. Kini baginya, Pak Surya tak lebih dari seorang pengecut yang hanya menginginkan keuntungan dari tubuhnya.
“Pak, saya mau bilang sesuatu.”
“Kamu mau bicara apa, Kinan?”
“Saya hamil. Sudah satu bulan, Bapak mau tanggung jawab, kan?”
Pak Surya langsung bangun dari tidurnya, kemudian ia menarik Kinanti dengan kasar agar duduk di hadapannya.
“Kenapa kamu bisa hamil?! Saya tidak mau tahu, setelah ujian kamu harus menggugurkan kandungan itu. Nanti saya akan antar ke orang pintar kenalan saya,” kata Pak Surya penuh emosi dan tidak menerima apa yang dikatakan oleh Kinanti.
“Tapi, ini kan anak Bapak,” ucap Kinanti mulai terisak.
“Tidak ada tapi-tapi! Pokoknya kamu harus ikuti apa yang saya mau! Sekarang kamu lebih baik pulang dan siapkan diri untuk ujianmu besok!”
*
Sukasih sengaja meminta Rajeg untuk tidak bekerja hari ini. Seminggu lalu Kinanti memberi kabar bahwa hari ini ia akan menjalani ujian skripsi dan berhak menyandang gelar sarjana. Rasa haru dan bahagia seketika menyelimutinya saat mendengar kabar dari anaknya. Saat matahari sedang berada di titik tertingginya, Sukasih menerima telepon. Bukan dari Kinanti, melainkan dari Melati—sahabat anaknya.
Teleponnya melolos dari genggamannya. Deras aliran sungai mengalir seketika dari sepasang mata tuanya. Wajah yang dihiasi dengan keriput di banyak bagian itu tak mampu menahan kesedihan dan kepedihan atas kabar yang baru saja ia terima.
“Asih, kamu kenapa nangis?”
“Kinanti meninggal. Dia minum racun serangga!”
Tangis Sukasih pecah sejadi-jadinya. [T]