Perjalanan Demokrasi Indonesia dari tahun ke tahun nampaknya menurun sebagaimana hasil Indek demokrasi, dan ini terjadi di seluruh dunia, salah satu contoh juga terjadi di Amerika dengan terpilihnya Donal Trumph yang memenangkan pemilihan Presiden dengan populisme yang sangat kuat. Amerika sebagai sebuah negara demokrasi terbesar di dunia yang seharusnya dapat menguatkan demokrasi akan tetapi justru Trumph melakukan apa yang disebut membajak demokrasi. Demokrasi mati ditangan seorang demokrat.
Kultur politik di Indonesia begitu kuat, akan tetapi belakangan ini dikatakan semakin memburuk, yang menyebabkan kemunduran indeks demokrasi Indonesia 2020. sebagaimana disampaikan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) penurunan ini, menjadikan terendah sejak 14 tahun terakhir. Secara global juga terjadi penurunan nilai rata-rata indeks. Dengan skor Indonesia 6,30 di tahun 2020, yang sebelumnya 6,48 ditahun 2019. Dengan skor rata-rata 6,30 Indonesia tergolong Flawed democracy (demokrasi yang cacat).
Dari lima aspek demokrasi yang diukur EIU, penurunan tajam dialami Indonesia pada indicator budaya politik yang hanya memperoleh 4,38 poin. Skor ini anjlok dari capaian tahun 2019 yakni 5,63. Aspek budaya politik indikator yang dikaji, antara lain, konsesus tentang demokrasi, persepsi atas kepemimpinan di legislative dan eksekutif , dan persepsi kepemimpinan militer. Selain itu ada persepsi lainnya termasuk soal ekonomi dan pemisahan institusi keagamaan dengan pemerintahan.
Sedangkan skor Indonesia stagnan di tiga aspek yakni partisipasi politik (6,11) proses electoral dan pluralisme (7,92), dan kebebasan sipil (5,59). Satu-satunya yang membaik ialah keberfungsian pemerintahan (7,50) naik dari 2019 yang 7,14. (kompas, 3 februari 2021).
Sejak Indonesia Merdeka di tahun 1945, negeri kita terus bergumul untuk mewujudkan kultur politik demokrasi. (Tjuk Atmadi dalam Bung Hatta, 2004). Presiden RI Pertama Ir. Soekarno, mencetuskan gagasan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran rakyat, melalui Demokrasi Terpimpin. Sedangkan Presiden RI Kedua Jenderal Soeharto, ingin mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat tersebut, dalam suasana pembangunan nasional dengan menerapkan apa yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila.
Akan tetapi kita tahu bahwa gagasan , ide cemerlang yang dilaksanakan kemudian tidak secemerlang hasilnya. Banyak hal yang di tengah jalan atau diujung jalan berbelok ke arah yang tidak diharapkan. Tjuk Atmadi mengatakan inilah celakanya, keindahan kultur politik tersebut selalu saja terjebak kultur kekuasaan yang dinilai koruptif, dalam arti sistem kekuasaan yang selalu saja membusuk pada sendi-sendi tertentu. Tjuk Admadi , melihat bahwa dalam hal ini, sistem kekuasaan siapapun diseluruh dunia ini sudah terperangkap oleh frasa yang diruangkan oleh sejarawan Inggris Lord Acton, yang mengatakan bahwa “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, kekuasaan itu cenderung membusuk, dan kekuasaan absolut akan membusuk total.
Jika demikian yang disampaikan Tjuk Atmadi dalam bukunya Bung Hatta, apakah kultur politik kita semakin buruk sehingga menyebabkan indeks demokrasi kita semakin menurun? Kajian yang mendalam sangat penting untuk terus dilakukan mengingat simpulan sampai sekarang semakin demokrasi sebuah bangsa maka rakyatnya semakin sejahtera. Walaupun teori ini sekarang mendapat tantangan yang kuat mengingat bagaimana negeri China yang menjalankan pemerintahan sosialis, tanpa “demokrasi” ternyata rakyatnya secara ekonomi sejahtera. China telah membalikkan apa arti demokrasi. Sehingga muncul ucapan untuk apa demokrasi jika kemiskinan dan korupsi merajalela?
Demokrasi tidak hanya procedural
Bagaimana membangun sebuah Negara demokrasi , tergantung type Negara demokrasi apa yang dijalankan sebuah bangsa. Ada beberapa type demokrasi yaitu; Demokrasi secara Konstitutional (constitutional), Demokrasi secara Substantif (Substantive), Demokrasi secara Prosedural (Procedural) dan Demokrasi secara Orientasi Proses (process-oriented).
1. Demokrasi secara Konstitusional. Dalam demokrasi ini kajian demokrasi dikonsentrasikan pada produk undang-undang yang dihasilkan suatu rezim (pemerintah yang berkuasa) dan berhubungan dengan dinamika proses aktivitas pada politik itu sendiri;
2. Demokrasi secara Substantif. Demokrasi pada tatanan ini difokuskan kepada kondisi kehidupan dan politik yang dikembangkan pada suatu rezim. Rezim yang dimaksud mengenai kebebasan individual, keamanan, kesetaraan, kesejahteraan sosial, pilihan publik ataupun resolusi konflik secara damai;
3. Demokrasi secara Prosedural. Demokrasi model ini lebih kepada memperhatikan prosedur-prosedur yang berjalan dan terjadi di pemerintahan yang dilakukan sendiri oleh pemerintah yang kajian berfokus pada aspek pemilihan umum;
4. Demokrasi secara Orientasi. Pada demokrasi ini secara Orientasi Proses sangat berbeda dengan tiga pengertian demokrasi sebelumnya, yang dimaksud disini merupakan pengidentifikasi sejumlah persyaratan minimum agar suatu pemerintahan atau Negara dinyatakan sebagai demokrasi. (CharlesTilly , Kelemahan dan Keterbatasan Demokrasi dalam Seta Basri ,2021)
Nanda Ayu AR menyebutkan Demokrasi Prosedural adalah (aturan, tata cara demokrasi), yaitu demokrasi merupakan sistem yang ditegaskan oleh prosedur-prosedur formal yang memungkinkan budaya demokrasi itu berjalan. Aspek prosedural demokrasi itu mencakup adanya Pemilu yang bebas dan adil, adanya DPR, dan adanya lembaga yudikatif yang independen. Sedangkan demokrasi substantif adalah (nilai hakiki demokrasi), yaitu menekankan demokrasi sebagai suatu nilai-nilai yang sesungguhnya. Beberapa nilai hakiki demokrasi adalah kebebasan, budaya menghormati hak dan kebebasan orang lain, adanya pluralisme budaya, adanya toleransi, anti kekerasan dan lain- lain.
Sejak Era Reformasi nampak demokrasi Indonesia dapat dikatakan telah memenuhi ketentuan demokrasi prosedural, dengan adanya PEMILU, adanya peralihan kekuasaan setiap 5 tahun sekali secara langsung, bebas dan rahasia, telah memiliki beberapa Presiden yang terpilih melalui Pilpres yang transparan yang dipercaya oleh rakyat, walaupun di dalam perjalanannya adanya gugatan hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi, ini sangat bagus, karena sengketa pemilu ataupun Pilpres diselesaikan di ruang siding pengadilan, bukan diselesaikan lewat sadang jalanan. Dapat dikatakan Pilpres berjalan aman. Namun apakah demokrasi yang dijalankan tersebut sudah memenuhi ketentuan demokrasi substansial, tidak cukup hanya pemenuhan syarat sebuah demokrasi procedural saja.
Dalam menjalan Demokrasi di sebuah negara sebesar Indonesia tidaklah dapat hanya menjalankan demokrasi prosedural ,dengan diadakannya Pemilu, Pilkada, Pilpres secara periodik yang hanya menghasilkan legislatif dan eksekutif yang kering tanpa arah yang jelas. Demokrasi harus mengatasi proseduralnya yang sekarang, meskipun proseduralnya sendiri tidak dapat dihilangkan tetapi demokrasi substansial mutlak diperlukan. (Munawar Noor, 2018). Sependapat seperti apa yang dikatakan Charles Tilly, titik lemah dalam proses Pemilu ini krusial, oleh sebab lewat prosedur tersebut perubahan kebijakan dan personil pemerintahan akan terjadi, nah jika proses dan prosedur pelaksanaan Pemilu tidak mengandung nuansa kompetitif, maka cara prosedural ini suatu Negara tidaklah demokratis.
Jika mencontohkan beberapa pemilihan yang kompetitif yang dilaksanakan tanpa adanya tekanan dan upaya yang dapat dikatakan demokrati prosedural seperti dalam Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 terjadi pelaksanaan pilkada dan pemilihan Presiden yang yang dalam pelaksanaannya mengalami pembelahan pemilih. Hal ini terjadi apakah disebabkan menguatnya politik identitas. Tidak dipahami adanya ruang terbuka kebebasan dalam menentukan pilihan dan menghargai setiap pilihan yang merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Keterbelahan masyarakat pemilih yang disebabkan menguatnya polarisasi ditingkat elite kemudian lebih keras terjadi di masyarakat. adanya faksi faksi dan masih terus adanya saling hujatan di media social yang kita rasakan sampai saat ini, tentu tidak dapat dibiarkan karena akan berakibat buruk bagi Negara kita. Membangun kohesi keterhubungan yang sesungguhnya sebagai bangsa yang beradab memang tidak mudah, akan tetapi para elite politik di pusat, di daerah dan diakar rumput mesti terus menerus membangun pemahaman bahwa perbedaan pilihan adalah sehat dan berbeda tidak menjadikan permusuhan.
Kultur Demokrasi memberi ruang yang sama bagi perbedaan dan menghargai atas pilihan .Akan tetapi pemahaman tentang demokrasi belum sepenuhnya dimaknai sebagai hal yang biasa, kritik pada kekuasaan dianggap sebagai lawan yang mesti dibungkam, jika hal itu terjadi maka ini menjadi pertanda tidak sehatnya demokrasi kita. Inilah akan menjadi sebab menguatnya otoritarian.
Penurunan tingkat Demokrasi di dunia, begitu juga di Indonesia karena disebabkan banyak faktor. Apakah ini dapat disebabkan oleh menguat nya populisme di tengah masa pandemi, adanya kekuatan dinasti politik yang sedang berkuasa, adanya kekuatan ekonomi atau rente ekonomi yang berkolusi dengan penguasa. Apalagi biaya politik sangat tinggi sehingga diperlukan biaya yang tidak saja dipikul oleh partai politik , juga dapat dijadikan bagian negosiasi membiayai beban politik oleh politisi. Terjadi simbiose mutualisme yang mencengkeram produk politik bagi kepentingan pelaku ekonomi tertentu.
Politik biaya tinggi tidak terlepas adanya 3 tipe pemilih di dalam masyarakat berdasarkan pilihan : pemilih berdasarkan kecerdasan. jadi memilih dengan nalar, rasionalitas. pemilih dengan hati, jadi memilih dengan rasa, apapun warnanya akan tetep memilih secara idiologi. memilih dengan perut, yaitu pemilih yang menggunakan pertimbangan logistik. Jika dibayar maka akan memilih tanpa dasar pertimbangan rasionalitas, tanpa pertimbangan idiologi.
Jika diartikan sebagian besar hasil pilihan oleh kelompok masyarakat yang memilih karena ada barter logistic, maka seperti apakah hasil pilihannya tersebut, baik legislative maupun eksekutif? Jelas kwalitas tidak sepenuhnya dapat dihasilkan, jelas juga kemudian banyak anggota legislatif dan eksekutif yang ditangkap KPK.
Salah satu sebab dari 5 faktor yang menyebabkan menurunnya Indek demokrasi.. Hal ini tidak saja di Indonesia tapi juga di dunia. Oleh karenanya patut semua stakeholder, akademisi untuk memberikan pembelajaran agar nilai2 pemilih makin meningkat, melalui penguatan partisipasi pemilih secara efektif, menyambapikan bahwa pemilih dan sebagai warga Negara mempunyai hak yang sama, melakukan upaya control atas semua kebijakan pemerintah apalagi yang menyangkut kehidupan masyarakat baik, politik, ekonomi serta budaya. Melakukan dekontruksi UU pemilu dan pemilihan Presiden agar dapat dihasilkan anggota dewan, gubernur, bupati/walikota dan Presiden yang punya integritas, kapabelitas dan moralitas yang mumpuni. Apalagi akan dilangsungkannya Pemilu serentak di tahun 2024.
Faktor lain dari penurunan demokrasi Indonesia disebabkan adanya dinasti politik, yang dapat menyebabkan penurunan indek demokrasi, walaupun di banyak Negara dinasti politik masih ada dan tumbuh subur. Tidak salah memang, akan tetapi harus perlahan dikurangi. Memang dimana mana terjadi.. apalagi dengan berkolusi dengan para pengusaha.. maka pemilih dengan perut akan semakin dijadikan peluang kolusi yang kemudian terjadi banyaknya korupsi. yang menyebabkan rusaknya demokrasi yang telah dihasilkan melalui Pemilu yang dikeluarkan dengan biaya yang tidak kecil.
Oleh karena itu harus dilakukan modernisasi dan peningkatan peran-peran masyarakat, akademisi untuk peduli memperbaharui perangkat demokrasi Indonesia , agar jangan hanya menghasilkan DEMOKRASI FORMALISTIK yang justru menggerus Demokrasi konstitusional, Substansial, dan kehilangan orientasi untuk mencapai masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Semoga hal ini dapat terwujud sebagai cita-cita mulia. Bukan hanya utopia. [T]
Bali, Februari 2021