Dua Maret 2020, diidentifikasi 2 orang WNI terkonfirmasi virus SARS-Cov-2, penyebab Covid-19, secara istimewa saat itu diumumkan langsung oleh presiden Jokowi dari istana negara. Sejak itu, hingga kini, pandemi Covid-19 memang istimewa, membingungkan, menyusahkan dan mengerikan. Namun demikian, dalam 12 bulan ini, ia setidaknya telah berbagi 12 makna untuk kita.
1. Kita tak pernah siap menghadapai wabah
Kapankah kita akan siap menghadapi pandemi? Entahlah… Menyiapkan diri menghadapi wabah seakan sesulit menyiapkan diri menerima kematian. Semua bangsa, semua negara pun demikian. Sudah menjadi tradisi, kita lebih bersuka menyiapkan kelahiran, perayaan atau kemenangan. Kita enggan dan hati selalu suram saat menyiapkan diri menghadapi kekalahan, kematian atau wabah. Sudah saatnya, berikan fokus yang sama baik pada pembangunan menuju kejayaan maupun pada kemungkinan bencana atau wabah yang siap menghanguskan.
2. Yang kecil yang unggul
SARS-Cov-2 adalah generasi terkini virus grup Corona. Strain sebelumnya yang sempat mendera kita adalah wabah SARS dan MERS. Virus diyakini tak pernah mati. Mungkin lantaran ia terlalu kecil dan sederhana. Mereka adalah penguasa dalam kegelapan, karena kita tak pernah melihatnya. Bahkan dinosaurus yang pernah menguasai bumi sekitar 250 juta tahun lalu kini tinggal sejarah. Dinosaurus yang besar mudah hancur oleh musuh maupun bencana alam. Maka, virus mengajari kita untuk selalu menghargai mereka yang kecil dan terpinggirkan.
3. Sebuah insting pelestarian
Kita begitu berambisi hendak melenyapka virus “jahat” dari kehidupan kita di muka bumi ini. Seakan-akan kitalah, manusia yang paling benar dan penting di dunia ini. Kita lupa, virus juga punya hak-hak hidup yang sama sebagai penghuni bumi. Jangankan mereka menginvasi tubuh kita, hidup berdampingan saja kita sering tak sudi dengan mereka. Lalu dengan semena-mena kita babat habitat segala fauna dan mungkin saja jasad renik yang tak kita lihat. Kita memang lebih ngeri dengan hantu dan jin penghuni hutan yang kita telah berangus “tempat tinggal” mereka. Lalu dengan mudah kita menyuap dengan sesajen untuk berdamai. Sayang sekali, macan tutul atau virus tak bisa disogok. Mereka lebih suka mengambil nyawa kita, pun untuk melestarikan spesies mereka.
4. Wabah tak sekedar aksi jasad renik
Wabah telah menyempitkan pandangan mata kita hanya pada spesies sangat kecil bernama virus. Kita terlambat menyadari pandangan lebar yang bijak dan penuh warna kehidupan di alam yang indah ini. Kalau saja kita berhenti pada kerendahan hati menjaga alam yang indah ini lestari, mungkin saja kita tak bersua dengan virus Covid-19 di medan pertempuran yang penuh aroma kematian ini. Siksa berulang-ulang yang telah kita lakukan pada alam ini, telah membuat mereka banyak belajar dan bertahan dalam strategi yang disebut mutasi.
5. Tes rapid dan carut marut persepsi masyarakat
Pemeriksaan standar diagnosis RT-PCR yang tidak dapat serta merta terdistribusi sampai pelosok, memaksa kita menggunakan cara-cara lain yang lebih sumir. Dengan sendirinya telah menimbulkan berbagai perdebatan. Keadaan yang sepenuhnya tak kita harapkan, namun tak bisa juga kita elakkan. Kelelahan nakes dan rasa frustasi masyarakat adalah keadaan ideal terciptanya berbagai konflik, bahkan sampai ke meja hijau. Dalam situasi sulit dan belum menentu ini, masyarakat seharusnya memberi kepercayaan kepada nakes dan sebaliknya nakes menyediakan waktu yang cukup untuk memberi edukasi yang sejelas-jelasnya kepada pasien dan keluarganya terkait interpretasi hasil tes Covid-19.
6. Ruang isolasi, pengap namun penuh romantika
Nuansa kelam telah melekat erat mengelilingi ruang isolasi. Baik untuk pasien maupun untuk nakes yang akan bekerja di sana. Bagi pasien, ruang isolasi seakan ruang pembuangan dengan penantian panjang tiada kepastian. Bagi nakes, di sanalah gulag yang kapan saja virus maut ini akan dapat menggerogotinya. Pakaian APD level 3 yang membekap dan ruang isolasi yang pengap, adalah kombinasi yang sedemikian melelahkan. Padahal, dengan skema pakaian seperti itu, risiko tertular hampir 0%. Dan bagi pasien, keberadaannya di sana sudah pasti dapat melindungi keluarganya dari mara bahaya. Pada sisi romantika kisah di atas adalah, ada kebanggan tersendiri yang tak bisa dinilai dengan apapun saat nakes menggunakan pakaian kebesaran APD level 3 lalu dengan heroik melaju ke ruang isolasi, sebuah pengabdian untuk kemanusiaan.
7. Kembali ke rumah
Stay at home, adalah salah satu protokol penting melawan pandemi Covid-19. Saya selalu mengutip sabda Sang Budha yang begitu memukau, “Jika kau ingin memperbaiki dunia, pulanglah ke rumah dan temui keluargamu.” Bagaimana mungkin, SARS-Cov-2 telah mengirimkan pesan yang sama untuk kita semua agar pulang ke rumah? Keadaan ini telah mengurangi polusi kendaraan yang selama ini telah mencabik-cabik atmosfer bumi dan nun jauh di sana dari atmosfer, terkumpul di dalam rumah, kita diberikan kesempatan untuk lebih sering memadu kasih dengan belahan jiwa dan buah hati kita.
8. Perang melawan stigma
Stigmatisme adalah penyakit kronis lain yang memang sulit disembuhkan. Ia mulai populer ketika ditemukannya kasus Aids di negeri ini. Budaya buruk ini bukan hanya akan menyudutkan seorang pasien pada rasa malu dan hina yang tak terperikan namun juga dapat menghilangkan kesempatan mereka untuk berobat. Dari pada mendapat cemooh dan hinaan, lebih baik penyakit itu mereka diamkan lalu membunuhnya. Betapa kejamnya stigmatisme. Oleh karenanya, kita wajib terus memerangi budaya tak berkeprimanusiaan ini.
9. Nakes, maut dan pengabdian
Selamanya dada kita teriris perih saat membahas, berapa banyak nakes yang telah gugur dalam pengabdiannya “memberikan nafasnya untuk yang lain.” Mereka tak pernah menuntut tanda jasa, layaknya prajurit yang harus berangkat menuju medan pertempuran membela negeri. Cukup hargai mereka yang telah meninggalkan keluarga untuk merawat pasien Covid-19, jangan ada lagi tuduhan dan kesangsian yang teramat menyakitkan.
10. Cahaya lilin dalam keremangan
Pandemi boleh saja telah berlarut-larut, namun ia tak dapat menahan manusia dalam rasa frustasi terlalu lama. Beraneka kreatifitas dan solidaritas telah tercipta. Berbagai masker modifikasi, tak sedikit usaha kuliner antar jemput, sejumlah hobi menarik dan berpadu untuk membantu yang membutuhkan telah memberi warna indah diberbagai sudut pandemi yang kelam ini. Darwin sejak dulu telah meyakini, bukanlah yang kuat akan bertahan hidup, melainkan yang pintar beradaptasi.
11. Kecemerlangan sains
Baru kali ini dalam sejarah, vaksin mampu diciptakan hanya dalam setahun. Covid-19 telah memacu kecemerlangan segenap ilmuwan dalam bidang sains medis untuk memberi yang terbaik bagi umat manusia. Mungkin sudah menjadi sebuah dalil, dalam keterdesakan manusia harus berjuang lebih keras untuk bisa bertahan. Kini vaksin telah memasuki tahap 2 yang diberikan untuk masyarakat umum setelah tahap 1 tuntas untuk nakes. Kita harus dengan senang hati mengikuti program ini agar lebih cepat tercapai kekebalan kelompok (herd immunity) sebagai syarat wabah dapat dihentikan.
12. Kapan berakhir?
Secara teoritis, wabah akan berhenti dan akan hanya tersisa sebagai kasus endemis jika sudah terwujud setidaknya 70% populasi kebal. Kebal bisa melalui mekanisme alami akibat tertular virus Covid-19 maupun kebal buatan dengan vaksinasi. Jika misalnya sesuai target bulan September 70% masyarakat Indonesia mendapat vaksinasi dan kebal, maka saat itu wabah seharusnya telah berakhir.
Dua Maret 2021, sejak vaksinasi digalakkan di seluruh dunia, data global dalam enam pekan berturut-turut telah memberikan harapan yang sangat besar. Jumlah kasus baru dan angka kematian menurun drastis. Situasi ini merupakan penurunan yang paling besar dalam setahun pandemi ini. Kita dapat kembali lagi pada kehidupan normal seperti dulu yang selalu kita rindukan, mungkin sebuah khayalan, namun vaksinasi bisa jadi akan memberikan sebuah kenyataan. [T]