5 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Salah Satu Klip Nanang Mekaplar Berlatar Alam NP. Screenshot Video Klip Lagu “Babar Mekaplar”

Salah Satu Klip Nanang Mekaplar Berlatar Alam NP. Screenshot Video Klip Lagu “Babar Mekaplar”

Nyanyi Menggunakan Basa Nosa, Dapat Apa?

I Ketut Serawan by I Ketut Serawan
June 20, 2020
in Opini
192
SHARES

Bernyanyi menggunakan bahasa nasional? Ah, biasa aja kali! Atau bernyanyi menggunakan bahasa daerah, misalnya bahasa Bali? Itu pun mungkin dirasakan sudah biasa. Sudah banyak. Bagaimana kalau bernyanyi menggunakan bahasa Bali dialek Nusa Penida (basa Nosa)? Nah, ini pasti tidak biasa alias langka! Akan tetapi, kenyataannya memang ada, lho!

Sebut saja Nanang Mekaplar dan Kalego Ajoesbedik. Hingga kini, keduanya sama-sama konsisten—kreatif menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu berbasa Nosa terutama di panggung medsos (youtube). Terus, mereka dapat apa, sih?

Setahu saya, Nanang Mekaplar merupakan pionir penyanyi berbasa Nosa, sedangkan Kalego bisa disebut sebagai regenerasinya. Sebagai pionir, setidaknya Nanang Mekaplar sudah menelurkan 2 album yaitu Ledok-Ledok dan Gending Nusa Penida. Jika pada album pertama berbentuk keeping VCD, maka album kedua beredar dalam bentuk cakram DVD dengan format audio MP3 dan digarap di EMP Studio Jakarta. Lagu-lagu Nanang juga dapat dinikmati lewat medsos.

Salah Satu Klip Nanang Mekaplar Berlatar Alam NP. Screenshot Video Klip Lagu “Babar Mekaplar”

Tema-tema lagunya cukup beragam mulai dari soal cinta (romantisme), kritik sosial, spiritual, kearifan lokal, alam (geografi) dan lain sebagainya. Namun, dari beragam tema yang diusung oleh Nanang Mekaplar, sejatinya sangat kental dengan spirit kecintaan terhadap tanah air NP. Hal ini diperkuat oleh video klipnya yang hampir 98 persen berlatar belakang geografi NP—sehingga ada kesan kuat bahwa menonton klip Nanang Mekaplar—kita seolah-olah digiring berwisata menikmati pesona Pulau NP secara virtual.

Komitmen bermusik (basa Nosa) Nanang Mekaplar pantas mendapat acungan jempol. Meskipun bernaung di bawah payung indie label, tak membuat Nanang bermusik asal-asalan. Pria yang bernama asli I Ketut Sudiarta ini tampak serius mulai dari proses kreatif penciptaan lagu, pembuatan video klip, hingga proses rekaman. Bukan hanya menguras pikiran, energi, waktu, melainkan juga menghabiskan isi kantong (modal). Namun, semua dapat dilaluinya tanpa alangan serius oleh Nanang Mekaplar, yang juga seorang doktor, dosen STAHN di Palangkaraya ini.

Berbeda dengan Kalego. Ia justru terjun ke dunia musik NP dengan modal nekat. Coba tonton videonya di youtube! Terlihat sangat sederhana. Menonton Kalego di youtube seperti menyaksikan penyanyi yang sedang live di satu tempat—dengan alat musik yang sangat sederhana yaitu berupa gitar akustik saja.

Meskipun demikian, Kalego bukan seniman kacangan. Lagu-lagunya di youtube mendapat sambutan luar biasa dari pencinta lagu basa Nosa. Hingga saat ini, ia berhasil mengantongi subscriber mencapai 15,5 ribu (Nanang justru masih di angka 6 ratusan). Sebuah pencapaian angka yang cukup spektakuler. Padahal, pria yang suka nyeleneh dan ngoceh ini baru dikenal oleh pecinta lagu basa Nosa beberapa tahun lalu.

Hingga sekarang, Kalego belum melahirkan album. Lelaki slengehan dan terkenal humoris ini masih menciptakan lagu-lagu secara sporadis, lalu mengunggah di chanel youtubenya. Tema-tema lagunya sangat ringan dan simpel. Dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, ia mampu mengemasnya ke dalam lirik-lirik lagu ala dirinya yang khas. Sederhana, kocak, tetapi bobot kritik sosialnya “mekaplar” dan menyentuh.

Sama halnya dengan Nanang Mekaplar, lagu-lagu Kalego juga dapat dinikmati oleh hampir semua kalangan masyarakat baik kelas bawah, menengah maupun kelas atas. Pun dari segala umur mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua. Karena lirik lagunya tidak terlalu puitis, tetapi seperti bahasa komunikasi sehari-hari, sehingga mudah dipahami oleh penutur basa Nosa.

Baik Nanang Mekaplar maupun Kalego sama-sama mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat NP. Keduanya mendapat apresiasi dari penutur basa Nosa yang tinggal di Pulau NP, Bali daratan, daerah trasmigrasi bahkan di luar negeri. Umumnya, mereka menyambut baik adanya penyanyi berbasa Nosa. Lalu, Nanang dan Kalego dapat apa?

Pertanyaan ini pantas diajukan mengingat jumlah penutur basa Nosa terbatas. Rasionalnya, pendengar/ penikmatnya terbatas pula, kan? Jumlah penutur setidaknya berpengaruh terhadap ruang lingkup penikmatnya. Semakin luas jangkauan bahasa yang digunakan oleh sang penyanyi, maka makin terbuka lebar untuk meraup penikmat (penggemar) lebih banyak.  

Kalau berpikir untung/ rugi, rasanya agak sulit memperoleh finansial yang menjanjikan dari total menjadi seorang penyanyi (musisi) lagu berbasa Nosa. Realita bicara bahwa pangsa pasarnya sangat terbatas. Sehebatnya-sehebatnya musisi NP, mereka tetap bergulir di seputaran penutur basa Nosa.

Persoalan akan berbeda apabila status penyanyi lagu Nosa mereka jadikan sebagai batu loncatan. Misalnya, setelah unjuk kualitas dan mimiliki massa, mereka menggandeng musisi kelas lokal Bali. Bisa jadi popularitasnya kian melebar. Lebih luas lagi misalnya, menggandeng musisi nasional atau internasional. Bisa jadi, kan?

Jika demikian adanya, semua pihak akan diuntungkan. Pertama, menguntungkan musisi itu sendiri karena potensial mendatangkan profit. Ya, mereka akan memiliki massa (penikmat) dan sekaligus pangsa pasar yang lebih luas. Artinya, potensi untuk meraup finansial lebih terbuka. Kedua, menguntungkan masyarakat NP karena berpeluang mempromosikan basa Nosa lebih luas ke publik. Jika sudah dikenal oleh massa di luar penutur NP, tentu lebih mudah menarik massa. Apalagi massa itu merupakan penggemar. Kok, bisa?

Anggaplah mantan penyanyi Nosa sudah menjadi idola masyarakat Bali atau nasional misalnya, maka lebih mudah mereka mempopulerkan basa Nosa. Lagu dalam bahasa apapun (termasuk basa Nosa) yang nantinya dibawakan, penggemar  pasti akan berusaha menikmatinya. Dengan kata lain, mereka (para penggemar) sesungguhnya sedang belajar basa Nosa.

Mungkinkah Nanang Mekaplar atau Kalego akan melakukan lompatan itu? Biarkan waktu yang menjawabnya nanti. Sekarang, coba ditimbang mereka dapat apa dari komitmen bernyanyi basa Nosa di medsos. Ya, mungkin orang-orang akan mengatakan bahwa mereka ingin ketenaran, follower atau sekadar melampiaskan ekspresi berkreasi (seni). Menurut saya, misi tersebut mungkin ada, tetapi persentasenya tidak besar.

Penyanyi Nosa dan Soal Dedikasi

Kecenderungan yang saya lihat justru kepada misi “memberi” (meyadnya), bukan berorientasi pada materi atau finansial. Mereka (para penyanyi Nosa) mempertaruhkan dedikasinya demi tanah kelahiran. Dedikasi untuk menunjukkan bahwa betapa mereka sangat bangga dan cinta terhadap Pulau NP. Dedikasi inilah yang mendorong mereka berani menyanyikan lagu berbasa Nosa di panggung youtube. Mengapa saya katakan “berani”? Karena faktanya, basa Nosa masih dianggap sebagai dialek ledekan, walekan dan bullyan—walaupun sering dalam konteks bercanda.

Salah Satu Klip Nanang Mekaplar Berlatar Alam NP. Screenshot Video Klip Lagu “Babar Mekaplar”

Saya menangkap, ada komitmen dari seorang Nanang dan Kalego untuk mengangkat martabat orang NP melalui bernyanyi dengan mengunakan media bahasa. Mereka ingin menunjukkan ke publik bahwa orang NP dengan dialeknya tidak lagi relevan dipandang sebagai stereotip terisolir (terbelakang)—yang selama ini mungkin memberi efek minder kepada beberapa penutur NP. Sebaliknya, Nanang dan Kalego menginginkan kesetaraan dialek, bukan “kasta dialek”. Basa Nosa adalah salah satu bentuk dialek daerah, yang kelasnya sama dengan dialek-dialek daerah lainnya di Bali.

Selain itu, saya juga melihat Nanang dan Kalego tak ubahnya seperti guru sekolah. Mereka mendidik regenerasi NP untuk belajar basa Nosa. Sasarannya, terutama kepada orang NP yang tidak menggunakan basa Nosa sebagai bahasa ibu. Lewat lirik-lirik lagunya (yang tertulis), mereka hendak mengajarkan orang-orang belajar basa Nosa secara tertulis. Setidaknya, membantu orang-orang ketika belajar mengeja basa Nosa.

Kemudian, dari rekaman audio, mereka ingin membelajarkan orang tentang pelafalan basa Nosa dengan tepat. Selama ini, jarang ada basa Nosa dalam bentuk teks tertulis maupun rekaman audio. Biasanya, hanya sebagai keperluan komunikasi lisan dan berlalu begitu saja. Dengan adanya arsip bahasa dalam bentuk tulisan dan rekaman audio, sangat membantu orang untuk mempelajari linguistik basa Nosa lebih komprehensif.

Jadi, bukan hanya menjadi guru, keberadaan lagu-lagu berbasa Nosa juga menjadi referensi dan museum digital. Kondisi ini menyebabkan orang dengan praktis dan mudah belajar basa Nosa hanya lewat jejak digital. Cukup terkoneksi dengan internet, maka orang dapat dengan mudah belajar basa Nosa. Ke depan, referensi dan museum digital ini juga menjadi semacam penyelamat budaya NP. Penyelamat seandainya penutur basa Nosa kian terpinggirkan atau mungkin di ambang kepunahan misalnya. Di samping itu, tentu dapat membantu para peneliti/ pakar linguistik yang tertarik untuk meneliti basa Nosa.

Di luar guru sekolah dan arsip, Nanang dan Kalego juga merupakan duta gratis untuk NP. Duta untuk mempromosikan secara ikhlas budaya lokal dan pariwisata NP. Lewat tema-tema lagu garapannya, mereka ingin menyampaikan kepada publik bahwa NP memiliki budaya yang unik dan adiluhung. Budaya yang tidak kalah beradabnya dengan daerah-daerah lainnya di Bali. Budaya-budaya itulah yang mestinya terus diekspos dan dipromosikan untuk menimbulkan kesadaran apresiasi kepada publik.

Kalego dan terutama Nanang Mekaplar juga gencar mempromosikan pariwisata NP. Nanang mempromosikan objek-objek wisata dengan menjadikanya sebagai latar dalam setiap video klipnya. Bentuknya ada yang berupa foto-foto slide. Akan tetapi, lebih banyak menggunakan rekaman video langsung di objek-objek wisata di NP. Nanang sangat menyadari bahwa panggung bermusik (di medsos) merupakan media efektif untuk mempromosikan berbagai aspek sekaligus. Karena itulah, ia memasukan aspek budaya, bahasa, dan termasuk pariwisata dalam sekali tindakan.

Banyak hal yang didedikasikan seorang Nanang dan Kalego. Ia tidak hanya menghibur, tetapi “ngayah” membantu mempromosikan sosio-kultural dan pariwisata NP. Namun, endingnya mereka adalah alarm identitas bagi orang NP. Alarm agar orang NP tidak gampang tergerus identitas ke-nusa-annya. Sebaliknya, orang NP harus tetap eksis dengan identitasnya. Apalagi, mereka menyadari bahwa NP terdampak pariwisata yang siap mempengaruhi bahkan mungkin menggerus identitas orang NP.

Namun, bukan berarti orang NP menutup diri terhadap perubahan global. Orang NP tetap terbuka, tetapi jangan sampai tercerabut dari akar identitas ke-nusa-annya. Mereka (musisi Nosa) mendedikasikan dirinya terhadap hal itu. Sesungguhnya, mereka sudah memiliki “kesadaran awal” tentang identitas sebelum masyarakat umum NP menyadari hal tersebut. Karena itu, jangan lagi bertanya mereka mendapatkan apa? Akan tetapi, cobalah berhitung jumlah dedikasi yang disumbangkannya kepada pulau tercinta, NP. [T]

Tags: lagumusikNusa Penida
I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi diolah dari gambar Google
Cerpen

Bagaimana Surat Pertama Ditulis | Cerpen Rudyard Kipling

by Juli Sastrawan
March 3, 2021
Para pemenang AJW 2019 yang diserahkan di Taman Baca Kesiman, Sabtu (29/6) malam.
Kilas

5 Penulis tatkala.co Masuk 10 Besar Anugerah Jurnalisme Warga 2019

Lima pewarta warga yang menjadi penulis tetap di tatkala.co menunjukkan prestasi tertingginya sebagai penulis yang masuk 10 Besar Anugerah Jurnalisme ...

July 2, 2019
Butternut Squash di teba atau belakang rumah [Foto penulis]
Esai

Di “Teba” Ada “Butternut Squash”, Merambatlah Harapan dari Belakang Rumah

A.A. Ngurah A. Windara -- Desa Serongga, Gianyar Jam sepuluh pagi, tanah basah, ada sedikit genangan di sana-sini, beberapa bagian ...

March 27, 2020
Foto: Istimewa
Opini

Membangun Kebudayaan, Mari Menjadi “Perempuan”

KALAU sedang rikuh, kalau sedang tak kuat menahan pusing karena televisi terus saja menayangkan cerita-cerita seram, maka marilah kita mencoba ...

February 2, 2018
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

Saṃpradāya Kuno Sampaikah ke Nusantara?*

-- Catatan Harian Sugi Lanus, 4 Maret 2021 Untuk memahami sejarah Hindu secara lebih utuh sebaiknya tidak lupa membaca sejarah ...

March 4, 2021
Dr. I. Made Pria Dharsana. SH. M.Hum
Opini

Hilangnya Peran Notaris Dalam Pendirian PT UMKM

Aspek hukum perusahaan yang dimaksud dalam tulisan ini terkait dengan aspek hukum Perseroan Terbatas dimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor ...

February 26, 2021

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Ketua Tim Literasi SMAK Harapan, Ni Putu Nuratni, M.Pd. dan Kepala Sekolah SMAK Harapan, Drs. I Gusti Putu Karibawa, M.Pd.
Kilas

Kupetik Puisi di Langit | Buku Puisi dari SMAK Harapan

by tatkala
March 5, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

Saṃpradāya Kuno Sampaikah ke Nusantara?*

by Sugi Lanus
March 4, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (157) Dongeng (11) Esai (1422) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (198) Opini (480) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (337)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In