23 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Cerpen
Ia Menyepi Seperti Pohon Tua  -- Cerpen/Foto Wayan Martino

Ia Menyepi Seperti Pohon Tua -- Cerpen/Foto Wayan Martino

Ia Menyepi Seperti Pohon Tua

Wayan Martino by Wayan Martino
April 1, 2020
in Cerpen
59
SHARES

Cerpen Wayan Martino


Di sebuah desa kecil di balik Gunung A, tinggalah seorang pemuda tanggung, belia dalam usia, dewasa dalam sikap hidup. Ia seorang pengumpul kayu bakar, saban hari masuk – keluar hutan, pergi saat pagi dan pulang menjelang malam. Di antara orang-orang desa, dia dikenal dengan kepolosannya. Hampir semua orang mengenal dirinya, entah karena keramahannya atau karena selalu terlihat tersenyum. Namun ia punya satu rahasia, yang tak sembarang orang tahu dan memahaminya, Ia bisa berbicara dengan pohon. Juga baginya pohon seperti seorang ayah, sekaligus ibunya. Sejak lahir ia tak mengenal orang tua, Ia tumbuh dan besar bersama sang nenek.

Suatu hari sebelum matahari terbenam, saat jingga mewarnai langit, usai mengumpulkan dua ikat kayu bakar, Ia duduk seorang diri di sudut desa. Di sebuah tanah lapang yang serupa bukit kecil, tempat yang dikelilingi oleh pertemuan dua sungai. Tempat dimana ia bisa melihat desanya secara menyeluruh dari ketinggian.

Di hadapannya berdiri satu pohon besar, kokoh dan berdaun lebat, menurut orang-orang usianya lebih dari seratus tahun. Di bawah tarian ranting yang dihembuskan angin, dalam pikiran tenang yang tak pernah terusik oleh lelah fisik, Ia menundukkan kepala pada Sang Pohon.

“Ayah, Kau begitu mulia, tenang dan sempurna. Seandainya saja aku bisa membalas kebaikan-Mu, belasan tahun telah menjadi teman berkeluh kesah, menjadi sandaran bagi tubuh yang rentan ini. Bolehkah aku sekali ini menginap, tidur dalam pelukanmu, Ayah? Menemani kesendirianmu saat bulan mati, menatapmu bersama pijar-pijar bintang di malam terakhir Sasih Kesana,” gumamnya pada pohon.

“Anakku, tidak ada yang harus kamu balas. Tak pernah kuharapkan hal seperti itu, padamu atau pada siapapun. Aku tak mengenal kebaikan begitu juga keburukan dalam bahasa mu. Karena aku tercipta sebagai pohon, maka sudah semestinya menjalankan kehidupan sebagai pohon. Pohon tua ini atau pohon lainnya yang berjejer di atas bukit sana mungkin telah menyaring udara kotor dan membuat kamu teduh, namun bisa saja suatu saat kami tumbang disapu angin dan digerus air hujan, tak mampu lagi menyangga tanah sehingga terperosok sampai ke desa dan melukai orang-orang. Apakah di saat seperti itu kau akan menyebut kami buruk?

Demikian kaummu telah mengajarkan pikiran dan tubuh menilai hal baik dan buruk, tapi ketahuilah jiwa yang bersembunyi di dalamnya, telah melampaui keduanya. Belajarlah pada yang di dalam.

Anakku, lihatlah langit, gelap segera tiba. Seperti yang kau tahu saat matahari terbenam, aku tak lagi baik untuk napasmu. Kau akan jatuh dan lemas jika bermalam di dekatku.”

Pemuda tanggung itu menegakkan punggungnya, berdiri menatap salah satu ranting yang paling besar dan tua, Ia kembali mengungkapkan isi pikirannya.

“Hidup manusia begitu pendek dan rapuh, rentan akan sakit dan tak luput dimakan usia. Kematian tak mampu diduga, bisa saja besok, lusa, tiga hari lagi, atau selesai percakapan ini kematian datang pada anak mu ini. Aku khawatir hari esok tak ada lagi, dan niatku untuk membalas kemuliaan mu tak pernah tersampaikan.”

Ia diam sejenak, memikirkan kata yang tepat untuk menyampaikan maksudnya pada Sang Pohon. “Esok adalah hari pergantian tahun, aku berharap bisa menyambutnya terjaga seperti dirimu, tenang tanpa keluhan dan sempurna tanpa cela. Bisakah engkau ajarkan cara menjadi seperti dirimu, Ayah, Pohon Tua yang tiada henti memberi dan menjaga bumi?”

“Kamu tidak perlu belajar menjadi Aku dalam fisik pohon seperti ini, bukankah sejak beratus-ratus tahun yang lampau leluhur mu telah menuturkan secara terus menerus bahwa sesungguhnya Kamu adalah Aku dalam fisik manusia.”

Pemuda tanggung mendekati Sang Pohon, menyentuh akar yang paling besar dengan tangannya yang kasar dan hangat. Sentuhan lembut dari telapak tangan yang bergambarkan guratan-guratan pengalaman, bekas goresan tanggung jawab, yang menemaninya berkembang sampai saat ini.

“Ayah, aku tidak paham dengan maksudmu.”

Sejenak hening, udara sudah mulai berubah dan menipis. Hembusan dingin angin gunung perlahan menyentuh kulit Si Pemuda Tanggung.

Sang Pohon kembali melanjutkan. “Anakku, sejenak kamu bayangkan isi dapur di rumah mu, lihatlah satu demi satu perkakas yang terbuat dari tanah liat, meski semua dibentuk dari tanah namun setiap perkakas memiliki fisik, warna dan fungsi yang berbeda. Kala tak lagi terpakai, usang dan rusak, mereka kan kembali, melebur pada asalnya. Kita semua, sampai saat ini dengan berbagai macam kesadaran telah terbentuk dari entitas yang sama, suatu saat cepat atau lambat kan kembali pada asalnya, tanah, Ibu kita semua.”

Nampak Si Pemuda tanggung mencoba mencermati yang disampaikan pohon. Lalu ia masuk celah di antara dua akar besar, duduk menyandarkan kepala dan punggungnya.

Sang Pohon melanjutkan. “Besok, saat matahari terbit kamu bisa mulai mencoba sesuatu yang sederhana.”

Jagalah udara di sekitar mu agar ia berhembus apa adanya, tanpa asap, tanpa nyala api. Sehingga paru-parumu dapat menghirup napas semesta yang murni, hidungmu belajar memahami aroma hidup yang mengaliri pohon-pohon, binatang, serangga dan benda mati di sekitarmu. Saat malam tiba, bintang-bintang kan terlihat jelas, mereka tidak dikaburkan oleh pijar lampu di sekitarmu. Biarlah mata belajar dari dalam, melihat dalam kegelapan.

Cahaya dan mata membantumu untuk membedakan segala sesuatunya, tapi mata yang rapuh membuat mu jatuh pada gemerlapa, keindahan yang sementara. Kupu-kupu yang bertengger di atas bunga mawar kau puji dengan kata-kata indah, tapi pada hari sebelumnya saat ulat menempel di salah satu daun kau malah menghindar. Bukankah ulat dan kupu-kupu adalah sentitas yang sama, hanya karena periode waktu yang sementara itu kamu melihatnya dengan cara yang berbeda.

Berhenti sejenak dari rutinitas, biarlah tubuh beristirahat. Seluruh bagian tubuh dan semua organ bergerak tanpa tekanan. Pahami setiap aliran darah pada nadi, rasakan bagaimana jantung berdetak dan usaha paru-paru membuat mu tetap bisa bernapas sampai saat ini.

Lakukan segala sesuatunya tanpa harus bersuara. Ijinkan kedua telinga mendengar apa yang seharusnya mereka dengar, bukan apa yang pikiran inginkan. Kau tahu, segala sesuatu di dunia ini, baik yang hidup dan yang mati, semuanya menghasilkan suara dan tanda. Mereka selalu berkomunikasi satu sama lain. Hanya saja telinga manusia tak mampu menjangkau semua bahasa dan semua tanda.

Terakhir, menyepilah untuk menjadi diri sendiri, untuk tubuh dan pikiran, meski tak bisa kau hindari dalam keramaian. Ku tahu ini sulit, namun hal itu satu cara untuk bisa menjadi Aku, seperti yang kau niatkan. Dan saat udara telah murni, kau kan mencium aroma mahluk hidup, tidak hanya aroma tubuhnya tapu juga aroma di luar dari tubuhnya. Melihat wujud dalam gelap dan membedakan segala sesuatunya tanpa cahaya. Mendengar segala hal kemudian memahami tandanya, meski dirimu dan mereka tak saling berdekatan serta bersentuhan.

Menjadi pengendali penuh atas diri, seperti pohon-pohon tua yang selama ini kau datangi dan kau sentuh dengan tangan mu itu. Tiada bahagia yang meluap dari mereka, tiada kesedihan yang pernah mengendap. Saat angin datang, mereka membiarkan ranting-ranting menari mengikuti arahnya, lalu benih beterbangan, menumbuhkan tunas baru di tanah seberang. Ketika musim kemarau, daun-daun lama dan kering berguguran, menyiapkan daun-daun kecil tumbuh hijau, berkembang di musim berikutnya.”

Si Pemuda tanggung membuka matanya, seolah ia baru terbangun dari mimpinya yang panjang. Di antara udara dingin Ia merasakan kehangatan, dipeluk oleh ayahnya.

Langit jingga telah menghilang, pemandangan mulai terlihat samar. Binar-binar lampu di jalanan dan rumah-rumah telah menyala. Orang-orang bersiap menyambut malam pergantian tahun. Sang Pemuda bangkit dari duduknya, memasang kayu diantara ikatan dua kayu bakar, kemudian menaruhnya pada bahu. Ia memandang kejauhan, wajahnya berseri usai mengusap pipinya yang dibasahi kebahagiaan. Ia berpamitan pada Sang Pohon, menerobos kabut, menuju desa.

__

Lima puluh tahun setelah percakapan itu, tepatnya dua belas tahun yang lalu, saya bertemu dengan Si Pemuda Tanggung. Dalam tubuh yang tak lagi semuda kisahnya di atas, Ia menyeduhkan saya kopi dan menawari pisang dari kebunnya. Suasana Nyepi ini selalu mengingatkan saya pada raut wajah dan senyumnya, yang bercerita lebih banyak dari apa yang ia sampaikan. [T]

Badung, 25 Maret 2020

Tags: Cerpen
Wayan Martino

Wayan Martino

Fotografer

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Berpose di sebauh taman di Melbourne
Perjalanan

Laporan Pentas “The Seen and Unseen” dari Australia [3] – Senang di Panggung, Riang di Luar Panggung

BACA JUGA: Laporan Pentas “The Seen and Unseen” dari Australia – Hari Pertama, Pesta Kecil di TamanLaporan Pentas “The ...

March 5, 2020
Ilustrasi diolah dari Google
Esai

Malas Menghantui Mahasiswa Semester Akhir? Ah, Itu Biasa…

MALAS? Yups, sudah tidak asing lagi kata “malas” di dalam kehidupan kita. Bahkan semua golongan juga mengetahui apa itu malas. ...

November 2, 2018
Ulasan

Isotopi Kerusakan Lingkungan Hidup dalam Puisi “Dongeng dari Utara” karya Made Adnyana Ole

. Dongeng dari Utara . Di utara, Ibu Kebun kaktus, hutan bersuara liar Punggung bukit hitam. Orang-orang Atas memburu titik ...

April 25, 2019
Genta
Esai

Jam Terbang Pandita-Pinandita – Catatan Harian Sugi Lanus

Jika pilot pesawat terbang bisa mengukur jam terbang dengan jam dan kilometer, lantas: Pedanda atau Mpu, Pamangku atau Rsi, bisa ...

September 5, 2019
Ulasan

Yang Menegang Ketika Mengoleskan Ramuan Perangsang Kulit Kera Piduka || Semacam Respon Teks yang Hadir Kemudian

Ok. Siap. Baik. Saya mulai dulu percapakan ini dengan sebuah kalimat dari seorang sepuh bernama Nang Kedel dengan kedua huruf ...

July 17, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ni Nyoman Sri Supadmi
Esai

Teknologi Berkembang, Budaya Bali Tetap Lestari

by Suara Perubahan
January 23, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1355) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In