11 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Cerpen
Foto ilustrasi: Mursal Buyung

Foto ilustrasi: Mursal Buyung

Moli

L Margi by L Margi
November 30, 2019
in Cerpen
31
SHARES

Cerpen L Margi

Hari ini Moli belum menyentuh makanan sama sekali. Dia hanya termenung sendirian di belakang pintu sambil menunggu hujan reda. Sangat terlihat keresahan di matanya, namun dia juga sangat takut sekali tubuhnya kuyup oleh air. Sama halnya ketakutanku padanya beberapa tahun lalu. Dan sampai pada akhirnya dia menjadi sahabatku yang paling setia. Aku sangat paham sekali bagaimana perasaan takut itu mengikat pikiran kita.

Aku menghampirinya, membawakan segelas susu dan semangkuk makanan buatnya. Kudekati, kuusap tubuhnya. Tak ada suara riang seperti beberapa waktu lalu. Tak ada. Dia hanya menggeliat sambil mengedip-edipkan matanya yang terlihat lelah. Matanya menatapku seolah mengiba padaku agar aku membantunya. Lalu apa yang bisa aku perbuat? Hanya menenangkannya ketika dia mulai kebingungan. Meyakinkan bahwa dia tidak sendiri.

Usianya sudah tidak muda lagi. Mungkin saja dia hanya menunggu giliran untuk pergi. Ya, siapa yang bisa menolak dijemput jika memang sudah saatnya. Segala yang datang pasti akan pergi dan segala yang hidup pasti akan mati. Semua makhluk hidup memang diberi hidup untuk merasakan kematian suatu hari nanti. Sama seperti aku dan Moli. Tugasku saat ini hanya memastikan agar Moli akan baik-baik saja sampai dia bisa melupakan Milo,  anak kesayangannya yang masih berumur empat bulan. Pasti Milo juga sangat kesepian tanpa ibunya.

Aku memangku Moli, sedikit memaksa untuk meminum susunya. Kusendok dan kumasukkan pelan-pelan masuk ke mulutnya, “Seperti bayi saja, Kau.” Mungkin terdengar seperti ejekan, tapi tepatnya lebih prihatin tentang apa yang terjadi. Melihat keadaannya, aku menjadi merasa semakin takut menunggu dan bertemu hari esok.

Bagaimana manusia bisa tertidur sejenak saat malam dan terjaga keesokan harinya lalu berteriak pada diri sendiri di depan cermin: “Semangat pagi. Saatnya menjalani hidup yang absurd.” Menyemangati diri sendiri adalah hal yang paling mujarab sembari menunggu giliran kita dijemput. 

Tiba-tiba Moli berlari. Berhenti di bawah pohon dan memastikan apakah hujan sudah reda. “Sudahlah, Moli. Tidak usah keluar untuk mencari Milo lagi,” tubuhnya segera melesat pergi dan mengabaikan teriakanku. Tindakan yang sia-sia karena sebenarnya Moli tidak akan pernah bisa menemui Milo.

Satu hal lagi yang aku pahami kenapa dia mengabaikan sekelilingnya. Bahkan sekalipun bahaya yang mungkin saja menunggunya. Bagaimana bisa aku berpikir kalau dia tidak ingin menemukan kesayangannya? Dia yang melahirkan dan beberapa bulan susu mengalir menjadi darah di tubuh Milo. Pasti Moli sangat tertekan. Dia merasa telah berbuat kesalahan terbesar ketika meninggalkan Milo sendirian dua bulan lalu. Tubuhnya yang masih rentan jatuh ke dalam selokan dan tak ditemukan. Milo tidak akan bisa bertahan.

***

Tak berapa lama setelah Moli menghilang dari pandangan, aku dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Ia sudah cukup lama tak menjengukku. Ya, sudah enam bulan aku tidak menerima kunjungan dari siapapun. Mungkin mereka sudah bosan dan merasa aku sudah bisa menerima keadaan dan mengatasi diriku sendiri.

            “Bagaimana kabar Zen?” Tak ada jawaban dari seseorang di depanku. Ia hanya balik bertanya padaku, “Dimana, Moli? Biasanya dia menyambutku.”

“Dia mencari anaknya yang sebenarnya sudah mati. Menjelang malam nanti pasti dia akan kembali.”

“Kenapa sampai anaknya mati?” pertanyaan itu membuat aku gemetar

“Dia meninggalkan anaknya terjatuh ke dalam selokan sampai mati.”

 “Ceroboh sekali dia.”

            “Siapa yang tak pernah berbuat kesalahan?” Aku bergumam dengan mata berkaca-kaca.

Seseorang itu mulai berbicara tentang bagaimana, kenapa, seharusnya, dan penghakiman-penghakiman sepihak. Seseorang yang mulai mengambil alih tugas Tuhan. Aku mulai tidak nyaman dan memintanya pulang karena kebetulan jam berkunjung juga sudah habis.

            “Tetap jaga kesehatan. Tak ada yang bisa menolongmu kecuali Tuhan,” ucapan itu terdengar membosankan dan aku sebenarnya juga ragu apakah aku masih mempercayai hal itu. Aku hanya mengangguk karena aku tahu sebenarnya ia tak pernah ada niat buruk sedikitpun. Bahkan selalu baik padaku.

***

Sepi itu sangat memuakkan. Aku menamainya sebuah kutukan terlebih di tempat yang tidak pernah kita inginkan. Sampai pada saat Moli mengangguku setiap malam dengan suaranya yang membuat telingaku sakit dan tubuhku panas dingin. Dia selalu berada di bawah jendela kamar yang berhadapan langsung dengan taman dan tidak akan pergi sampai aku memberinya guyuran air. Sebenarnya ada perasaan tak tega, tapi aku juga tidak bisa mengontrol ketakutanku pada binatang, lebih-lebih pada seekor kucing. 

Phobia yang tak beralasan. Aku juga tak pernah tahu alasannya kenapa phobia itu lenyap dan jadi begitu sayang dengan Moli. Pada akhirnya memutuskan untuk merawatnya dan menjadikan dia sebagai sahabat. Mungkin satu-satunya alasan adalah kami sama-sama memiliki rasa takut yang berlebihan. Takut kesendirian, pengabaian, ataupun ditinggalkan. Bahkan sering merasa tidak memiliki makna hidup. Ah, terlalu berlebihan rasanya. Apakah kucing juga bisa merasakan itu? Ketika muncul pikiran itu, aku melempar pertanyaan pada Moli,”Sebenarnya siapa menjaga siapa? Kau yang menjaga aku ataukah aku yang menjagamu?”, Tentu saja Moli hanya mengeong dan meringkuk di pahaku.  

 Akhirnya aku dan Moli tak menyoal hal itu. Kami saling menjaga. Sama seperti malam ini aku menunggunya kembali. Berharap mendengar suaranya yang manja karena menemukan kebahagiaan yang baru. Atau setidaknya melihat dia bisa menerima kenyataan bahwa tidak akan bisa menemui Milo lagi.

Tapi kali ini aku melihat Moli masuk kamar dengan keadaan yang mengejutkan. Dia berjalan gontai dan banyak darah di beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya dia terbabrak sebuah kendaraan ketika di jalan. Apa mungkin dia sengaja menabrakkan dirinya karena putus asa? Duh, liar sekali pikiranku.

Bergegas kugendong dia, membersihkan darah yang masih segar, dan menutup tubuhnya dengan selimut. Setidaknya tubuhnya yang menggigil bisa hangat dan segera tertidur untuk melupakan kekecewaannya. Meskipun pikiranku kacau melihat keadaan Moli, tapi aku merasa dia akan baik-baik saja. Dia lebih kuat dari aku dan akan tetap baik-baik saja sampai dia bisa melupakan Milo – anak kesayangannya.

***

“Semangat pagi, Moli. Mari kita mulai menemui hidup yang absurd ini,” Aku menggoyang-goyang perutnya yang tak gendut lagi. Tak ada reaksi, tak ada gerakan, dan Moli mulai membuatku panik. Beberapa menit aku tunggu respon dari tubuhnya tapi sia-sia saja. Sepertinya dia lebih awal dijemput daripada diriku.

Meskipun aku selalu ketakutan, marah, dan benci jika ditinggalkan tapi aku tidak menangis atas kepergiannya. Untuk apa? Toh aku sudah tahu semua makhluk akan saling meninggalkan satu sama lain. Hanya caranya saja yang berbeda-beda. Aku segera meminta bantuan pada seorang cleaning service rumah sakit untuk membantuku. Mencarikan tempat yang tidak terlalu jauh untuk menguburnya.

Dua hari setelah Moli pergi, aku melihat sekelebat wajah dalam kamar. Wajah itu muncul dari dalam pigura yang aku tempel di semua sisi dinding. Dalam pigura itu kami berdua nampak sangat akrab, tapi kenapa sepertinya dia tak mengenalku. Lalu apakah aku harus memperkenalkan diri lagi padanya? Apakah dia mau menggenggam tanganku atau bahkan memelukku? Apakah aku masih bisa melihat senyum seperti dalam pigura itu? Apakah…, apakah…, apakah…, apakah…

Tiba-tiba semua gelap. Aku tak dapat melihat apa-apa selain melihat seutas tali menggantung dan berusaha memutus rantai hidup yang absurd. [T]

Tags: Cerpen
L Margi

L Margi

Lahir dan besar di Surabaya

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi tatkala.co | Satia Guna
Cerpen

Utang | Cerpen Rastiti Era

by Rastiti Era
April 10, 2021
Istimewa
Kilas

Mahasiswa Hindu dan Muslim Turun ke Jalan – Galang Donasi untuk Korban Bencana Bali

Di Singaraja, Buleleng, Bali, mahasiswa Hindu yang tergabung dalam Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) dan mahasiswa Muslim dari Himpunan ...

February 2, 2018
Esai

Pengendara di Persimpangan Sikap

Penulis I Made Nindya Hutama _______ Beberapa waktu belakangan ini jika kita perhatikan ada perubahan pada traffic light di setiap ...

January 7, 2021
Petani Rumput Laut di Nusa Penida. Sumber Foto: balipost.com
Opini

Di Nusa Penida, Ketika Pariwisata “Menghegemoni”, ke Mana Generasi Petani Rumput Laut?

Sektor apa yang paling ampuh dapat menarik generasi milenial bertahan dan bahkan kembali ke kampung Nusa Penida (NP)? Untuk sementara, ...

February 22, 2020
Foto: Mursal Buyung
Opini

Kuliah Masih Penting Gak Ya? Jawabnya: Oh, Tentu Saja!

  WELL, beberapa waktu terakhir issue tentang penting enggaknya kuliah kembali mencuat di kalangan masyarakat kita. Banyaknya sarjana yang masih ...

February 2, 2018
Ilustrasi foto diolah dari sumber google
Esai

Membaca Pilpres: Solipsisme, Cebong dan Kampret Tak Akan Tertukar

Solipsisme, satu problem (paham) yang menjangkit massa dalam pusaran pilpres semenjak 2014 hingga 2019. Bahwa sayalah (keAKUan) satu-satunya ide dan ...

March 14, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Suasana upacara ngusaba kadasa di Desa Kedisan, kintamani, Bangli
Khas

“Ngusaba Kadasa” ala Desa Kedisan | Dimulai Yang Muda, Diselesaikan Yang Muda

by IG Mardi Yasa
April 10, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Gde Suardana
Opini

Tatkala Pandemi, (Bali) Jangan Berhenti Menggelar Ritual Seni dan Budaya

by Gde Suardana
April 10, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (163) Dongeng (13) Esai (1455) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (352) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (342)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In