“Kesuksesan itu diraih dengan mengembangkan kekuatan kita, bukan dengan mencoba menyingkirkan kelemahan kita” —(Marilyn Vos Savant)
Tulisan ini muncul setelah teman-teman dari Compok Basi selesai berbincang buku yang berjudul Hidup Adalah Komedi bagi Orang-Orang yang Mau Berpikir karya Jaswanto yang biasa juga dipanggil Aswan. Kegiatan bincang-bincang buku tersebut berlangsung pada hari Jum’at, 1 Maret 2019 di sebuah kafe yang kebetulan belum resmi menjadi sponsor kami.
Pembicara dalam bincang-bincang buku itu adalah Jaswanto sendiri yang kebetulan tidak sedang kencan bersama pacarnya, (karena memang belum punya pacar). Sedangkan yang memoderatori adalah Ahmad Fanani, seorang lelaki tampan yang bercita-cita menjadi pembawa acara seperti Karni Ilyas-tidak apa-apa, karena pepatah Compok Basi sendiri mengatakan: tidak ada kata bisa kalau tidak mau berusaha, termasuk dalam mewujudkan cita-cita.
Buku Hidup Adalah Komedi bagi Orang-Orang yang Mau Berpikir ini merupakan kumpulan esai yang diterbitkan oleh Mahima dan tatkala.co pada akhir tahun 2018.
Berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh penulisnya, bahwa tulisan-tulisan yang kemudian menjadi sebuah buku itu, pada mulanya adalah tulisan-tulisan di status facebook. Oleh karena adanya saran dari penulis senior yang tidak diragukan lagi akan karya-karyanya, maka status-status di facebook itu kemudian dikumpulkan dan diperbaiki sehingga menjadi satu buku.
Jaswanto sendiri mengatakan kalau hidup sangat banyak sekali komedinya apabila dipikir-pikirkan. Tidak usah yang terlalu jauh-jauh, pengalaman hidup susah dan kemudian diusahakan untuk tidak susah saja adalah jalan dari perkomedian. Menjadi komedi karena kita terjebak di dalam kesusahan dan tidak percaya akan bisa terlepas dari kesusahan-kesusahan itu. Padahal selama ini kita sudah percaya kalau setelah susah pasti ada senang seperti kata pepatah: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, baru kemudian bersenang-senang. Kalau kita bisa percaya dengan pepatah itu, kenapa terlepas dari kesusahan saja kita tidak bisa percaya?
Komedi lain lagi yang sering muncul pada penulis-penulis pemula seperti saya ini, misalnya: kejadian susah, payah, gelisah, resah, ah sudahlah pasrah… Kejadian itu sering timbul pada saat saya menulis. Pada saat menulis, saya sering sekali menggonta-ganti kata, menggonta-ganti kalimat, seakan-akan bahasa saya harus harus harus bahasa luar biasa bahkan kalau bisa bahasa luar angkasa. Tidak hanya sekedar bahasanya saja yang harus luar biasa, tapi isinya pun saya wajibkan di luar perkara.
Setelah berjam-jam saya menulis, biasanya saya cuma mendapatkan hasil kurang lebih 3 sampai 4 paragraf. Karena hasil itu tidak memuaskan, kemudian saya mulai menyalahkan diri sendiri, stres, galau, menghinakan diri, bahkan kadang-kadang menginjak harga diri. Padahal selama ini saya lupa bahwa saya ini masih bisa menulis yang biasa-biasa saja seperti tulisan saya sekarang ini. Bukankah itu komedi banget jika dipikirkan?
Tulisan itu tidak menuntut kita menyampaikan yang susah-susah dan tidak menuntut kita menggunakan bahasa yang luar biasa gawat darurat. Tidak ada satu tulisan pun yang berbicara bahwa tulisan itu harus luar biasa. Tulisan tidak akan megutuk kita kalau seandainya kita tidak menggunakan bahasa “langit”. Tidak pernah ada wacana seperti itu di Sekolah Compok Basi. Kalau tidak percaya silahkan datang ke Sekolah Compok Basi sendiri…
Kita ini belum bisa dikatakan adil kalau terlalu sering menyalahkan diri secara berlebih-lebihan seperti apa yang saya alami itu. Kekurangan kita dalam hal bahasa dan keilmuan-keilmuan tertentu, saya rasa tidak harus kemudian dengan mengutuk-ngutuk diri sekehenak hati sendiri. Kekurangan itu pun penting ada pada diri kita. Ia sebagai antitesa dari kemampuan kita untuk terus berkembang dalam hidup ini. Bahkan seorang kolumnis, Marilyn Vos Savant berpendapat bahwa kesuksesan itu diraih dengan mengembangkan kekuatan kita, bukan dengan mencoba menyingkirkan kelemahan kita, lalu mengapa kita malah harus singkirkan kelemahan kita yang sebenarnya kita butuhkan itu?
Kegiatan bincang-bincang buku yang telah dilakukan oleh teman-teman dari Compok Basi tersebut memicu saya untuk mulai menulis. Saya mesti memulai dengan tulisan ini, yang mana sangat bisa saja tidak baik bagi para pembaca, tapi pasti sangat baik bagi ibu saya karena tulisan ini sudah menjadi cucunya. Berikut ini saya telah merangkum 3 masalah umum bagi penulis pemula ketika melakukan kegiatan menulis:
Terlalu Menuntut Diri
Masalah pertama yang membuat tulisan kita tidak selesai-selesai adalah karena terlalu menuntut diri supaya tulisan kita menjadi paling sempurna. Padahal rata-rata penduduk Indonesia sering sekali mengatakan: tidak ada satu pun di muka bumi ini yang sempurna. Masalah pertama ini bisa membuat tulisan tidak kunjung selesai karena mengharuskan diri untuk menulis persoalan yang di luar kempuan kita. Padahal masalah sepele sehari-hari seperti, cara sederhana menggosok gigi saja bisa kita tuliskan dengan bahasa yang biasa-biasa saja.
Tidak Suka Membaca
Masalah kedua yang membuat terhambat dalam menulis adalah tidak suka membaca. Ketidaksukaan membaca akan membuat kita kurangnya wawasan dan pengetahuan tentang karya tulis dan apa yang ingin kita tulis. Padahal ada istilah mengatakan bahwa guru dari menulis itu sendiri adalah membaca.
Tidak Percaya Diri
Masalah ketiga adalah kurangnya kepercayaan diri. Masalah ini bisa muncul karena masalah pertama dan kedua belum bisa terpenuhi. Terlalu menuntut diri untuk menghasilkan karya paling sempurna akan membuat tulisan kita tidak kunjung terselesaikan. Begitupun dengan masalah ketidaksukaan dalam membaca, itu bisa menghambat kita dalam proses menulis. Karena masalah pertama dan kedua belum kita lalui maka hasilnya sama seperti saya ini: tidak percaya diri kalau saya bisa melahirkan karya tulis.
Demikian pula saya memahami bahwa menulis merupakan salah satu cara untuk bisa hidup lebih lama di muka bumi yang siklusnya tidak tentu ini. Tulisan yang kita buat akan masih bisa bertahan hidup meskipun kita sudah kalah dalam kehidupan. Seperti apa yang kemaren dikatakan oleh Ahmad Fanani alias moderator keunggulan dari Compok Basi: menulislah kamu sebelum kamu dituliskan di batu nisan. [T]