Saat melintas di Jalan Gajah Mada, Delod Peken, Kelurahan Kendran, Singaraja, Minggu (3/4/2019) sore, tak sengaja berpapasan dengan rombongan krama Desa Pakraman Buleleng yang sedang melakukan upacara melasti serangkaian Perayaan Hari Raya Nyepi.
Karena malas menunggu krama yang mengular berakhir, saya memilih mengambil jalan alternative sedikit memutra lewat Banjar Jawa agar sampai ke Banyuning, karena sudah ditunggu ibu-ibu arisan.
Tapi yang mau saya bahas bukan soal arisan atau macet, melainkan tradisi Melasti di Buleleng yang mengalami ‘pergeseran tampilan’. Sebenarnya tulisan ini adalah kerinduan saya ikut upacara melasti. Saya yang lahir dan hingga kini berstatus anak dua di Buleleng, masih ingat betul bagaimana tradisi Melasti di Buleleng dari era sembilan puluhan.
Pergeseran tampilan yang saya maksudkan bukan soal esensi upacara, tatanan upacara, bebantenan atau menyoal ritual lainnya. Namun lebih ke tampilan fashion krama pemedek yang mengikuti upacara Melasti. Menurut saya, tampilan fashion krama saat melasti saat ini lebih ramah, simpel dan saling mengerti sesama. Untuk ikut ritual Melasti, krama desa terutama krama istri (anak-anak putri, remaja putri, ibu-ibu dan nenek-nenek) kini tak usah mengeluarkan kamen (kain) songket kebanggaannya yang disimpan di lemari. Tak perlu juga ke salon untuk sekedar memasang make up dan sanggul.
Kenapa demikian?
Mari kita kenang ritual Melasti sebelum tahun 2000-an. Dulu krama desa di Buleleng khususnya terutama krama istri sangat menanti-nanti ritual Melasti. Ibu-ibu dan remaja putri biasanya menyiapkan diri jauh-jauh hari sebelum melasti. Terutama persiapan baju kebaya, kamen songket yang akan digunakan lengkap dengan sandal dan booking salon untuk berhias.
Dulu upacara Melasti boleh dikatakan sebagai kesempatan krama istri untuk bersolek. Berbeda dengan saat ini, remaja dan ibu-ibu bisa pasnag alis sendiri setiap saat di rumah lengkap dengan blush on, eyeshadow dan gincu sesuai selera. Dulu mah ibu-ibu jarang bisa berias, sehingga saat odalan dan Melasti harus booking salon kecantikan dulu.
Melasti juga pada masa itu dijadikan ajang untuk unjuk diri, menunjukkan status sosial masyarakat. Dadya saya yang kebetulan ada di Banjar Tegal, masuk wilayah Desa Pakraman Buleleng. Jadi saat upacara Melasti yang ikut bareng nyuciang bhatara meliputi wilayah wewengkon Desa Pakraman Buleleng yang diempon oleh 14 Banjar Adat. Bisa dibayangkan berapa jumlah krama yang terlibat tumpah ruah ke jalan.
Yang menjadi pemandangan dan dinanti-nanti adalah pertunjukaan krama istri yang saling pajegegin (beradu cantik) dengan kain songket, perhiasan emas dan riasan make up dan kepala lengkap dengan bunga emas dari salon terbaik. Keluarga yang lebih berada biasanya memiliki kesempatan untuk menunjukkan diri melalui anak gadis dan istri mereka dari pakaian yang dikenakan. Maklum saja kain songket dan perhiasan emas harganya cukup mahal, keluarga yang kurang mampu jelas tak bisa membelinya.
Remaja putri dan ibu-ibu pun rela kaki mereka lecet datang dari Melasti karena menggunakan kain songket dengan benang emas yang keras. Selain itu ritual melasti ini juga dilakukan dengan berjalan kaki cukup jauh dari Pura Desa Pakraman Buleleng menuju Pura Segara di kawasan eks Pelabuhan Buleleng.
Namun apalah arti lecet yang bisa sembuh dibandingkan dengan kepuasan melasti menggunakan songket. Tak jarang, karena dilakukan pada Purnama Kadasa, ritual Melasti di Desa Pakraman Buleleng diiringi hujan deras. Hal itu pun dulu tak jarang membuat kain songket dan riasan make up blobor (luntur) karena tak boleh kena air.
Namun tontonan yang dapat mendatangkan wisatawan itu belakangan setelah tahun millennium semakin jarang terlihat dan kini bahkan tak ada sama sekali. Dari ribuan krama yang mengular ikut Melasti, Redite Paing Matal, Minggu (3/3) hampir tak ada krama yang ngiringan Ida Bhatara menggunakan kain songket.
Krama terlihat tampil sangat sederhana, dengan balutan kebaya mendominasi warna putih dan kuning dipadukan dnegan kain endek di bagian bawah. Meskipun saya yakin ada beberapa harga kain kebaya yang dikenakan krama harganya mahal hingga jutaan. Tak ada riasan wajah dan kepala yang mencolok. Meskipun ada paling mereka berias sendiri di rumah atau minta bantuan salon untuk riasan sederhana.
Pergeseran tampilan ini bagi saya berimplikasi pada beberapa hal, ada sisi positif dan juga negatifnya. Pergeseran tampilan yang bermula dari edaran PHDI yang mengatur tata busana persembahyangan bagi ternyata sangat efektif menghilangkan kesenjangan sosial. Dengan berpakaian warna senada dan tak berlebihan, mengaburkan strata masyarakat dari sei ekonomi.
Dengan begini tidak ada lagi krama yang merasa malu, minder dan berkecil hati, karena tak memiliki songket, perhiasan emas dan kebaya bagus saat Melasti. Hal itu juga membuat pikiran krama terfokus mengikuti ritual keagaman yang jauh dari pengaruh material. Ya lebih meminimalisir percakapan ibu-ibu dan remaja putri menyoal kebaya, songket dan perhiasan emas yang mereka pakai, beli dimana dan harga berapa.
Namun dampak negatifnya mungkin ada pengaruhnya terhadap pengerajin tenun songket yang ada di Kabupaten Buleleng. Dengan perkembangan mode dan fashion saat ini, hasil kerajinan tenun yang dikerjakan berbulan-bulan untuk menghasilkan kain songket minim pembeli. Kain songket yang terkesan barang mewah dan mahal hanya digunakan di waktu tertentu semakin tergerus dengan batasan penggunaan busana ke pura saat ini.
Meski begitu, tantangan itu bisa dijadikan pelecut pengerajin untuk mengupdate karyanya dengan model dna motif yang mengesuaikan dengan trend terkini. Seperti inovasi kain songket yang mulai merambah dunia fashion dan kerajinan tangan lainnya, justru peluangnya juga sangat luas. [T]