2 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Anak-anak Jembrana main jegog. /Foto: Yogi Periawan

Anak-anak Jembrana main jegog. /Foto: Yogi Periawan

Jembrana, Pusat Dunia yang Tak Pernah Selesai

Nanoq da Kansas by Nanoq da Kansas
February 2, 2018
in Opini
29
SHARES

KARENA bumi bulat-bundar, maka setiap benda di dunia ini adalah pusat. Saya dan anda, masing-masing adalah pusat dunia atau pusat bumi. Setiap sebutir pasir atau sebutir atom adalah pusat dunia. Dan anjing saya yang selalu tidur di depan pintu dapur adalah pusat dunia.

Dan Kabupaten Jembrana, yang jika dilihat dari konsep arah mata angin terletak di bagian barat pulau Bali, adalah sudah pasti juga merupakan pusat dunia.

Setiap pusat dunia, entah sebutir pasir atau seekor anjing yang suka tidur di depan pintu dapur, pasti punya riwayat. Maka riwayat Jembrana konon adalah seperti ini; bahwa dulunya merupakan kawasan hutan belantara di kawasan barat Bali di mana para memedi, jin, wong samar, banas, temongkang, pepengkah dan sejenisnya beranak-pinak.

Sementara tetangganya di kawasan timur dan selatan serta utara telah berkembang membentuk kawasan dengan masyarakat yang mapan sehingga mereka merasa perlu sekali membangun puri-puri, membuat raja, membuat suatu pemerintahan dengan seluruh perangkat lunak maupun perangkat kerasnya yang berujung pada sikap dan jalan hidup bernama feodalisme.

Di saat feodalisme tumbuh dan hidup dengan subur serta mapan di kawasan lain Bali inilah Jembrana membentuk sejarahnya sendiri. Seolah sengaja sebagai penolakan akan suatu kemapanan, alam Jembrana menghimpun embrio-embrio tercecer yang terbuang ke dalamnya.

Embrio-embrio tersebut terdiri dari: (1) Orang-orang pintar, kritis dan ngeyel yang berani menentang atau melawan sikap maupun kebijakan para raja yang dibuang (diasingkan) ke Jembrana. (2) Orang-orang yang sangat jahat, kriminalis akut, begundal masyarakat yang dibuang (diusir) ke Jembrana. (3) Orang-orang yang miskinnya tak ketulungan, yang membuang diri ke Jembrana untuk mencari penghidupan.

Jadi, Jembrana konon terbentuk dari embrio-embrio buangan!

Maka, Jembrana berkembang dengan masyarakat yang yatim piatu secara kebudayaan!

Itulah sebabnya kemudian, di Jembrana lahir sebuah kesenian gamelan bernama Jegog. Logikanya, sebagai masyarakat buangan yang tentu saja miskin dan tidak mampu membeli perunggu untuk membuat gamelan seperti yang ada di tanah leluhur dan saudara-saudara mereka di kawasan timur, maka naluri dan kepekaan seni masyarakat buangan di Jembrana terasah secara alamiah untuk berbuat dengan apa saja yang memungkinkan dan ada di sekitarnya.

Mula-mula mereka membuat gamelan jegog dengan bahan dari pohon tertentu (semisal kayu balang) yang diraut menjadi serupa dengan bilah-bilah gamelan perunggu yang dijejer di atas telawah seperti pada gamelan gong. Tetapi ini tentu saja kurang efektif dan kurang efisien. Maka kayu diganti dengan bambu. Dan agar suara yang timbul bisa beresonansi mirip suara gamelan dari perunggu, maka dipilihlah batang-batang bambu raksasa.

Satu hal yang paling unik dari gamelan jegog ini adalah; diabaikannya “nada-nada feodal” yang telah mapan pada gamelan perunggu, baik gong, gender, maupun angklung, yaitu slendro maupun pelog. Jegog terlahir benar-benar sebagai sesuatu yang baru, orisinal, dengan notasi yang mimpas (keluar jalur) dari slendero maupun pelog. Nada pada gamelan jegog adalah nada yang tercipta dari suara alam, entah itu alam nyata atau alam tak nyata, entah itu berasal dari dunia memedi, dunia banas atau dunia antah-berantah lainnya.

Maka tidaklah mengherankan bila kemudian masyarakat Bali pernah tidak bisa menerima jegog sebagai salah satu dari kesenian tradisional Bali. “Orang Bali” merasa sangat asing dan bingung dengan suara (nada) jegog. “Orang Bali” merasa asing dan aneh melihat teknis dan pola menabuh gamelan jegog. “Orang Bali” merasa asing dan bingung kenapa mesti ada jegog mebarung – yakni lomba keras-kerasan suara gamelan dan kuat-kuatan menabuh.

Secara politik dalam sejarah modern, Jembrana itu telah membuktikan dirinya sebagai yang paling hebat di Bali. Gubernur pertama Bali adalah orang Jembrana. Bahkan bukan orang biasa yang konvensional, tetapi seseorang yang kontroversial. Dia seorang keturunan raja, memimpin Bali dalam sistem pemerintahan demokrasi yang pertama, tetapi pula dianggap sebagai seorang komunis dan akhirnya mengasingkan diri ke luar negeri.

Entah kapan dan di mana wafatnya (masyarakat tidak tahu), tetapi ketika Puri Negara menyelenggarakan upacara pengabenannya tahun 2007 yang lalu, upacara tersebut dihadiri oleh raja-raja di Bali, dihadiri tokoh-tokoh nasional. Sebuah upacara yang unik, karena tanpa adanya jasad dan diselenggarakan untuk seseorang yang pada sisa hidupnya dicap sebagai seorang komunis yang dalam pengertian Indonesia adalah tidak percaya agama dan Tuhan.

Di era reformasi pasca rezin Orde Baru, Jembrana juga dipimpin oleh seorang bupati yang tak kalah kontroversialnya. Seorang bupati yang bahkan berani “merusak” tatanan pemerintahan konvensional yang berlaku di Indonesia selama ini. Inilah satu-satunya bupati di Indonesia yang berani menggagas sekaligus menyelenggarakan pendidikan gratis bagi seluruh siswa dari tingkat SD sampai SMA dan akhirnya mengilhami program yang sama untuk skala nasional. Inilah satu-satunya bupati di Indonesia yang tanpa ragu-ragu berani merombak benang kusut penyakit birokrasi di Indonesia.

Dengan kompleksitas prosesi alamiah, baik dari sisi manusia, lingkungan, sosial, politik hingga spiritualitas yang sedemikian rupa, maka jadilah Jembrana sebagai salah satu pusat kebudayaan dunia. Bahwa misalnya, ternyata masyarakat Jembrana telah membentuk perilaku (baca: kebiasaan) dan bahasa tersendiri. Bahasa orang Jembrana paling berbeda di Bali. Di Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem hingga Buleleng, barangkali hanya dialek yang berbeda secara umum, tetapi di Jembrana mulai dari dialek hingga suku kata berbeda dengan Bali belahan lainnya.

Bahasa orang Jembrana itu “kaku”. Dan suku kata orang Jembrana tidak mengenal akhiran berkonsonan. Orang Jembrana mengucapkan kata “tabrakan” menjadi “tabraka”. “Orang Bali” mengatakan “ngalihin” (mencari), orang Jembrana mengatakannya “ngalihe”. “Semengan” menjadi “semenga”, “kundangan” menjadi “kundanga”, “mejalan” menjadi “mejala”, “kokohan” (batuk) menjadi “kokoa”, “jagurin” menjadi “jagure”, “mejaguran” (berantem) menjadi “mejagura”, “nyidaang” menjadi “nyidaa”, dan seterusnya.

Demikianlah Jembrana lahir dan mengada di bagian barat Bali. Jika kemudian Bali diistilahkan sebagai pulau surga (saya tak pernah mengerti dengan istilah ini karena jika Bali itu Surga tentu tidak ada orang miskin, tidak ada pengemis, tidak ada kejahatan, tidak ada penindasan, tidak ada ketidakadilan, tidak ada orang bokek, tidak ada korupsi, tidak ada partai politik, tidak ada perebutan kekuasaan sampai berdarah-darah), maka Jembrana adalah “tetangga” dari surga dan neraka.

Jembrana tidak selesai terbentuk, baik menuju bentuk surga maupun bentuk neraka. Dengan kata lain, Jembrana adalah kawasan yang dinamis, tidak stagnan, tidak ajeg! Jembrana adalah sesuatu yang harmoni dengan segala kehidupan yang serba mungkin di dalamnya! (T)

Tags: BahasabaliBudayajembrana
Nanoq da Kansas

Nanoq da Kansas

Dramawan, penulis puisi dan cerpen. Pendiri Komunitas Kertas Budaya di Jembrana. Kini nyambi jadi tukang cuci piring di Romprok Kopi, Negara, Bali

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi

Puisi-puisi IGA Darma Putra | Kematian Siapa Hari Ini?

by IGA Darma Putra
February 28, 2021
Ilustrasi: IB Pandit Parastu
Cerpen

Purnama Pasah

Cerpen: Ni Kadek Desi Nurani Sari Purnama pasah, tiga anak bajang berjalan melenggang ke arah barat tempat di mana, rusuk ...

February 2, 2018
Lukisan: Nyoman Wirata
Puisi

Nyoman Wirata# Puisi: Aku Memungut Bendera dan Air Mata Seekor Elang

. AKU MEMUNGUT BENDERA DAN AIR MATA SEEKOR ELANG Pagi ini aku memungut airmata seekor elang Kukira kesedihan Sebab luka ...

February 2, 2018
Ist
Khas

Pesona Musik Bambu “Manuru” Idamdehe Gamsungi

Warga desa Idamdehe Gamsungi Kecamatan Jailolo - Kabupaten Halmahera Barat, bersatu menghadirkan hampir seluruh kaum pria, berpartisipasi menyuarakan dengungan Musik ...

December 10, 2018
Esai

New Normal, New Acne

Memasuki era new normal seperti saat ini, sebenarnya kita sedang dipaksa untuk mengalami tatanan hidup baru dan beradaptasi menerapkan kebiasaan ...

August 11, 2020
Kadek Desi Nurani bersama buku Manisan Gula Merah Setengah Gigit, Agus Wiratama (Kado Kematian untuk Pacarmu) dan Devy Gita Augustina (Elang yang Terbang di Hari Senin).
Khas

Tentang Fiksi pada Manisan, Kado dan Elang | Bedah 3 Buku di Kulidan

24 Januari 2021, beberapa orang berkumpul di Kulidan Kitchen and Space, Gianyar, Bali, tengah bersiap untuk mengadakan acara bedah buku-buku ...

February 6, 2021

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jro Alap Wayan Sidiana memanjat pohon kelapa di Desa Les, Buleleng
Khas

Jro Alap, Kemuliaan Tukang Panjat Kelapa di Desa Les

by Nyoman Nadiana
March 2, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ilustrasi tatkala.co | Vincent Chandra
Esai

Di Nusa Penida, Ada Gadis Menikah dengan Halilintar

by I Ketut Serawan
March 1, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (156) Dongeng (11) Esai (1418) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (196) Opini (478) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In