27 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Foto: Tejo Rosidi

Foto: Tejo Rosidi

Air yang Seret dan Petani Seperti Lagu Pop: Berangkat Pagi Pulang Pagi

Hendra Anusapati by Hendra Anusapati
February 2, 2018
in Opini
40
SHARES

 

INDONESIA Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Iya itu sebutannya yang sudah sering berkumandang di indra pendengaran kita. Bukan hanya dari letak strategis lintas budaya, adat, bahkan agama, namun juha hampir semua hal berbeda.

Lantas apakah kaitannya dengan tulisan ini?

Jika melihat keberagaman bangsa Indonesia, sungguh berjuta-juta di pandangan mata, tak dapat dihitung dengan jari-jemari. Berbeda agama, suku, adat,  tentu pula berbeda cara bekerjanya di  masing-masing orang Indonesia.

Ada yang menjadi kaum orang serba  ada, semacam direktur, pengusaha, tentara, polisi, pejabat, dosen dan sebagainya. Itu sekilas pekerjaan atau profesi saja yang beberapa saja saya sebutkan.

Di balik layar itu semuanya, ada orang-orang yang berupaya mengenyangkan perut mereka sendiri sekaligus bisa mendapatkan hasil dari upaya mengenyangkan perut orang lain. Agar dirinya nyaman hidup bersama keluarga, dan orang lain juga bisa hidup nyaman dengan sanak keluarga mereka.

Jadi, seperti ada wayang di balik panggung kehidupan orang-orang yang dianggap professional semacam pengusaha besar, birokrat dan politkus.  Wayang itu, selain menggerakkan diri mereka sendiri, ia juga harus membentuk bayangan agar orang lain bisa bergembira menonton dan menikmatinya.

Siapakah dia? Iya, sudah tentu, ia adalah para kaum petani.

Berbicara tentang petani banyak kata familiar. Antara lain: “Kemiskinan yang paling rendah adalah kaum petani”. Setujukah atau tidak? Kembalikan saja ke persepsi kalian masing-masing.

Tetapi yang jelas, petani sudah menyumbangkan tenanganya dan merelakan waktu untuk tidak teratur bersenggama dengan istri dan bercengkaram dengan anak-anaknya. Tentang ini, saya teringat pada lirik lagu pop: “Berangkat pagi pulang pagi”.

Lirik itu sangat cocok dengan kehidupan petani belakangan ini. Mengapa sangat cocok? Iya karena mereka berbagai aktivitas yang dilakukannya terkait dengan kelangsunagan hidup tanamannya, tujuannya sih bagaimana tanaman tersebut subur sekaligus membuahkah hasil yang maksimal.

Dan justru ketika zaman makin modern, bahkan zaman sudah menciptakan intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian, kehidupan petani malah makin sulit dan perjuangan justru makin melelahkan.

Salah satunya karena keberadaan air yang seret dan terus menipis.

Contoh nyatanya, petani di daerah Bondowoso. Kota ini dihimpit oleh Kota Banyuwangi, Jember, dan Situbondo. Rata-rata masyarakat Bondowoso melangsungkan hidupnya dengan bertani. Mayoritas tanamannya adalah padi.

Untuk mengairi persawahannya saja, mereka harus berebutan air sungai yang derasnya tak seberapa. Mau tidak mau maka kembali pada ke pepatah lagi “Siapa cepat ia dapat”.

Sudah tentu dong dari kalangan semua petani mengiginkan tanamannya subur dan makmur. Apa boleh buat, mereka melakukan pengairan sawahnya dengan begadang sambil berjaga-jaga. Karena ditakutkan ada penyusup yang menghentikan aliran air sungai menuju ke sawahnya.

Maka, petani bisa berangkat pada pagi pulang pagi. Siang mengurus tanaman, malam mengurus air.

Belum lagi pada siang mereka harus menjaga tanaman mereka, menjaga padinya dari serangan burung-burung. Ya terpaksa ia harus membuat cara bagaimana burung-burung tersebut tak memakan padinya. Salah satunya dengan membuat orang-orangan atau boneka sawah.

Upaya mereka kadang berhasil. Boneka itu kadang sukses menakuti hewan kelaparan untuk tak mencicipi padinya. Namun dasar burung modern, banyak juga yang tak takut lagi pada boneka sawah.

Sungguh luar biasa pengorbanan petani. Sudah berpanas-panasan di bawah sinar matahari, berjam-jam lagi, ditambah lagi terkadang begadang pada malam hari. Miris pekerjaanya, namun itulah kewajibannya demi keberlangsungan hidup yang menjajalnya,

Pendidikan seorang petani pun bisa dipandang sebelahmata, ada yang hanya tamatan SekolahDasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah MenengahAtas (SMA), bahkan pula ada dari mereka yang tak lulus SD.

Tapi bagi mereka tak penting itu pendidikan. Yang penting bagaimana ia menggunakan cangkul sebagai ujung tombaknya, dan pengetahuan dari nenek moyang yang sudah menjadi tradisi turun temurun untuk melakukan cocok tanam,

Dan jangan salah kaprah, pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang sangat mulia demi keberlangsung hidup manusia itu sendiri. Ia seperti pahlawan yang tanpa jasa. Ia memberikan sesuap nasi terhadap manusia dengan jerih payah dan usaha.

Tak salah bagi kita semua ketika makan sesuap nasi saja dan membayangkan betapa susahpayahnya mereka untuk menghidupi kitasemua dengan cara sederhana namun caranya sungguh bermakna.

Merenungnya adalah cara menghargainya walau itu sesaat saja. Mungkin alangkah estetikanya tulisan ini tutup dengan semacam puisi sebagai apresiasi bagi kaum petani.

Sajak Petani

Ketika senja kian menghampiri

Kau merajut pulang bersama langkah kaki

Semangat cangkul kobaran api

Hanya satu, tuk dapat sesuap nasi

Cangkul layaknya senjatamu

Padi adalah sepasang peluru

Dan gubuk tempat semangat bersatu

Boneka belanda sawah sebagai berburu

Waktumu hilang kian terpisah

Meninggalkan keluarga dengan berkisah

Menggais tanah tak kunjung pasrah

Keringat bak letih sampai pangkuan rumah

Cucuran keringat di penghujung lelah

Biarkan tuhan memberi rahmah

Terus menatap di pagi embun nan cerah (T)

Tags: alamBondowosoIndonesiapetani
Hendra Anusapati

Hendra Anusapati

Lahir di Bondowoso. Sekarang menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha, di Pulau Dewata

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Opini

Hati-hati Tombol “Share” di Medsosmu, Pikir Matang Dulu Sebelum Klik

HATI-HATI dengan tombol "share” atau “bagikan" di beranda profil medsosmu. Apa yang kamu bagikan mencerminkan pemikiran, argumen, bahkan sikapmu. Berbagi ...

February 2, 2018
Konor (kiri) Dieksplor dalam Video (Youtube). 
Sumber foto:pokelagu.com
Opini

Salam Konor dari Nusa Penida, Sebuah Alarm Autokritik

“Bangka Eda!” Itulah kalimat identik yang diucapkan oleh Konor setiap melihat orang-orang yang lewat. Kalimat ini bermakna kurang lebih “Mampus ...

February 25, 2020
Ilustrasi diambil dari
Esai

Saya Membayangkan Sang Suratma Membaca Sastra Bali Modern

Apakah Sang Suratma membaca karya sastra Bali modern? Jika Ia membacanya, karya siapakah yang sedang dibaca-Nya saat ini? Saya membayangkan ...

June 28, 2020
Foto: Kardian
Khas

Mahasiswa Papua di Singaraja Baik-baik Saja

“Mahasiswa dari Papua di Singaraja baik-baik saja!” Begitu kata  Lukas Norman Kbarek, mahasiswa asal Papua yang kuliah di Undiksha, Singaraja, ...

August 21, 2019
Karya yang dipamerkan dalam pameran "The Dynamic Heritage"
Ulasan

Pameran 12 Pelukis Batuan: “The Dynamic Heritage”, Warisan-warisan yang Bergerak

  Judul Pameran: The Dynamic Heritage Seniman: Wayan Budiarta, Pande Dwi Arta, Wayan Aris Sarmanta, Gede Widiantara, Wayan Eka Suamba, ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Bermain sky di Jepang {foto Riris Sanjaya]
Khas

Bermain Ski ala Pandemi di Awal 2021 | Kabar dari Jepang

by Riris Sanjaya
January 26, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Made Adnyana Ole [Ilustrasi Nana Partha]
Esai

Filosofi Luluh Sate

by Made Adnyana Ole
January 26, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1362) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (312) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (329)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In