17 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Ilustrasi: IB Pandit Parastu

Ilustrasi: IB Pandit Parastu

Kenapa Orang Bali Suka Ahok?

Made Surya Hermawan by Made Surya Hermawan
February 2, 2018
in Opini
3k
SHARES

MASIH tentang pilkada DKI Jakarta. Nyatanya seluruh pasangan calon yang bertarung di sana punya nilainya tersendiri. Punya lebih kurangnya masing-masing. Dari latar belakang profesi, tingkat pendidikan, hingga karakter yang membedakan dirinya dengan yang lain. Termasuk baju hitam, kotak-kotak, dan putih. Itu semua menjadi barang jualan.

Sekali lagi, pada musim pilkada, semua barang halal dijual. Baik untuk meningkatkan citra diri, atau menjatuhkan lawan. Halal.

Pasca debat calon gubernur DKI Jakarta putaran pertama, saya melihat ada fenomena cukup unik. Senyatanya fenomena itu bukan hal baru, karena sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu di media sosial. Fenomena itu terjadi di Bali, di laman-laman media sosial orang-orang Bali.

Media sosial yang ruang lingkupnya mendunia, kali ini saya batasi hanya untuk mengamati orang (yang tinggal) di Bali. Tentu karena saya tidak sanggup membahas semua. Terlalu luas. Kalaupun dicoba, kesannya akan sangat dipaksakan.

Begini. Mayoritas pemilik akun media sosial yang terkoneksi dengan akun media sosial saya memerlihatkan simpati, atau lebih tepatnya kesukaan, atau dukungan, pada satu tokoh. Ahok.

Timeline media sosial saya hampir selalu dipenuhi oleh postingan positif tentang Ahok. Para pengguna media sosial itu memosting status, foto, juga tautan berita. Hingga yang paling ekstrim ada kalimat “kalau Ahok tidak disukai di Jakarta, bawa dia ke Bali untuk jadi Gubernur Bali”. Anehnya, itu dibuat sebagian besar oleh orang Bali. Lebih khususnya anak muda Bali.

Kenapa Ahok?

Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa Ahok? Kalau dilihat lebih jauh, dan jika ingin berbicara kultur, Ahok bukan orang Bali. Pun bukan Hindu. Nyatanya dia juga tidak memiliki kedekatan emosional dengan orang Bali, seperti layaknya Bung Karno dan keturunannya yang memang punya darah Bali.

Jika dirunut lebih ke belakang, fenomena ini diawali ketika pasangan Jokowi-Ahok menang pada pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Jokowi-Ahok tampil dengan gaya yang berbeda. Mereka membuang jauh kesan pemimpin priyayi. Gaya blusukan mengesankan mereka dekat dengan rakyat. Bukan pemimpin yang berjarak, yang selama ini mungkin dirasakan sebagaian masyarakat.

Belum lagi persoalan lelang jabatan, KJP dan berbagai kartu lainnya yang menjadi terobosan kala itu. Hingga Jokowi menjadi presiden dan Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta. Jokowi tetap disukai, pun dengan Ahok. Ditambah peran media yang santer memberitakan. Hingga membuat segala yang terjadi di Jakarta diketahui dengan baik oleh orang-orang di Bali.

Aneh memang, mereka bekerja di Jakarta tetapi kesan baik yang ditimbulkan sampai ke Bali. Mungkin ini menjadi ciri bahwa masyarakat Bali sudah bercara pandang lebih terbuka. Ya, walaupun itu belum semua. Sisanya masih sibuk ngiriang pisaga dan megarang warisan. Mungkin.

Terlepas dari sebagian orang Bali masih sibuk ngiriang pisaga dan megarang warisan, saya melihat fenomena ini menggambarkan orang Bali merasa memiliki Jakarta. Tentu sebagai Ibu Kota Negara. Atau lebih besar merasa memiliki Indonesia. Bagaimana tidak, fenomena ini  belum pernah terjadi, sepengetahuan saya.

Orang Bali meluangkan waktu, walaupun sekadar untuk menuliskan status atau berbagi informasi positif tentang Ahok. Memang bukan indikator kesukaan yang signifikan. Namun setidaknya, ini mencirikan mereka peduli tentang orang, sesuatu, atau peristiwa. yang berada jauh di Jakarta sana.

Hal lain yang bisa jadi menyebabkan kesukaan pada Ahok yaitu faktor kebosanan. Kebosanan masyarakat tentang politikus korup yang digerakkan partai. Mereka mungkin melihat sosok berbeda pada diri Ahok. Sosok yang berani, jujur, dan bersih. Pun tidak mudah dikendalikan partai. Mereka mungkin juga merindukan adanya pemimpin seperti itu di Bali.

Beberapa kali Ahok terlibat duel argumen dengan DPRD DKI Jakarta. Dengan Haji Lulung atau M. Taufik. Yang paling mengemuka tentu soal UPS. Ahok menduga ada anggaran siluman pengadaan UPS untuk sekolah di DKI Jakarta. Faktanya, dia berani menentang. Bahkan menantang. Walau harus berhadapan dengan DPRD. Meginstruksikan bawahannya menghapus anggaran itu. Selain karena tidak tepat sasaran, baginya nominal anggarannya tidak masuk akal. Membengkak.

Ahok berani mengambil jalan berbeda. Di tengah banyak deal bawah meja antara legislatif dan eksekutif, dalam hal UPS Ahok menjelaskan bahwa dirinya bukan bagian dari sistem yang busuk itu. Sistem yang menjunjung hukum di atas meja, namun memancungnya ketika bersepakat di bawah meja.

Belum lagi ketika Ahok keluar dari Gerindra. Dia menampilkan sosok pemimpin milik rakyat. Bukan milik partai. Dia berani keluar dari partai yang mengusungnya ketika mencalonkan diri menjadi wakil gubernur, dulu. Alasannya, Ahok berseberangan dengan Gerindra.

Gerindra dulu mendukung pemilihan kepada daerah melalui DPRD. Ahok dengan keras menentang. Dan memang, ketika itu gerakan penolakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD dari akar rumput cukup tinggi. Ahok berada pada rakyat. Baginya, tidak masalah dikatakan kutu loncat di partai, asalkan setia pada konstitusi. Wajar saja, dulu Ahok Golkar, kemudian Gerindra, lalu sekarang masih belum berpartai. Sepertinya belum.

Sikap itu menunjukkan dia ada di sana tidak untuk kepentingan partai. Jarang bukan? Iya, memang jarang orang seperti dia. Kalau dilihat di seluruh Indonesia, seorang kepala daerah yang berani menentang keputusan partai karena bertentangan dengan idealismenya tidak lebih dari hitungan jari tangan kiri. Atau mungkin jari itu terlalu banyak. Itu mungkin satu alasan orang Bali suka dia, karena di Bali juga tak banyak politikus seperti itu. Mungkin saja tidak ada.

Bali Berada di Tengah

Orang Bali sudah selesai dengan dirinya sendiri. Itu alasan berikutnya. Orang Bali boleh jadi masyarakat yang paling toleran di Indonesia. Bergaul ke barat, oke. Pun ketika berbaur ke timur, tidak masalah. Hal ini pernah di-iya-kan oleh seorang dosen saya. Dia mengatakan bahwa orang Bali mudah bergaul ke Indonesia barat ataupun timur. Ada kultur yang berbeda antara barat dan timur. Bali memilih ada di tengah. Merangkul-dirangkul keduanya.

Tidak pernah memandang agama Ahok. Orang Bali tetap menyukainya. Mungkin, bagi kebanyakan orang Bali, itu bukan masalah. Lebih tepatnya bukan hal yang patut dipermasalahakan. Semasih dia menjalankan tugas dengan baik, jujur, dan berpihak pada rakyat, prihal beda agama bukan perkara.

Sejarah mencatat, Bali pernah memiliki gubernur beragama Islam. Namanya Soekarmen. Aman, Bali tetap harmonis.

Berbagai macam terpaan kasus dari tuduhan korupsi hingga penistaan agama menyerang Ahok. Nyatanya kesukaan itu tetap ada. Tidak berkurang. Justru tumbuh. Banyak orang Bali mungkin saja beranggapan saat ini Ahok sedang diserang. Sedang dikriminalisasi. Mereka percaya bahwa Ahok tidak begitu. Tidak korup, juga tidak berniat menista agama. Hal ini bagi saya bukan kesukaan buta.

Orang Bali memilih figur untuk dipercaya. Orang Bali mengemas rasa percaya dalam bingkai rasionalitas. Contoh: ketika Jero Wacik (orang Bali) dipanggil KPK dan ditetapkan sebagai tersangka, hampir tidak ada dukungan untuknya. Yang banyak hanya cibiran, bahkan makian, di media sosial. Tentu respon itu tidak sembarang muncul. Saya percaya ada alasan kuat dan masuk akal yang mendasarinya.

Ahok dapat respon berbeda. Ketika dipanggil KPK tentang kasus RS Sumber Waras, dia tidak dicibir atau dimaki. Dia justru mendapat simpati. Bahkan dukungan. Hal yang persis sama juga terjadi ketika Ahok ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama. Dia tetap disukai.

Rasa dan rasio orang Bali terbuka. Hari ini, fenomena terbalik terjadi. Ketika orang yang dianggap baik disudutkan. Dikriminalisasi. Bukan antipati yang dia dapat, tapi simpati. Kalaupun suatu saat Ahok terbukti bersalah, prediksi saya, orang Bali masih akan menyukainya. Orang baik, seberapa kuatpun dikesankan buruk, dia akan tetap baik di mata hati rakyatnya.

Saya merasa mulai muncul ikatan emosional orang Bali dengan Ahok. Seperti orang Bali dengan Sukarno.

Semoga, ketika pemilihan gubernur Bali nanti, orang Bali juga akan merasa memiliki Bali-nya sendiri. Memilih calon lebih dari sekadar partai. Menggunakan rasa dan rasio menakar calon gubernurnya sendiri.

Saya sering berpikir, kalau saja ada calon gubernur Bali yang menyerupai Ahok. Ketegasan, kejujuran, terobosan, dan gaya memimpinnya. Dia pasti menang mudah. (T)

Baca juga:

# Agus Terburu-buru, Anies Khas Akademisi, Ahok Seperti Bukan Ahok

Tags: AhokbaliDKI JakartaPilkada
Made Surya Hermawan

Made Surya Hermawan

Lahir di Denpasar, 7 Oktober 1993, tinggal di Kuta, Bali. Lulusan Jurusan Pendidikan Biologi Undiksha, Singaraja, 2015. Gemar mendengar cerita politik dan senang berorganisasi. Setleah menamatkan studi pascasarjana di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang, ia mengabdikan ilmunya dengan jadi guru.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
9 perempuan book launch
Essay

Still We Rise | Balinese Women Movements: 2 Empowering Projects, 21 Inspiring Women

2021 - A New Year for More Female Voices “Still I rise”. Lecturer, writer, and feminist activist Sonia Kadek Piscayanti...

by Irina Savu-Cristea
December 24, 2020

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Ilustrasi tatkala.co | Nana Partha
Esai

Obrolan Mahasiswa Matematika dan Sales Obat: Apa Artinya Dosis 3×1?

Saya hendak membagikan sedikit catatan mengenai obrolan saya dengan seorang teman yang kebetulan saat ini bekerja menjadi seorang sales obat ...

April 24, 2020
Pemuda kayoman Pedawa tak akan henti-henti menanam pohon
Kilas

Sambut Tahun 2020, Pemuda Kayoman Pedawa Tak Henti Tanam Pohon

Pecinta Alam Kayoman Pedawa menanam pohon bersama tokoh masyarakat Dusun Asah, Babinkantibmas, Babinsa Desa Pedawa,  Kepala banjar dinas se- Desa ...

January 2, 2020
Penulis di Sepeken
Khas

Sapeken, Perjalanan adalah Guru; Mengasupi Segala Pengetahuan Dari Sebuah Perkenalan

Singaraja yang terik memapar kulit, angin pelan menyapu wajah yang berkeringat. Perasaaan bercampur antara senang dan takut. Perjalanan panjang menebas ...

November 6, 2019
Kunjungan Rabindranath Tagore ke Raja Karangasem bersama S. Koperberg, S. Kar, T.D. Dwavarman, G.W.J. Drewes, S.K. Chatterji, K. Bake-Timmers, A.A. Bake. 1927. Foto: Istimewa
Esai

Catatan Harian Sugi Lanus: Geografika India Dalam Mantra Bali

  PENDETA Bali (juga Hindu Bali dan dunia umumnya) menyebut geografi India dan berbagai sungai dalam mantra-mantra suci, kenapa? Jika ...

February 2, 2018
Esai

Belajar Akuntansi, Tak Sekadar Menghitung “Uang Angin”, juga Belajar Kehidupan

Bagi kalangan umum,  akuntansi itu identik dengan uang, keuangan, atau Inggris-nya money, atau Arab-nya fulus. Bahkan ada yang agak ngejek-ngejek ...

March 12, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jukut paku di rumah Pan Rista di Desa Manikyang, Selemadeg, Tabanan
Khas

Jukut Paku, Dari Tepi Sungai ke Pasar Kota | Kisah Tengkulak Budiman dari Manikyang

by Made Nurbawa
January 16, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Lukisan di atas kardus. Karya ini diberi judul “Pariwisata Macet Jalan Raya Lancar”.
Esai

Pariwisata Macet, Jalan Raya Lancar

by Doni Sugiarto Wijaya
January 16, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1347) Essay (6) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (2) Khas (308) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (327)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In