BULELENG Festival (Bulfest) 2017 sudah berakhir, 6 Agustus lalu. Sebanyak 76 seniman tradisi, sebelas band lokal, dan tiga artis nasional dilibatkan. Seni tradisi, seni kontemporer, dan seni inovatif atau yang lebih keren disebut seni eksperimental, dipentaskan.
Pemerintah mengklaim Buleleng Festival tahun ini mengalami lompatan kesuksesan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara disebut mencapai 90.675 orang. Transaksi ekonomi disebut mencapai Rp 2,4 miliar.
Dua pendekatan perhitungan sukses ini sebenarnya mirip dengan pendekatan perhitungan sukses kegiatan pasar malam. Selama jumlah pengunjung meningkat, transaksi ekonomi meningkat, bisa dibilang sukses. Apalagi bila meningkat dua kali lipat. Masalah pencapaian target visi-misi, itu urusan nomor sekian bahkan cenderung boleh dilupakan.
Buleleng Festival tahun ini bisa dibilang makin kehilangan bentuk. Nyaris tidak ada kesamaan antara tema yang dipilih dengan konten yang dihadirkan. Bukan hal aneh, karena Buleleng Festival tidak memiliki tim kurator yang memiliki kuasa untuk mengendalikan keselarasan tema dan konten.
Urusan konten ditentukan entah oleh siapa. Selama penonton ramai dan perputaran uang tinggi, konten tak perlu dipedulikan. Urusan tema tak sesuai dengan konten, siapa peduli? Toh pengunjung sudah suka cita dihibur artis ibukota yang dibayar mahal oleh sponsor. Sedangkan seniman lokal sudah cukup puas tampil di Bulfest meski dibayar pas-pasan yang hanya cukup untuk sewa pakaian dan biaya berias.
Pergeseran Bulfest dari visi-misinya sudah dapat dilihat dari tampilan panggung utama. Sound system dan tata cahaya yang digunakan sudah tentu megah. Konon semua itu peralatan baru yang dibeli seharga Rp 1,5 miliar. Di balik tata suara dan tata lampu yang megah, backdrop-nya sungguh menyedihkan.
Backdrop itu sama sekali tak mencerminkan gaya ukiran khas Buleleng. Padahal backdrop dengan gaya ukiran khas Buleleng selalu berusaha dipertahankan sejak Bulfest pertama hingga ketiga. Tahun ini kualitas backdrop mencapai titik nadir. Seorang kawan bahkan menyebut bentuknya tak jauh beda dari candi bentar tapal batas antar dusun.
Belum lagi stand kuliner yang semakin tahun, kian kehilangan bentuk. Sejak awal, stand kuliner didedikasikan bagi kuliner khas Buleleng. Bukan pengusaha kuliner asal Buleleng. Alih-alih menyajikan kuliner khas, justru menyajikan burger dan sosis. Barangkali di era milenial ini, burger dan sosis sudah jadi makanan khas Buleleng.
Tema “The Power of Buleleng” yang dipilih tahun ini, juga patut dikritisi. Kesenian mana yang merepresentasikan tema ini? Dinas Kebudayaan Buleleng mengklaim, tema ini sudah cukup diwakili dengan kehadiran 20 sekaa baleganjur, 10 sekaa ngoncang, dan empat drama modern. Faktanya kekuatan utama kesenian Buleleng bukan di sana.
Kesenian Wayang Wong yang menjadi salah satu kekuatan seni di Buleleng – bahkan meraih penghargaan UNESCO – tahun ini tak ditampilkan. Entah apa alasannya, padahal ini salah satu kesenian yang menunjukkan “power” Buleleng di kancah seni tradisi.
Pertunjukan pamungkas di panggung utama Buleleng Festival juga hanya diisi oleh bintang tamu dari luar. Jauh lebih membanggakan jika band lokal diberi kesempatan mengisi kesenian pamungkas. Penampilan musisi Buleleng yang tergabung dalam Singaraja Music for Unity (Simfony) yang membawakan garapan kolaborasi khusus, tentu sangat layak dinanti dan akan memperkuat capaian tema tahun ini.
Panitia juga tak perlu alergi menampilkan seni tradisi sebagai penampilan pamungkas di panggung utama. Jangan lupa, gong kebyar adalah kekuatan utama seni tradisi di Buleleng. Gong kebyar mebarung tentu layak ditampilkan sebagai hiburan pamungkas.
Bayangkan jika Padepokan Seni Dwi Mekar atau Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya Banjar Paketan, tampil mebarung dengan Sanggar Cudamani atau Sekaa Yowana Gita Samudra Kuta. Mereka kemudian bersaing menampilan gaya kebyar masing-masing. Bali Utara bertahan dengan gaya Gde Manik, Bali Selatan memainkan gaya Wayan Lotring. Tentu jadi hiburan yang fantastis. Kurang “The Power of Buleleng” apa lagi coba?
Dinas Kebudayaan Buleleng juga perlu memperhatikan ketimpangan antara panggung satu dengan panggung lain. Setiap panggung, harus disediakan sound system dan tata cahaya yang memadai. Dari tiga panggung, tata cahaya dan sound system di Wantilan MR. Ketut Pudja (Lebih dikenal dengan nama Sasana Budaya) paling menyedihkan.
Wajib diingat, bahwa sejak awal Bulfest disusun dengan visi: membangkitkan kembali kebanggaan Buleleng sebagai kota warisan sejarah budaya bangsa.
Ada pula enam poin misi yang disusun. Pertama, menggali akar-akar kearifan lokal Buleleng; kedua, melestarikan budaya lokal Buleleng; ketiga, merepresentasikan karakter khas budaya Buleleng; keempat menggali budaya kontemporer yang berakar dan berkarakter; kelima, membina potensi lokal baik budaya tradisi maupun kontemporer; dan terakhir, membangkitkan potensi seni generasi muda. Ingatkan saya, jika visi-misi yang saya tulis ini salah.
Dengan visi-misi yang adiluhung, sudah sepatutnya Buleleng Festival memiliki target-target capaian yang jelas dari tahun ke tahun. Sejauh ini Buleleng Festival sudah sukses menghadirkan keramaian dan menghibur masyarakat Buleleng. Perkara sudah sejauh mana capaian visi-misi, jangan ditanya. Paling penting masyarakat terhibur, bapak juga senang.
Tahun depan, Bulfest konon akan diselenggarakan selama tujuh hari. Sebelum dilaksanakan selama itu, ada baiknya dilakukan evaluasi capaian visi-misi. Kalau indikator keberhasilannya hanya kunjungan dan perputaran ekonomi, ada baiknya Bulfest tidak dilaksanakan 7 hari. Lebih baik dilaksanakan selama 14 hari. Biar seperti pesta rakyat saat HUT Kota dan HUT RI. Toh indikator keberhasilannya tak jauh beda dengan event pasar malam. (T)