KEGIATAN membaca buku atau dengan istilah lain yang lebih mentereng: kegiatan literasi, sepertinya mengalami pertumbuhan yang cukup sulit. Kalau di era tahun 90-an sampai 2000-an awal ketika buku masih merupakan barang mahal dan susah dijangkau, alasan untuk tidak membaca buku, ya tidak mempunyai kemampuan membeli buku. Alasan lainnya, perpustakaan jarang dan jauh, toko buku juga langka terutama di daerah-daerah pinggiran. Alasan yang sempurna untuk menjauhkan diri dari buku dan kegiatan membaca secara umum.
Pada kondisi tersebut, cita-cita luhur mulai bertumbuhan: kalau sudah kerja, sebagian penghasilan akan disisihkan untuk membeli buku. Sebuah cita-cita adi luhung dan terlihat amat menyilaukan menyilaukan mata. Kenyataannya, cita-cita tersebut direalisasikan dengan gemilang.
Banyak buku diadakan setelah menikmati buah kerja berupa penghasilan. Sebuah perpustakaan mini di pojok ruang tamu tampak mungil dan kurang memuaskan. Upaya selanjutnya adalah membuat sebuah ruangan khusus, layaknya kamar suci, yang isinya berbagai macam buku tentang segala pernik kehidupan. Mulai dari sejarah, psikologi, antropologi, adat, hukum, dan lingkungan tertata rapi dan tampak memuaskan mata.
Bahkan beberapa menjadi barang antik yang tidak boleh disentuh sembarangan. Sama rapinya dengan halaman-halaman buku yang sama sekali tidak tersentuh. Bahkan ketika sampah plastik menjadi perhatian khusus dengan berbagai aturannya, sampul pembungkus buku dari plastik belum dilepas setelah belasan tahun.
Alasannya simpel: sibuk mengais rejeki. Alasan ikonik lainnya: tidak ada yang sesuai dengan bidang kerja yang digeluti. Alasan remeh lainnya: tidak membawa faedah. Waduh!
Cerita-cerita langka beberapa orang yang berkeliling dari satu toko buku ke toko buku lainnya untuk membaca beberapa halaman buku yang tidak mampu dibelinya, kemudian dilanjutkan membacanya di toko buku lain, dan begitu seterusnya sampai satu buku tuntas di baca, seolah menjadi mitos yang sangat sulit dipercaya. Jangankan ada upaya membuktikan, dipercaya saja tidak. Bila ada upaya untuk mendengungkan cerita itu lagi, jawaban singkatnya sudah ada: lahir salah jaman. Duh!
Cerita kemudian berlanjut. Saat memasuki kehidupan rumah tangga, alasan mengurus anak, mempersiapkan kehidupan yang lebih layak buat penerus, dan tetek bengek lainnya seolah menjadi alasan yang empuk untuk menjauh dari kegiatan membaca buku.
Tentu kebiasaan yang akan menjadi sarang tiruan yang mudah bagi anak-anak kita di rumah. Buat apa baca buku, toh lingkungan keluarga tidak menunjukkan hal yang demikian. Mungkin itulah yang muncul dalam benak anak-anak di rumah. Sebuah situasi yang membuat kata-kata orang tua kepada anaknya untuk belajar apalagi membaca akan mental dengan mudahnya.
Parahnya, kondisi itu dibarengi dengan upaya untuk menyalahkan situasi. Anak-anak makin susah di atur, perkembangan jaman semakin sulit dibendung, perkembangan teknologi membuat segalanya mudah tanpa usaha, dan terakhir, pemerintah yang tidak bisa mengurus masa depan generasinya. Situasi parah yang berujung pasrah.
Saat jaman semakin mendekatkan kita dengan buku melalui digitalisasi, kenyataannya semakin miris. Persis pertalian keluarga. Saat kita merantau agak jauh, tidak jauh-jauh amat, saat pulang kampung, sesempat-sempatnya kita akan berkunjung ke rumah kakek nenek, paman, atau saudara jauh lainnya.
Saat sudah tinggal di kampung halaman, anggapan akan banyak waktu untuk berkunjung malah membuat intensitas kunjungan semakin jarang. Sama halnya dengan membaca buku, dengan digitalisasi, banyak buku mampu dijangkau dengan mudah. Akan tetapi, anggapan semuanya sudah ada dalam genggaman, kapan saja perlu akan selalu ada, malah membuat waktu terbuang dengan kegiatan lain yang tidak sesuai rencana: mengisi waktu luang dengan membaca buku yang sangat mudah didapat saat ini.
Situasi tampak semakin runyam ketika bantahan-bantahan mulai muncul. Bukankah saat ini semakin banyak orang menghabiskan waktunya untuk membaca, setiap hari dilalui dengan membaca. Serbuah berita media soaial yang semakin marak membuat kegiatan membaca sulit dihindarkan.
Cek saja media sosial, berapa berita yang dalam hitungan detik diteruskan terus menerus sampai viral, bukankah hal itu akan membuat orang semakin banyak menggunakan waktunya untuk membaca. Bahkan setiap orang berlomba-lomba menuliskan statusnya di media sosial untuk dibaca orang lain. Berapa air mata yang mengucur setiap saat, iya, setiap saat, hitungannya bukan lagi hari, tapi detik, ketika membaca status atau berita sedih mengharu biru.
Berapa orang yang kemudian sakit perut menertawakan hal-hal lucu yang berseliweran setiap detiknya, dan berapa orang yang kemudian terpancing amarah setelah membaca sebuah berita. Bantahan-bantahan itu menghunjam dengan telak kemudian terhenyak dengan satu tangkisan: betapa dalamnya kamu membaca sebelum mengunyah, menelan, dan meneruskan sebuah informasi di media sosial?
Ambil saja sebuah contoh kecil, ketika di suatu daerah (lokalan) tersiar kabar pernikahan yang signifikan usianya, misalkan.
Apakah akan terlintas dalam pikiran kita tentang novel Siti Nurbaya? Apakah timbul pertanyaan, si mempelai manula berupaya sedemikian rupa layaknya Datuk Maringgih untuk mendapatkan gadis impiannya? Ataukah si gadis belia nantinya akan mati dan dikuburkan bersebelahan dengan pemuda impiannya? Jawabannya, sepertinya tidak.
Sebab kesimpulan akhir yang kemudian berpendar cukup singkat: begitulah cara memandang dan memanfaatkan uang di jaman sekarang. Keduanya beruntung! Yang tidak beruntung adalah pembanyanya yang berdecak iri (mungkin).
Lalu, kapan sebenarnya kegiatan membaca buku menjadi sebuah kebutuhan? Jawaban yang tampaknya mudah: tentu saja mahasiswa–mahasiswa yang akan menyelesaikan masa studinya. Setidaknya, beberapa semester akhir atau semester-semester tambahan setelah akhir, mereka akan dipaksa membaca agar tugas akhirnya tuntas dengan gemilang.
Semoga. Akan tetapi, walau sangat-sangat sedikit, ada juga yang mengakhiri masa kuliah di saat-saat paksaan membaca itu tiba.
Ah! Ini adalah catatan untuk diri sendiri, yang lain mohon jangan merasa disentuh. [T]
Penulis: Wayan Paing
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: