PENJELASAN serta uraian yang penulis paparkan di beberapa tulisan terdahulu cukup untuk menarik beberapa kesimpulan bahwa sebenarnya di kesukuan Baduy memang telah lama terjadi dinamisasi di berbagai aspek kehidupan dalam bentuk pergeseran-pergeseran nilai, perubahan-perubahan pola dan tingkah laku serta pengadopsian perilaku modern yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat sekitar (tidak tepat disebut modernisasi).
Penulis tidak melihat bahwa pergeseran, perubahan maupun pengadopsian pola dan nilai-nilai budaya modern pada kehidupan mereka adalah sebuah kesalahan atau kerugian bahkan pembangkangan terhadap pikukuh karuhun mereka sendiri, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh dorongan azas pemenuhan kebutuhan hidup mereka dan situasi serta kondisi riil bahwa: “Pergeseran dan perubahan itu mesti dan harus terjadi di kesukuan mereka dan pembuktian bahwa hukum adat di kesukuan Baduy sesungguhnya bersifat elastis dan memiliki kekenyalan (fleksibilitas).“
Mereka sangat menyadari bahwa tidak mungkin terus bertahan dalam pola kaku dan baku dalam kesederhanaan ala aturan adat. Mereka juga amat menyadari bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Baduy tidak mungkin terpenuhi hanya mengandalkan hasil bumi dari tanah ulayat mereka yang luasnya sangat terbatas, dan mereka tidak bisa hidup dalam kesendirian di tanah leluhurnya.
Mereka adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan manusia lainnya, mereka harus berinteraksi dan menyeimbangkan dengan kehidupan luar sesuai dengan tugas khusus kesukuan mereka “Ngasuh Ratu Nganyayak Menak”. Ramuan kesadaran inilah yang menjadikan mereka mencoba melakukan pergeseran, perubahan dan pengadopsian berbagai pola dan nilai budaya luar kepada kehidupan mereka dengan azas selektivitas agar tetap berkesinambungan dan diupayakan secermat mungkin untuk tidak terlalu bertabrakan dengan budaya dan aturan adat mereka.
Para tokoh adat Baduy sejak lama juga telah banyak berfikir bahwa kesukuan Baduy akan mengalami dan melintasi situasi zaman yang serba sulit. Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan (pola : AGHT) dari berbagai pihak serta berbagai situasi yang datang dari dalam dan dari luar bukan sedikit. Kesadaran bahwa keteguhan mereka pada tatanan hukum adat dan pikukuh karuhun akan mengalami ujian sangat berat ketika dihadapkan pada pilihan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup sudah muncul sejak setengah abad yang lalu.
Mereka paham ada resiko yang harus ditanggung ketika mereka memilih sikap menolak secara terus menerus terhadap kemajuan-kemajuan yang terjadi di sekitar mereka dan risiko ketika mereka menerima kemajuan tersebut yang suka tidak suka akan merubah pola tatanan dan nilai-nilai kearifan budaya lokal mereka. Kedua risiko baik dan buruk ternyata harus berani mereka lalui, mereka menyadari tidak bisa diam dan bertahan karena waktu dan putaran zaman terus berjalan.
Seleksi dan kalkulasi-kalkulasi terhadap berbagai pola hidup modern dan tatanan nilai budaya luar yang akan diadopsi ke dalam kehidupan mereka terus dilakukan secara hati-hati penuh kewaspadaan dan berkesinambungan oleh para tokoh adat, baik di Baduy Luar maupun Baduy Dalam serta warga yang sudah melek terhadap perubahan kemajuan di dunia luar Baduy.
Mereka paham serta sadar betul bahwa pengadopsian yang mereka lakukan akan memberi dampak yang tidak sedikit terhadap perubahan pola hidup dan kebiasaan mereka. Tatanan adat sedikit demi sedikit tapi pasti akan mengalami pergeseran-pergeseran. Oleh karenanya ketika mereka mengadopsi bentuk sikap atau perilaku dari luar akan disesuaikan dengan celah hukum adat yang berlaku.
Mereka menghindari mengadopsi pola dan tatanan nilai budaya luar atau program-program yang disodorkan pemerintah atau pihak lain yang bertentangan sekali dengan pikukuh karuhun pokok atau utama misalnya merubah kontur tanah ulayat dengan pembangunan modern, Baduy Dalam tetap tiga kampung, tidak menerima perkawinan dengan orang luar Baduy, tetap hanya berkeyakinan Slam Sunda Wiwitan, dan berbagai Tugas Kesukuan mereka. Mereka lebih welcome atau menerima bentuk pembaharuan di bidang yang erat sekali dengan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran.
Mereka menyadari bahwa meniru sebagian atau seutuhnya pola hidup modern ke dalam kehidupan keadatan mereka adalah merupakan tindakan yang keluar dari norma pikukuh adat (melanggar adat), akan tetapi mereka juga sadar jika tidak dengan melanggar ( baca: bahasa radikalnya) atau tidak dengan menggeser kekakuan hukum adat maka sulit bagi mereka untuk menyeimbangkan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Para tokoh adat pun memahami dilema itu sehingga muncul berbagai toleransidan dispensasi serta keluwesan dalam penegakan dan penerapan hukum adat (asas fleksibilitas) baik di Baduy Dalam telebih di lingkungan Baduy Luar.
Jaro Sami sebagai Jaro Tangtu Cibeo memberikan penjelasan yang cukup bijaksana (27 April 2017) dan ditegaskan kembali pada saat mau ikut Seba Baduy 2025 setelah beliau menjadi mantan Jaro Tangtu Cibeo : “Ari hukum adat Baduy mah moal rosa teuing robahna sabab ku kami oge pasti terus dipertahankeun, ngeun pasti aya nu robah nyaeta ahklaq atawa mental manusia na, jeung aya perobahan anu aya kaitanana jeung kamakmuran“ Artinya: hukum adat Baduy tidak akan banyak perubahan sebab oleh kami juga terus dipertahankan, cuma pasti ada yang berubah yaitu akhlaq dan mental manusianya, dan ada perubahan yang berkaitan dengan kemakmuran.
Kejelian, Kecerdasan, Kearifan dan Kebijakan Para Tokoh Adat.
“Peran ganda“ sebagai tokoh adat tanpa mereka sadari sering dilakukan demi memecahkan kebuntuan ketika dihadapkan pada masalah pemenuhan tuntutan kebutuhan yang mendesak dan terbentur dengan larangan hukum adat. Peran ganda yang melekat pada tokoh adat Baduy adalah pertama sebagai pemimpin penegakan hukum adat dan pada saat yang bersamaan juga diposisikan sebagai penolong bagi yang kesusahan (baca : sebagai tokoh spiritual yang bertugas mendoakan).
Secara teori keilmuan tidak menutup kemungkinan ketika tokoh adat terbiasa menjalankan peran ganda tanpa disadari muncul dan bergeser pula pada karakter “Moral Ganda “ sebagai efek sosial dari teori Habitasi (pembiasaan diri). Dengan posisi gandanya maka tokoh adat sangat memiliki peran strategis dan berpengaruh sangat besar terhadap terciptanya berbagai perubahan-perubahan perilaku masyarakat, pergeseran-pergeseran nilai serta pengadopsian gaya hidup modern yang terjadi di suku Baduy saat ini, terutama sekali peran strategisnya Jaro Pamarentah sebagai mandataris lembaga adat “Tangtu Tilu Jaro Tujuh” yang sekaligus sebagai jembatan antara adat dengan Negara.
Contoh penguat, kecil tapi menarik untuk sama-sama kita cermati adalah: “Ada calon-calon (Caleg dan Capim) datang dan minta doa restu ke tokoh adat Baduy Luar dan Baduy Dalam agar menang dalam pemilihan sambil kegiatan sosial dan acara pemberian kepedulian lainnya. Sehingga ganjil sekali kalau yang didoakan Baduy tidak didukung atau dipilih oleh Baduy sendiri. Sementara tugas pokok tokoh adat lebih pada mendoakan bukan ke suksesi pencoblosan. Jelas di sini ada benturan kepentingan yang memaksa pada munculnya peran ganda dan moral ganda tersebut pada sosok ketokohan mereka ”.
Penulis berprasangka mungkin contoh situasi kecil di atas adalah bagian awal yang tak terpisahkan bahwa di kesukuan Baduy juga telah dan sedang menggeliat atau membudayakan apa yang disebut moneterisasi yang berlanjut pada money oriented yang bila tidak terkendali bisa menjurus pada situasi komersialisasi.
Melihat tantangan zaman yang begitu kuat maka kualitas dan kapasitas berpikir, potensi dan kompetensi (kecerdasan) serta luasnya pengalaman dan komunikasi yang baik menjadi penting dimiliki oleh seorang Jaro Pamarentah, posisi Jaro ini adalah penerjemaah keputusan keputusan adat yang harus disampaikan ke dunia luar juga sebagai pen-secrenning atau pintu gerbang utama penyeleksi terhadap berbagai ajuan atau sodoran program pemerintah yang diperuntukan suku Baduy.
Jika terjadi penafsiran yang keliru atau penyeleksian yang salah atau ada unsur bermain maka dampak dari kebijakan dan keputusannya sungguh luas terhadap keajegan kesukuan mereka. Maju mundurnya suku Baduy, bertahan atau hancurnya peradaban suku Baduy, dan sejahtera atau sengsaranya masa depan suku Baduy 75 % amat sangat ditentukan oleh tingkat kejelian, kecerdasan, kearifan dan kebijakan para tokoh adat dalam membuka ruang pergeseran, perubahan dan mengadopsi perilaku modern tersebut.
Dalam catatan kesejarahan mereka sejak pertama kali dibentuk atau berdirinya Jaro Pamarentah di suku Baduy posisi ka-jaroan sudah dijabat oleh hampir 20 orang, mulai dari Juragan Tarpi dari Tangtu Cibeo yang menjadi Jaro Pamarentah pertama sampai pada Jaro Saija yang baru dilantik secara adat pada tanggal 16 April 2015, kejadian pergeseran dan perubahan yang spektakuler terjadi semasa kepemimpinan Jaro Dainah (1996-2015), pengadopsian pola perilaku serta tatanan kehidupan berbau modern bermunculan menjadi warna dan situasi tersendiri.
Dinamika masyarakat Baduy yang mencengangkan serta kemajuan-kemajuan di berbagai aspek makin tumbuh dan berkembang pada masa kepemimpinan beliau. Mendapat penghargaan Kalpataru dari presiden RI tanggal 5 Juni 2004 merupakan contoh spektakuler karya nyata kepemimpinannya. Beliau adalah salah satu yang penulis sebut sebagai agent of change dari dalam etnis Baduy. Beliau berani mengambil sikap dan keputusan penuh resiko yang terkadang beseberangan dengan peraturan pemerintah juga hukum adat demi melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kesejehteraan warganya.
Kiprah pembaharuan Jaro Dainah selama 3 periode (19 tahun) menjabat Jaro Pamarentah dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah cukup banyak dirasakan oleh warga suku Baduy. Beberapa kebijakan dan keputusan Jaro Dainah yang bersifat membuka diri antara lain : berkat gaya jemput bola dan aktif menjalin kerjasama hukum dengan pihak kepolisian dapat menuntaskan 17 titik sengketa tanah; dibukanya program Wisata Budaya Baduy telah pula mengubah pranata sosial yang mampu menumbuhkan perkembangan ekonomi warga Baduy (baca: dalam satu aspek); memperjuangkan Perda Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy; membuat Perdes Desa Kanekes.
Kemudian mengarahkan program administrasi desa berbasis Komputer, membuka diri secara luas berbagai kegiatan adat untuk dipublikasikan ke dunia luar, mengumumkan secara resmi suku Baduy menerima pelayanan kesehatan modern, menerima berbagai program pemerintah dan lembaga lain yang menunjang terhadap peningkatan sumber daya manusia ( SDM) dan kesejahteraan masyarakat.
Melonggarkan masyarakat dalam memiliki alat teknologi dan pendidikan nonformal serta membuka diri dan ikut serta dalam perilaku politik baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada sebagai bukti menghormati kegiatan kenegaraan (partisipasi kenegaraan) dan kiprah-kiprah lainnya. Dan yang tak kalah penting dari seorang Jaro Dainah adalah selalu ikut membantu program pemerintah dengan slogan “Baduy Cinta Damai anti kekerasan dan Anti Narkoba juga Anti Poligami “
Tentunya kiprah-kiprah di atas yang dilakukan oleh jaro Dainah tidak mutlak merupakan gagasan atau pemikiran beliau sendiri. Kebijakan dan keputusan itu merupakan keputusan kolektif kolegial dari tokoh dan warga yang sama sama memahami dan membutuhkan perubahan tersebut. Terbukti dengan mendapat tanda kehormatan “Satyalancana Pembangunan“ yang diberikan Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 November 2014 dan piagam penghargaan dari KPU pusat sebagai “Mitra Strategis Pemilu “ 17 Desember 2014.
Pro dan kontra sudah umum terjadi dimana pun termasuk di suku Baduy, dampak positif dan dampak negatif selalu menyertai tindakan atau kegiatan apa pun, maka apa pun yang mereka pilih dan lakukan merupakan hak prerogatif mereka. Termasuk kiprah pak Jaro Dainah sebagai “motoris perubahan” pasti ada yang setuju dan ada yang menentang. Apa pun itu marilah kita saksikan sesuai dengan perjalanan waktu. Jadilah kita penonton jujur dan setia yang tidak memihak tetapi receive dan kritis terhadap kejadian.
Dalam beberapa kasus atau situasi tertentu cukup membuktikan bahwa penggeseran dan pengadopsian pola dan nilai budaya modern yang mereka pilih justru sangat memberi nilai kebermanfaatan yang signifikan bagi kehidupan mereka, terutama dalam peningkatan kesejahteraan dan peningkatan derajat kesehatan hidup mereka. Keberanian mengubah paradigma dari menolak menjadi menjemput bola atau menerima pada aspek tertentu telah pula meningkatkan sebagian besar sumber daya manusia (SDM) mereka menjadi berkualitas setara saudaranya yang berada di luar mereka.
Kini mereka menjadi melek membaca, menulis dan menghitung, perilaku berkomputerisasi pun sudah mereka jalani, bahkan sudah banyak dari warga mereka bersertifikat pendidikan walau dalam bentuk sertifikat paket kesetaraan. Geliat perokonomian di tanah ulayat mereka sudah tumbuh dan berkembang dengan munculnya lebih dari 500 penenun dan kelompok pengrajin serta dibukanya rumah menjadi warung tempat berdagang.
Keberanian mereka melanggar sebagian hukum adat bukan berarti mereka ingin mengahancurkan dan meningggalkan apalagi merusak tatanan adat, tapi justru mereka ingin segera membentengi suku mereka dari pengaruh yang lebih buruk lagi. Mereka paham tanpa ilmu pengetahuan dan keterampilan serta tanpa kesejahteraan juga kerjasama dengan semua pihak tidak mungkin mereka bisa mempertahankan kesukuan mereka.
Kini, masa depan suku Baduy ada di tangan pemangku adat yang baru dari generasi muda mereka yang sudah berada dan merasakan hidup di zaman modern. Jaro Pamarentah yang baru yaitu Jaro Oom, kemudian Jaro Tangtu Alis sebagai Jaro Tangtu Cikeusik, dan Jaro Kasip sebagai JaroTangtu pengganti di Baduy Dalam Cibeo serta para Jaro Tujuh dan kokolotan Baduy. Apakah akan terus membiarkan pengadopsian dan penerapan berbagai pola hidup dan tata nilai-nilai kemodernan yang secara dinamis akan dibiarkan berjalan atau mulai ditertibkan dan dikembalikan ke pola hidup keadatan mereka? Hal ini akan menjadi taruhan atas kebijakan-kebijakan pemipin adat yang baru tersebut. [T]
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA