CERITA maupun kabar tentang kampus di kaki Gunung Slamet, Purwokerto, Jawa Tengah, yang angker dan menyeramkan bukan rahasia lagi. Semua dosen, pegawai, dan mahasiswa pernah mendengarnya. Hampir semua ruangan di kampus menyimpan misteri.
Begitu pula yang didengar Mita Setiani. Dosen cantik ini kerap mendengar suasana kampus yang menimbulkan bulu kuduk berdiri. Awalnya ia tak mempercayai itu. Meski saat kecil di daerah asalnya Tasikmalaya juga sering mendengar cerita tentang hantu yang bergentayangan di kampung.
Sampai saat ini Mita Setiani belum pernah mengalami kejadian aneh saat berada di kampus. Mungkin karena dia tidak punya bakat untuk melihat hantu. Konon, hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kepekaan untuk dapat melihat mahluk tak kasat mata.
Suasana seram memang ia rasakan ketika melewati sungai kecil di dalam kampus, saat gerimis sore hari dan ia harus mengajar di ruangan yang bersebelahan dengan pohon besar. Kadang ia juga merasakan aura yang kurang enak ketika berjalan di halaman belakang kampus. Namun sekali pun ia tak pernah berjumpa dengan makhluk halus di kampus.
Sudah pasti ia tidak ingin mengalami hal-hal magis yang pernah dirasakan oleh dosen-dosen seperti Pak Kusmedi, Aldo Nugroho, Wisnawan Wijaya, Ibu Dewi Pangesti, Elisabeth Nunce, Asifa Furoda, maupun Ayik Rosita. Mereka semua pernah menjumpai hal-hal yang misterius dan menyeramkan di kampus.
Apalagi Mita Setiani untuk semester ini banyak mengampu mata kuliah, mulai dari semester pertama hingga semester tujuh. Jadwalnya sangat padat. Mulai dari jadwal mengajar pagi sampai malam. Ruangan kuliahnya pun berganti-ganti. Karenanya ia berharap tidak menjumpai hal aneh di kampus, sehingga ia bisa fokus mengajar.
Pagi ini Mita mengajar mata kuliah Komunikasi Digital di ruang 7. Dua hal membuat Mita semangat mengajar. Pertama, mata kuliah ini sangat kekinian. Banyak isu menarik yang dapat dikaitkan dengan Komunikasi Digital. Kedua, ruang 7 merupakan kelas yang sangat nyaman untuk kuliah. Disain ruangan sangat artistik, fasilitas lengkap, seperti meja kursi baru, AC, dan smart TV.
Di mata mahasiswa, Mita dikenal sebagai dosen yang ramah, gaya bicaranya menarik; apalagi diwarnai dengan logat Sunda. Mita selalu mengajarkan kepada mahasiswa untuk selalu optimis dalam melakukan sesuatu. Apalagi di era digital ini, banyak tantangan yang akan dihadapi dalam kehidupan. Bagi mahasiswa, Mita Setiani adalah motivator yang tak henti memompa semangat untuk meraih cita-cita.
***
Pertemuan pagi ini membahas tentang efek digitalisasi pada generasi Alpha dan Beta nantinya. Saat tengah asyik menayangkan materi kuliah, tiba-tiba telepon genggam Mita berdering. Mita minta izin kepada mahasiswa untuk keluar ruangan menerima telepon. Dalam kontrak kuliah di awal pertemuan Mita memang mengizinkan siapa pun untuk menerima telepon, tetapi harus di luar kelas.
Dilihatnya nomor telepon di layar ponsel Mita. Tidak ada nama dalam daftar kontak telepon Mita. Awalnya Mita malas untuk menerima telepon itu. Biasanya itu telepon dari bank atau sales yang menawarkan produknya. Tapi kali ini Mita mencoba terima telepon itu.
“Hallo… halloo.. hallo..”.
Berkali-kali Mita mengucapkan kata hallo, namun tak ada suara yang menyahut. Hanya terdengar seperti desir angin yang lewat. Mita kembali mengucapkan hallo. Siapa tahu ada gangguan jaringan telepon. Namun tetap saja tidak ada jawaban. Mita pun menghentikan panggilan masuk itu.
Sementara itu, di dalam kelas terjadi keanehan yang menegangkan. Tayangan slide materi kuliah di layar monitor tiba-tiba bergerak dan berubah sendiri. Bukan pokok bahasan tentang komunikasi digital yang muncul di monitor, tetapi gambar perempuan cantik berwajah none Belanda. Kulitnya putih, rambutnya pirang.
Semua mahasiswa terkejut. Begitu pun dengan Mita yang kembali ke dalam kelas. Dilihatnya slide materi kuliah berubah sendiri. Siapakah yang menggerakkan tayangan materi kuliah dari laptopnya? Apakah ada makhluk tak kasat mata yang memainkan laptop? Namun ketika Mita melihat monitor laptopnya, gambar perempuan itu tidak muncul. Yang ada materi kuliah. Pikiran Mita jadi mengarah pada obrolan dosen-dosen tentang hantu di kampus.
Mita dan mahasiswa bukan hanya terkejut. Mereka juga dicengkeram ketakutan. Gambar none Belanda yang ada di layar monitor mendadak bergerak. Perempuan pirang itu tersenyum dan melambaikan tangan kepada peserta kuliah. Namun sorot matanya tampak sayu, tidak seperi layaknya manusia biasa. Mita merinding. Bahkan ada mahasiswi yang berteriak histeris karena ketakutan.
Mita segera mencabut kabel layar monitor. Ia juga mematikan laptopnya. Gambar perempuan bule Belanda itu hilang dari pandangan. Namun suasana perkuliahan masih menegangkan. Mita mencoba menenangkan mahasiswa. Padahal dirinya sendiri diliputi ketakutan luar biasa. Baru pertama kali Mita mengalami hal misterius dalam perkuliahan.
Ternyata betul kata banyak orang. Kampus tempatnya mengajar memang angker. Bagaimana mungkin ada dosen tak kasat mata yang mengubah dan menggerakkan slide materi kuliah. Apalagi yang muncul bukan pokok bahasan materi kuliah, tetapi perempuan dengan dandanan bule Belanda di masa lalu.
Kuliah pun dilanjutkan kembali. Baru sepuluh menit kuliah berjalan, telepon genggam Mita kembali berdering. Kali ini dengan nomer yang berbeda, tetapi masih dengan kode+62. Artinya itu telepon dari wilayah Indonesia. Mita enggan untuk mengangkat; tetapi kembali berdering. Siapa tahu nomer dari rekan kerjanya di Jakarta yang belum disimpan. Ia pun segera mengangkatnya.
Mita terkaget bukan kepalang. Terdengar suara perempuan tertawa. Nada tawanya aneh. Tak pernah Mita mendengar suara tawa itu. Tidak ada teman maupun saudara Mita yang tertawa seperti itu. “Apakah itu suara perempuan Belanda yang tadi muncul di slide materi kuliah?” pikirnya. Ia pun mematikan telepon genggamnya.
Belum habis kekagetannya, terdengar suara riuh di kelas. Slide di monitor kembali berubah dari materi kuliah yang sedang ditayangkan. Kali ini bukan sosok perempuan yang muncul, tetapi gambar kerkhof atau kuburan Belanda di masa lalu. Mahasiswa dicekam ketakutan. Tak ingin suasana kuliah diteror hantu Belanda, Mita segera mematikan kembali laptopnya dan mengakhiri perkuliahan.
***
Peristiwa di ruang 7 bukan hanya terjadi sekali. Saat Mita mengajar mata kuliah lain, teror serupa kembali terjadi. Kuliah Dasar-Dasar Kehumasan baru berjalan 30 menit. Mita baru menayangkan beberapa slide materi kuliah. Telepon genggam Mita berdering. Ia ragu antara mematikan atau mengangkat telepon itu. Dengan perasaan berdebar, ia angkat telepon itu di luar kelas.
Bukan suara desiran angin, bukan pula suara perempuan. Sekarang yang terdengar suara anak-anak yang sedang bermain. Dari logat bicara yang Mita dengar, sepertinya bukan logat bahasa Indonesia maupun bahasa daerah di Indonesia. Mita menduga itu suara anak-anak dengan logat bahasa Belanda. Tidak mau dilanda kengerian, Mita mematikan telepon itu.
Suara gaduh terjadi di kelas. Mita segera masuk. Seperti pada kuliah sebelumnya, slide di monitor berubah sendiri. Power point tentang materi kehumasan berubah seolah ada dosen yang menggesernya. Kali ini tampak gambar anak-anak bule sedang bermain. Yang membuat mengerikan, gambar itu bergerak seperti film. Anak-anak berambut pirang sedang bermain-main di kuburan Belanda.
Mita tak habis pikir, mengapa ia selalu menjadi incaran makhluk halus dari Belanda itu. Ia tanyakan kepada dosen lain, apakah pernah mengalami kejadian aneh di ruang 7. Semua mengatakan tidak pernah. Semua dosen bilang ruang 7 tempat yang sejuk untuk kuliah. Tetapi mengapa Mita berkali-kali mengalami kejadian menyeramkan?
Mita mencoba menghubungi tantenya di Tasikmalaya. Tante Mita dikenal sebagai paraji atau dukun yang membantu proses persalinan secara adat di Sunda. Biasanya paraji diwariskan secara turun-temurun dan memiliki kemampuan supranatural. Mita menceritakan apa yang ia alami di kampus setiap kali mengajar di ruang 7. Padahal dosen-dosen lain tak pernah mendapat gangguan di ruang itu. Mendengar cerita Mita, tantenya tertawa.
“Ya pantas saja kamu diganggu. Itu hantu-hantu orang Belanda zaman dahulu ketika masa penjajahan,” kata tantenya.
“Tapi kenapa mereka muncul di ruang 7?” tanya Mita.
“Dulu ruang 7 itu adalah bekas kuburan orang Belanda,” jawab tantenya membuat Mita merinding.
“Kenapa hanya saya yang diganggu?” tanya Mita lagi. Tantenya lagi-lagi tertawa.
“Apa kamu nggak ingat? Kakek buyut Mita kan ada yang menikah dengan none Belanda,” terang tantenya.
Mita tertegun. Ia baru sadar bahwa kakek buyutnya ada yang beristri orang Belanda. Jadi ia masih ada garis keturunan Belanda. Tetapi apa hanya karena itu ia diganggu dalam perkuliahan?
“Bagaimana caranya agar saya tidak diganggu terus saat kuliah,” tanya Mita penasaran.
“Coba saja, setiap kuliah kamu bawa coklat. Taruh coklat itu di sudut ruang kuliah. Itu bukan sesaji. Bukan juga untuk mengusir roh halus orang Belanda itu. Coklat itu sebagai tanda kasih sayang kamu kepada mereka, sehingga mereka tidak mengganggumu,” jawab tantenya.
Mita terdiam sejenak. Ia tak ingin menyanggah apa yang dikatakan tantenya. Tidak juga ingin bertanya lagi. Meski Mita tak habis pikir, apa hubungan antara coklat dengan roh halus orang Belanda. Baginya yang penting adalah kuliah dengan tenang.
Mita menurut apa yang dikatakan tantenya. Saat kuliah berikutnya Mita membawa dua potong coklat yang ia beli di minimarket. Ditaruhnya coklat itu di sudut ruang kuliah. Benar kata tantenya. Sepanjang perkuliahan tidak ada dering di telepon genggamnya. Juga tidak ada gangguan pada slide materi kuliah di monitor.
Suasana perkuliahan berjalan dengan lancar dan tenang. Tak ada lagi ketakutan mahasiswa selama kuliah. Mita juga merasa lega. Meskipun setiap kuliah ia harus membawa coklat. Harapannya, semester depan dia tidak mengajar di ruang 7 lagi. [T]
- Ini adalah cerita fiksi misteri bersambung. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa hanyalah kebetulan dan rekaan penulis semata
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole