PEMBACA yang budiman, saat ini, TikTok adalah raja tanpa tandingan di dunia persilatan media sosial. Algoritmanya yang cerdas dan kontennya yang serba cepat menjadikannya magnet bagi generasi muda kita. Dari banyak ulasan dan analisa para pemerhati, memang TikTok ini agak mengkhawatirkan.
Nah, ini ada kabar yang meski agak mengherankan, namun bagaimana pun tetap menggembirakan. Jadi baru-baru ini muncul gagasan baru bernama WikiTok, yang dalam bayangan idealnya ingin menjadi alternatif yang lebih sehat, lebih berisi, dan lebih berpihak pada edukasi.
Asyik juga sebenarnya. Boleh kita bertanya-tanya, apakah WikiTok ini nanti, benar-benar bisa menjadi harapan baru? Atau justru ia akan berakhir sebagai proyek utopis yang gagal memahami realitas generasi digital?
Kenikmatan Instan TikTok, Ketergantungan Tak Terbantahkan
Fenomena medsos TikTok ini hebat. Platfom ini sukses karena ia memahami psikologi manusia lebih baik dari kita sendiri. Dengan video pendek yang terus diproduksi dan dikonsumsi tanpa henti, TikTok menciptakan dopamine loop yaitu sebuah mekanisme otak yang membuat kita terus ingin “sedikit lagi”. Begitu terus tak henti-henti.
Akibatnya, pengguna fanatik TikTok terjebak dalam konsumsi pasif, menikmati aliran informasi yangn diberikan tanpa benar-benar berpikir, atau memang tidak punya kesempatan berpikir. TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan; ia adalah mesin manipulasi pikiran dan penggerus waktu yang sangat efektif.
Kaitannya dengan ini yang perlu kita perhatikan adalah pendapat Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows (2010). Dia pernah memperingatkan bahwa internet, dengan cara kerjanya yang serba cepat, bisa menurunkan kemampuan kita untuk berpikir mendalam. Sama saja dengan membuat kita berpikir dangkal.
Nah, TikTok adalah puncak dari fenomena ini. Dengan rentang perhatian yang semakin pendek, generasi muda lebih tertarik pada hal yang instan, ringan, dan menghibur, dibanding sesuatu yang memerlukan usaha kognitif lebih besar. Dalam konteks ini, gagasan tentang WikiTok yang lebih edukatif, kok rasa-rasanya terdengar seperti mimpi yang terlalu muluk.
WikiTok: Bisakah Kita Menyulap Edukasi Jadi Menarik?
Gagasan WikiTok ini memang berangkat dari keresahan bahwa media sosial saat ini lebih banyak merugikan akal sehat ketimbang membantunya berkembang. Jika menengok Wikipedia adalah ensiklopedia daring berbasis teks, maka WikiTok ingin menjadi media sosial berbasis video pendek yang informatif dan berbobot. Gagasan yang cukup mulia saya rasa. Masalahnya, apakah ini bisa menarik bagi anak muda yang sudah terbiasa dengan kepuasan instan ala TikTok?
Secara filosofis, proyek semacam WikiTok sejalan dengan pemikiran filsuf seperti Paulo Freire. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), Freire berpendapat bahwa pendidikan seharusnya membebaskan manusia, bukan sekadar mengisi kepala mereka dengan informasi pasif. Tapi mari kita bermain jujur-jujuran saja, bagaimana cara kita menyajikan “pembebasan intelektual” dalam format yang cukup menggoda agar anak-anak muda rela meninggalkan TikTok? Susah loh, itu.
Bagi para pendidik dan pemerhati pendidikan, pastilah menghela nafas. Kita kembali lagi menghadapi dilema klasik, apakah kita harus membuat edukasi jadi lebih “menghibur”, ataukah kita mengharapkan generasi muda secara ajaib menyukai sesuatu yang lebih serius?
Nah, itulah mengapa ada kata menyulap di atas. Dalam dunia di mana anak-anak lebih suka menonton video tentang prank dibanding sejarah peradaban manusia, harapan agar mereka berbondong-bondong ke WikiTok berasa seperti bermain judi online yang rasa-rasanya sudah jelas pasti kalah.
Boleh saja lontaran ini dianggap pesimis dan membuat kita merasa bagai menegakkan benang basah. Pesimisme ini bukannya tanpa alasan. Kita kembali ke pemikiran Jean Baudrillard, dalam konsep Simulacra and Simulation (1981), dia berbicara tentang bagaimana masyarakat modern semakin terjebak dalam dunia yang penuh dengan citra semu (hyperreality).
TikTok,celakanya adalah contoh nyata dari ini. Di dalamnya, kehidupan menjadi sekadar estetika, bukan lagi pengalaman nyata. Anak muda tidak hanya mengkonsumsi media sosial, tetapi juga menciptakan realitas baru yang mereka yakini sebagai kebenaran. Wajar jika dalam konteks ini, upaya seperti WikiTok menjadi semakin sulit. Jika anak-anak muda sudah merasa nyaman mengapung dalam dunia hiperrealitas TikTok, mengapa mereka harus pindah ke sesuatu yang lebih membumi dan sarat dengan bobot edukasi?
Peran Orang Tua dan Guru Masihkah Bisa Diharapkan?
Banyak yang mencoba optimis dengan berargumen bahwa peran orang tua dan guru masih bisa menyelamatkan keadaan. Namun, mari kita realistis: banyak orang tua bahkan lebih kecanduan media sosial dibanding anak-anak mereka sendiri. Mereka sendiri banyak yang tak memahami bagaimana algoritma bekerja, apalagi mengajarkan anak-anak mereka cara menggunakan media sosial dengan sehat.
Di sisi lain, sekolah juga belum cukup serius atau sudah serius tapi belum lihai dalam membangun literasi digital. Pendidikan kita masih terpaku pada konsep lama: menghafal, mengerjakan soal, dan mengejar nilai. Padahal, tantangan abad ini adalah bagaimana memahami informasi dengan kritis.
Jika sekolah gagal memberikan alat berpikir kritis kepada siswa, bagaimana mungkin juga mereka bisa membedakan mana konten yang bernilai dan mana yang hanya clikbait? Jadi, apakah orang tua dan guru bisa menjadi benteng pertahanan? Bisa saja. Tapi hanya jika mereka sendiri melek digital dan paham bagaimana media sosial bekerja.
Apa pun itu, jika WikiTok ingin menjadi alternatif yang berhasil, ia harus memahami realitas psikologi generasi muda. Beberapa strategi bisa dilakukan. Yang pertama tentu format yang menarik, bukan sekadar “bermutu”, karena edukasi tidak harus membosankan. Jika WikiTok ingin sukses, ia harus tetap menyajikan informasi dalam format video pendek, tetapi dengan storytelling yang menggugah rasa ingin tahu, bukan sekadar menyodorkan fakta secara kaku.
Selanjutnya adalah gamifikasi dan interaksi sosial. Kita lihat TikTok berhasil karena ia memberikan sensasi keterlibatan yang tinggi. Jika WikiTok ingin menyaingi itu, ia harus menemukan cara agar pengguna tetap merasa terlibat dan dihargai.
Strategi lain adalah kolaborasi dengan influencer, karena suka atau tidak suka, generasi muda lebih mendengar influencer dibanding dosen atau guru. Jika ada figur publik yang bisa menyampaikan edukasi dengan cara yang menarik, itu bisa menjadi jalan masuk bagi WikiTok. Namun catatan pentingnya adalah jika ada.
Yang terakhir tentu saja adalah mengedukasi orang tua dan guru. Titik kuncinya tentu adalah literasi digital. Agar perubahan terjadi, literasi digital harus diajarkan tidak hanya kepada anak-anak, tetapi juga kepada orang tua dan pendidik. Mereka harus memahami bagaimana algoritma bekerja, dengan demikian baru bisa membimbing generasi muda kita dalam menggunakan media sosial secara sehat.
Harapan atau Ilusi?
WikiTok bisa menjadi harapan, tetapi hanya jika ia memakai strategi yang benar-benar bisa bekerja. Jika ia sekadar menjadi “Wikipedia dalam bentuk video pendek” tanpa strategi yang kuat, maka ia hanya akan menjadi proyek gagal yang tidak mampu bersaing dengan TikTok yang menggoda.
Di sisi lain, menyerah bukanlah pilihan. Jelas itu suatu olok-olok bagi nilai kemanusiaan kita. Jika kita tidak mencoba secara kritis dan mandiri melawan dominasi algoritma yang mengeksploitasi kebiasaan dan kecenderungan kita, maka kita hanya akan menjadi generasi yang tenggelam, menjadi bulan-bulanan simulasi tanpa akhir.
WikiTok mungkin bukan jawaban yang sempurna, tetapi setidaknya ia membuka ruang refleksi kita bersama: mungkinkah media sosial berpihak pada akal sehat? Saya yakin jawabannya tergantung pada saya dan Anda, para pembaca yang budiman. Apakah kita hanya puas dan rela menjadi konsumen pasif, atau mau mulai berpikir tentang bagaimana masa depan informasi seharusnya dibentuk. Tabik. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI