APA yang kita definisikan sebagai sebuah kota? Atau, kalau kita ganti pertanyaannya menjadi lebih sederhana, apa yang membuat sebuah kota adalah kota?
Imaji-imaji kita tentang kota diisi dengan keramaian, aktivitas beragam, kendaraan yang lalu diasosiasikan dengan kemacetan. Selain kemacetan, masalah perkotaan yang terbayang adalah juga banjir, angka kriminalitas yang tiggi, kesenjangan ekonomi serta hal lainnya. Meskipun ada banyak persoalan, tetapi tidak bisa kita pungkiri bahwa kota adalah mesin pertumbuhan dunia.
Kota adalah tempat dimana ekonomi berpacu cepat, pendidikan yang baik tersedia, komoditas hasil alam dan industri diperdagangkan, ide-ide diadu satu sama lain dan diwujudkan dalam berbagai bentuk.
Kota membutuhkan heterogenitas penduduk, ide, kondisi sosial dan juga budaya agar terjadi percikan-percikan aktivitas tadi. Segala jenis aktivitas yang memberi nilai positif bagi kemajuan kita sebagai manusia tersebut membutuhkan fasilitas. Untuk menyediakan fasilitas terebut, kita menbutuhkan pemerintahan kota. Pemerintahan kota yang baik akan membuat kota menjadi produktif dan terhindar dari berbagai masalah.
Sebagian besar kota memiliki sejarah panjang berakar pada masa tradisional. Di kawasan Asia Tenggara, ada dua tipe kota tradisional yaitu kota yang lokasinya di pedalaman dan yang ada di daerah pesisir. Keduanya memiliki karakter yang sangat berbeda.
Kota-kota di pedalaman umumnya memiliki sifat relijius dengan wujud fisik pusat kerajaan yang ditata berdasarkan atas asas-asas kosmologis yang dipercaya oleh pemimpin dan rakyatnya. Penduduknya bekerja sebagai petani.
Berlawanan, kota di kawasan pesisir, yang umumnya tumbuh di sekitar pelabuhan, memiliki sifat yang lebih pragmatis. Para penghuninya menata kawasan dengan prinsip-prinsip kepraktisan untuk mendukung sistem ekonomi perdagangan antar pulau yang merupakan aktivitas ekonomi utamanya. Penghuni kota pesisir biasanya sangat heterogen, terdiri atas pedagang dari pulau-pulau berbeda namun memiliki kepentingan yang sama untuk melakukan transaksi. Akibatnya, pasar dan pelabuhan adalah pusat dari segala aktivitas penduduknya. Di masa sebelum adanya bandar udara, kota-kota pelabuhan adalah mesin-mesin pertumbuhan ekonomi wilayah Nusantara.

Gedung-gedung di Putrajaya dengan bagian atas perkantoran atau hotel dan bagian bawahnya fasilitas komersial | Foto: Gede Maha Putra
Saat ini, ada pula kota-kota yang dibangun dari awal, tidak memiliki akar tradisi, dan ditujukan untuk satu fungsi tertentu saja. Salah satunya adalah Kota Putrajaya di Malaysia. Kota ini dibuat sebagai pusat pemerintahan bagi negeri jiran tersebut pada masa pemerintahan Mahathir Muhammad di tahun 1995. Sang Perdana Menteri berfikir bahwa Kuala Lumpur sudah terlalu sesak sehingga berinisiatif untuk memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi yang baru. Jadilah Putrajaya sebagai kota dengan fungsi utama yang homogen, tunggal, yaitu pusat pemerintahan.
Secara fisik, kota ini dibangun dengan perencanaan yang baik. Kondisi lahan yang tidak rata dimanfaatkan sebagai mekanisme penanggulangan banjir. Wilayah-wilayah yang rendah dibiarkan sebagai ruang terbuka sementara bangunan-bangunan ditempatkan di daerah yang lebih tinggi. Secara ekonomi, penataan ini juga menghemat biaya karena tidak dibutuhkan biaya pematangan lahan yang banyak. Strategi serupa juga sebenarnya bisa kita jumpai pada permukiman-permukiman tradisional kita.
Wilayah kota yang luas dibagi menjadi beberapa klaster untuk memudahkan penataan. Klaster-klaster tersebut dibuat mengikuti permukaan lahan sehingga, jika dilihat dari atas, membentuk pola-pola permukiman yang tidak kaku melainkan meliuk-meliuk.
Segala bangunan harus dibuat sesuai dengan perencanaan yang sudah ditetapkan. Perkantoran pemerintah menjadi fasilitas utama karena memang itulah tujuan utamanya. Tidak ada bangunan liar apalagi bedeng-bedeng atau emperan yang bisa membuat citra visual kota menjadi kotor di mata pemerintah.

Taman-taman luas adalah hal lumrah di kota Putrajaya | Foto: Gede Maha Putra
Gedung-gedung perkantoran dibuat menjulang tinggi. Bagian bawah gedung dimanfaatkan sebagai area komersial tempat para pegawainya bisa makan siang, ngopi, membeli kudapan dan lain-lain saat jam istirahat. Fasilitas komersial lain yang ada di lantai bawah setiap gedung adalah supermarket tempat berjualan bahan makanan mentah: daging, sayur mayur dan buah-buahan termasuk berbagai jenis bumbu-bumbu dapur.
Sebelum pulang, para pekerja bisa mampir untuk membeli keperluan dan bahan makanan untuk makan malam. Dengan begitu, seorang pegawai tidak perlu pergi melintas Gedung untuk memenuhi kebutuhan, ini menghemat pergerakan dan penggunaan mobil. Jadilah gedung-gedung mandiri, yang memenuhi segala kebutuhan penghuninya.
Meski demikian, tetap terdapat pusat perbelanjaan atau mall yang menjual keperluan-keperluan lain seperti pakaian, buku, mainan anak dan seterusnya di Gedung yang berbeda.
Sebagai kota baru yang terencana, Putrajaya memikirkan kebutuhan ruang terbuka dengan baik. Berbeda dengan kota lama yang sudah terlanjur sesak, para perencana kota ini memiliki keleluasaan karena asal wilayah ini adalah hutan dan sebagian bekas tambang. Saya membayangkan para perencana berwajah cerah menggoreskan pensilnya di atas kertas kosong. Taman-taman botani luas menjadi elemen lansekap utama bersama dengan hutan-hutan yang masih alami. Di atas taman-taman tersebut disediakan arena bermain anak, camping ground dan sesekali bisa digunakan sebagai tempat penyelenggaraan event besar seperti konser musik, festival kuliner, atau berbagai macam lomba.

Jalur pejalan kaki yang nyaman terpisah tegas dari jalur mobil | Foto: Gede Maha Putra
Selain dalam bentuk taman, ruang terbuka hijau yang lebar juga menjadi elemen jalan yang melindungi pejalan kaki dari panas terik. Selama tiga hari ada di kota ini, saya mencoba berjalan kaki setiap hari menikmati ‚kemewahan‘ lebarnya jalur yang disediakan bagi mereka yang tidak menggunakan kendaraan bermotor ini. Jalur ini juga bisa dipakai oleh pengguna sepeda gayung. Tempat-tempat istirahat disediakan dalam interval tertentu. Tanaman-tanaman yang meneduhi jalur ini beserta rumput yang ada di bawahnya nampaknya dipelihara dengan baik dengan pemotongan secara berkala.
Bukan hanya jalur pejalan kaki dan sepedanya, jalan rayanyapun dibuat lebar. Bundaran-bundaran ditata sebagai alat untuk mengatur arus lalu-lintas sehingga tidak hanya bergantung pada lampu pengatur. “Ini kota yang sangat bagus,“ ujar sopir taksi yang mengantarkan saya dari bandara menuju ke kota.
“Pemerintah kami sudah lama memikirkan hal ini, sejak tahun 1995. Sekarang kita melihat hasilnya,“ ujarnya lagi dengan raut muka bangga saat mobil yang kami tumpangi melaju di atas aspal mulus.
Di dalam hati saya mengamini apa yang diucapkan si Bapak itu. Memanglah tidak ada kendaraan yang parkir sembarangan karena tempat-tempat parkir tersedia luas. Jalanan menjadi terlihat rapi ditambah kerindangan pohon di tepiannya. Tidak ada papan reklame atau videotron yang menyilaukan pengendara. Semua system penanda jalan dibuat seragam, rapi dan kelimis. Bahkan tiang-tiang untuk menempatkan bendera untuk perayaan hari kemerdekaanpun sudah dirancang penempatannya.
Ini kota yang sangat tertib dan terencana. Tidak ada pelanggaran tata ruang di sini.

Suasana kota sepi di siang hari karena semua penduduknya ada di dalam gedung perkantoran | Foto: Gede Maha Putra
Kebersihan kota ini menjadi satu nilai lebih yang patut mendapatkan pujian. Pagi hari, dari luar jendela kamar tempat menginap terdengar suara kendaraan yang menyapu jalanan. Debu-debunyapun tidak banyak karena hampir seluruh permukaan tanah yang tidak diperkeras ditanami rumput. Para pemelihara taman menjadi pahlawan utama atas kebersihan hal ini mengingat banyaknya pohon yang pasti menjatuhkan banyak daun. Daun-daun pohon tersebut kembali ditempatkan di bawah masing-masing pohon agar menjadi kompos.
Kesan awal tentang kota tersebut yang cukup positif perlahan berubah. Di hari kedua saya mulai merasakan kalau kota ini sedikit berbeda dengan jmajinasi kita tentang kota. Ia terlalu sepi. Tidak banyak orang lalu-lalang. Jangan tanyakan pedagang kaki limanya, tidak ada. Saya menduga-duga jika ada hal lain yang menyebabkan tidak banyaknya orang dan aktivitas jalanan yang berlangsung. Tadinya saya berfikir jika penduduknya yang sebagian besar adalah pegawai pemerintah membuat kota ini terlalu homogen adalah penyebabnya. Iya, itu satu penyebab, kota yang terlalu homogen akan kesulitan menciptakan kehidupan yang beragam. Tidak terjadi interaksi dari ide yang berbeda, semua punya pemikiran dan penghidupan yang seragam.
Ada kemungkinan lain yaitu persoalan desain. Ketertiban yang berada di titik terbaiknya disini membuat perilaku masyarakatnya juga terpengaruh.
”Why are you here? This city is so boring!“ Seorang kawan arsitek senior berkata demikian.
“What do you mean?” tanya saya. Rupanya dia tidak menyukai kondisi di mana tidak ada kehidupan malam yang hidup. Tidak ada club hanya restaurant keluarga. Tidak ada yang menjual aneka minuman tetapi teh Tarik dan kopi. Kawan saya itu, yang bukan pegawai pemerintah, tentu saja mengontraskan kondisi kota ini dengan kota yang ada di imajinasinya. Penduduknya sangat tertib.
Ketertiban ini, bisa jadi, juga disebabkan oleh desain gedung yang dirancang efisien dengan fasilitas lengkap sehingga orang enggan berpindah tempat. Begitu keluar dari ruangan tempat kerja, mereka menyelesaiakn segala kebutuhan di lantai dasar lalu pulang ke rumah. Tempat bekerja dan tempat tinggal menjadi dua tempat yang ada penghuninya. Tempat-tempat ketiganya? Taman-tamannya? Bahkan mall-mall nya? Sepi.
Klusterisasi yang rigid, memisahkan tempat kerja dan tempat tinggal, juga menciptakan Kawasan-kawasan heterogen. Kawasan-kawasan perkantoran akan sangat sepi di sore dan malam hari sementara kawasan permukiman memiliki kondisi sebaliknya, sepi di siang hari karena penghuninya bekerja atau bersekolah. Jarak antar klaster yang cukup jauh bisa juga menjadi masalah. Di sini, skala kekompakan kota tidak terjadi. Meskipun penduduk mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya bahkan tanpa berpindah gedung.

Pusat permukiman, ramai di sore hari sehabis jam kerja | Foto: Gede Maha Putra
Saya merasa sedikit terasing saat merayapi jalan setapak lebar yang sepi. Bahkan, selama tiga hari menyusuri jalan-jalan tersebut, cukup jarang dan hampir tidak bertemu orang lain. Barulah di klaster pemukiman ada sedikit kehidupan. Di wilayah ini terdapat kedai-kedai makan dan beberapa toko keperluan sehari-hari. Di sini kehidupan terasa lebih berdenyut. Tetapi, tetap saja rasanya kurang. Mungkin karena imajinasi saya tentang kota sedikit kontras dengan kondisi di Putrajaya ini, sama seperti kawan tadi.
Di Putrajaya memang tidak ada banjir. Angka kriminalitas juga sangat rendah. Jalanan macet hanya sebentar saja, bahkan di akhir pekan, kata sopir taksi yang mengantar saya balik ke bandar udara, jalanan sangat sepi. Banjir tidak mungkin terjadi disini. Tetapi rasanya, entah mengapa, agak hambar di hati. Ini mungkin kota yang secara fisik sangat nyaman, tetapi kadang kota membutuhkan pedagang kaki lima. Penduduknya butuh makan di emperan, atau setidaknya jalanannya yang agak ramai. Keramaian ini adalah tontonan tersendiri di sebuah kota. Tontonan itulah yang tidak saya jumpai di Putrajaya yang tenang. Di Putrajaya, imajinasi kita tentang kota bisa berubah. Kota ternyata bukan hanya soal fisik, tetapi juga rasa, sense dan feeling, juga soal imajinasi. [T] KLIA 27/2/2025
Penulis: Gede Maha Putra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel tentang ARSITEKTUR atau artikel lain dari penulis GEDE MAHA PUTRA