MINGGU Umanis Wuku Menail, 15 Desember 2024, bertepatan dengan Purnama Sasih Kanem, di Gumi Delod Ceking berlangsung upacara Melasti serangkaian Karya Ngenteg Linggih Padudusan Agung Lan Tawur Balik Sumpah Agung di Pura Geger Dalem Pemutih, Banjar Sawangan Desa Adat Peminge. Menurut, Nyoman Chandra Wijaya, salah seorang prajuru Desa Adat Peminge yang merangkap sebagai Patengen Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Kuta Selatan, acara Melasti dipusatkan di Pantai Geger, yang berdampingan dengan Hotel Mulia Nusa Dua.
Sebagai mana hakikat Melasti,di dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala, disebutkan, “Melasti ngarania ngiring prawatek Dewata anganyutaken laraning jagat,papa klesa, letuhing bhuawana”. Artinya, Melasti namanya, untuk menyucikan Pralingga Ida Bhatara. Tujuannya agar umatnya makin bersih suci nirmala sekaligus menghilangkan kotoran dalam diri”. Dengan demikian, Melasti untuk memuliakan hidup sekala-niskala lebih-lebih Melastinya di dekat Hotel Mulia.
Melasti serangkaian Karya Ngenteg Linggih di Pura Geger Dalem Pemutih ini menarik dicermati. Pertama, bertepatan dengan Purnama Kanem ketika upacara mendak hujan di Pura Gunung Payung Desa Adat Kutuh. Desa Adat Kutuh dan Desa Adat Peminge memiliki hubungan manyama braya yang kuat. Bahkan Banjar Sawangan Desa Adat Peminge dulu pernah menggunakan kuburan di Setra Desa Adat Kutuh dengan pertimbangan jarak lebih dekat ketimbang ke Setra Desa Adat Peminge. Maklumlah, tempo dulu akses jalan terbatas, semua terasa serba jauh dan susah.
Kedua, di Desa Adat Kutuh hari itu juga berlangsung upacara Mlaspas Pura Desa setelah renovasi sejak 1,5 tahun silam dengan skema pembiayaan dari Bansos APBD Badung dengan nominal mencapai 9 Milyar lebih. Selama masa renovasi, Sekaa Unen Banjar Pantigiri Desa Adat Kutuh,yang nyungsung Ratu Ayu Manik Sari, malinggih di Pura Pererepan Gunung Payung (Pura Uma Sang Hyang). Begitu upacara Mlaspas, pada Purnama Kanem, 15 Desember 2024, Ida Bhatara mewali ke genah Malinggih ring Gedong Unen Pura Desa Adat Kutuh.
Ketiga, baik Pura Geger Dalem Pemutih maupun Pura Desa Adat Kutuh menggunakan bahan lokal batu alam bukit, menyatu dengan alam secara geografis. Penggunaan bahan batu alam setempat sempat diapresiasi oleh Ir. I Nyoman Glebet (alm.) yang menekuni arsitek Bali dengan pendekatan kearifan lokal. Secara arsitektur, memuliakan kearifan lokal sekaligus menggeliatkan ekonomi sekitar sebagai bagian dari perputaran cakra yadnya.
Setelah Melasti dilanjutkan dengan Puncak Karya di Pura Geger Dalem Pemutih bertepatan dengan Hari Pujawali Panglong apisan (1) sehari setelah Purnama Kanem, 16 Desember 2024. Menurut Dr. I Wayan Repiyasa,S.Pd., M.Pd., salah satu Prajuru Desa Adat Peminge, rangkaian pujawali di Pura Geger Dalem Pemutih berlanjut ke Pura Dalem Penataran pada Panglong 2, Pura Desa dan Pura Puseh pada Panglong 3. Hanya Pura Dalem Kahyangan pujawalinya saat Purnama Kapat. Berbeda dengan desa-desa adat lain di Gumi Delod Ceking, umumnya Pujawali di Kahyangan Desa berbasis pawukon, di Desa Adat Peminge, Pujawali Kahyangan Desanya berbasis Sasih.
Siswa dan guru SMAN 2 Kuta dan SMAN 2 Kuta Selatan melaksanakan persembahyangan bersama serangkaian Karya Ngenteg Linggih di Geger Dalem Pemutih di Gumi Delod Ceking (16/12/2024)
Tetua di Gumi Delod Ceking menyebut Sasih Kalima/Kanem disebut sasih berat karena terjadi peralihan dari Musim Kemarau ke Musim Hujan biasanya ditandai dengan munculnya wabah dalam berbagai variasinya : sasab, gering. Wabah ini bisa menyerang manusia dan hewan ternak. Oleh karena itulah langkah antisipasinya melalui tradisi mamendak umumnya ditranslasikan dengan mendak hujan (upacara menyambut hujan) dan pada konteks kekinian lebih umum disebut Nangluk Mrana biasanya dilaksanakan antara Tilem Kalima sampai Tilem Kanem.
Kembali ke Karya di Pura Geger Dalem Pemutih yang menarik dicatat, sejumlah Sekaa Unen mengikuti prosesi sejak 12 sampai 27 Desember 2024. Sekaa Unen itu antara lain Sekaa Unen Bualu, Sekaa Unen Sawangan, Sekaa Unen Semer Kembar, Sekaa Unen Dalem Tanjung. Selama proses nyejer, dilaksanakan bakti panganyar dan kesempatan Sekaa Unen mapajar ngaturang ayah. Pragina dan penabuh mendapat ruang untuk ngaturang ayah. Pemedek mendapat ruang untuk menonton dan mendapat tuntunan sebelum/setelah sembahyang. Fotografer dan pemburu berita mendapat tempat untuk mengapresiasi dan menulis untuk dibagikan ke khalayak. Semua mendapat ruang. Hal ini mengingatkan kita pada Bali sebagai Negara Teater sebagaimana ditulis oleh antropolog Clifford Geertz. Secara ringkas, disebut, “Kekuasaan melayani kemegahan, bukan kemahiran kekuatan”.
Pandangan Clifford Geertz berlaku di setiap ritual yadnya di Bali yang terbungkus dalam aneka banten, seni, dan budaya dari skala paling kecil sampai paling besar dengan tingkat kompleksitas yang rumit dan memerlukan pemahaman tingkat tinggi. Itulah cara manusia Bali melakukan pendakian tangga spiritual menuju kebenaran, sebagaimana diajarkan Swami Vivekananda. Terkait dengan itulah, Karya Ngenteg Linggih di Pura Geger Dalem Pemutih telah mengajarkan umat-Nya belajar dan berproses sesuai dengan talenta masing-masing untuk selalu berkolaborasi menyukseskna karya yang datangnya sekitar 30 tahun sekali. Dalam prasasti yang terpampang di Madya Mandala Pura, karya sebelumnya dilaksanakan pada 1991, ketika Gubernur Bali dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Oka (33 tahun yang silam).
Ritus 30 tahunan itu identik dengan proses regenerasi yang perlu disiapkan agar terjadi keserasian gerak langkah dan dukungan semua elemen penyangga utama dipandu oleh prajuru berkearifan dengan mengedepankan dharma kawiwekan, bukan dharma kawisesan. Untuk karya pada 2024, prasasti karya akan dilakukan oleh Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta, S.Sos. sekaligus Wakil Gubernur terpilih (2024-2029) pasangan Dr. I Wayan Koster.
Siswa dan guru SMAN 2 Kuta dan SMAN 2 Kuta Selatan melaksanakan persembahyangan bersama serangkaian Karya Ngenteg Linggih di Geger Dalem Pemutih di Gumi Delod Ceking (16/12/2024)
Sebagai Pura Kahyangan Jagat, Pura ini baru selesai direnovasi pada 2024 melalui biaya APBD Kabupaten Badung. Pemda Badung tidak hanya melkukan perbaikan kawasan utama mandala tetapi juga penataan kawasan luar Pura Geger Dalem Pemutih. Sebagai kawasan luar yang tertata rapi, Pantai Geger ini menjadi ikon baru yang representatif sebagai Destinasi Tujuan Wisata (DTW) baru. Vibrasi dari karya Ngenteg Linggih ini diharapkan mampu membawa aura positif bagi pemedek yang tangkil ngaturang sembah pangubakti dan para wisatawan yang menikmati keindahan Pantai Geger untuk berselancar bagi para bule.
Stage yang dibangun di atas tebing di kawasan luar Pura Geger juga dapat dimanfaatkan untuk pagelaran seni budaya sebagai seni balih-balihan untuk tontonan wisatawan. Perlu juga dikembangkan event bulanan misalnya saban Purnama dengan Pentas Cak. Harapan itu disampaikan oleh akademisi Undiksha, I Wayan Suwendra yang berasal dari Desa Adat Peminge. “Kalau Kutuh punya Pantai Pandawa, Ungasan Punya Pantai Melasti, Pecatu punya Kawasan Luar Uluwatu, maka Peminge punya ikon kawasan Luar Pura Geger Dalem Pemutih”.
Kawasan luar Pura Geger Dalem Pemutih dengan Pantai yang bersih nanindah layak menjadi DTW baru dengan dukungan fasilitas yang memadai dan alam laut yang bersih dengan pantai berpasir putih menjadi dambaan para pesurfing. Di laut menikmati indahnya permukaan air berbuih putih, di Pura memaknai hidup dengan penguatan di kedalaman. Menyatunya kesenangan dan ketenangan untuk harmonisasi sepanjang zaman. Rahayu sekala niskala. [T]
- BACA artikel tentangGUMI DELOD CEKING
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT