PENGADUKAN lautan susu, Ksirarnawa oleh para dewa dan raksasa dimaksudkan untuk mendapatkan tirta amrta yang berarti tidak mati atau abadi.
Raka Swari dan Adhi Swara pemilik panggung Ksirarnawa, kembali memainkan lakon pengadukan lautan susu.
Gunung Agung di pakai sebagai pusat adukan. Tak bisa kukenali mana kelompok dewa dan kelompok raksasa, semuanya sama, sama-sama memutar searah jarum jam.
“Hei kalian putar ke kiri, ” teriak Adhi Swara.
“Ya ya harus ada yang mau memutar ke kiri saling bertentangan agar terperas air susunya, baru akan mendapatkan amrta, ” Raka Swara berusaha memberi pengertian.
“Kami harus memutar ke kanan, karena kami orang-orang baik, kami orang-orang suci, ” kata sekelompok orang.
“Kamilah yang memutar ke kanan, kami serupa dewa-dewa bukan raksasa, ” teriak kelompok lain bergemuruh.
Adhi Swara dan Raka Swari saling pandang, lalu keduanya menjadi satu. Membuat goncangan hebat pada Gunung Agung, Hyang Tohlakir.
Orang-orang terkesima, melepas tali-tali yang dipegangnya. Beberapa diantaranya mulai berkonsentrasi, berdoa, mengerahkan segala kekuatannya. Ada yang menjadi besar dan sangat besar, ada yang menjadi tinggi dan sangat tinggi, menjadi manusia bertanduk, ada yang menjadi mahluk bersayap, ada yang tubuhnya menyala, dengan energi petir yang menyambar-nyambar.
“Sebagai wartawan tugasmu mencatat dan memotret”, kurasa suara Raka Swari di hatiku. Dan anehnya, seperangkat kamera dan alat tulis telah ada di tanganku.
Kulihat dengan jelas,kupotret dengan cepat, energi-energi api yang dikeluarkan orang-orang itu. Api-api itu, kecil, besar, sangat besar, warna merah muda jinga, merang tua Semuanya membentuk tali-tali halus sangat halus berwarna merah menyala. Tali-tali itu kita terlihat jelas mengikat Gunung Agung.
“Kau lihat tali-tali merah itu kan, perhatikan dan catat, dari foto-foto itu akan kau belajar mengenali warna dan bentuk energi ” bisik Adhi Swara di telingaku
“Sejak dahulu telah terjadi perebutan gelar “pendeta” utama di Gunung Agung. Menjadi pendeta utama di Gunung Agung seolah-olah menjadi orang yang paling suci di Bali, sehingga sering diperebutkan dan diributkan, justru oleh orang-orang yang katanya suci dan membela kesucian, ” jelas Raka Swari.
Ya, aku ingat kasus perpecahan lembaga umat Hindu Parisadha Bali tahun 1998 yang menjadi Parisadha kelompok Besakih dan Parisadha kelompok Campuhan. Aku melihat, mencatat, memotret, kengototan pengurus lama, cekcok, intimidasi dan stategi sekelompok lain yang ingin perubahan.
Raka Swari tersenyum, sambil menunjukkan foto-foto dan catatan lama saat aku sebagai wartawan yang bisa masuk kemana saja.
Kini perebutan itu mulai gencar dilakukan, terutama oleh pendeta-pendeta yang berasal dari luar keluarga Ida Bagus.
“Kenapa bukan kita yang menjadi pendeta utama di Gunung Agung, ini jaman Republik bukan jaman kerajaan. Kenapa harus dari klain yang mengaku bramana. Kita juga brahmama. Para Ida Bagus disebut berkasta brahmana oleh Belanda, oleh penjajah yang mau memecah belah bangsa, ” kata salah seorang pimpinan pendeta berapi-api. Para pendeta yang lain mulai berani mengeluarkan uneg-unegnya.
“Kalau masalah kesucian, pengetahuan Weda, pendeta klain lain juga tak kalah hebat, ” tambah pendeta muda yang tampan.
“Ritual itu suci, seharusnya juga tulus, adil, tidak memberatkan dan mengikuti perkembangan jaman, ” kata pendeta muda yang terlihat agak pendiam.
Para pendeta yang lain menoleh padanya, mengangguk-angguk dan mulai agak riuh.
Pertemuan para pendeta itu sebenarnya juga didengar para pendeta keluarga Ida Bagus dan keluarga mereka. Tapi mereka tak terlalu khawatir, karena mereka sangat yakin dengan anugrah Bhatara Lelangit di Toh Langkir yang memang menugaskan klain mereka sebagai pemegang ajaran kependetaan di Bali. Selain itu mereka juga sudah menyiapkan struktur dan sistem pewarisan ajaran pada generasi penerus dalam sebuah organisasi klain yang solid yang dipimpin seorang walaka yang ahli sastra, dosen, sakti, sekaligus politikus andal.
Yang bergerak aktif dan kreatif menguasai, yang tak bisa dikuasai, ahli telikung, dan pencuri handal pusaka-pusaka suci demi misi suci. Katanya.
Perang antar para pendeta berbeda klain itu terus berlangsung, dalam kehidupan kasat mata dan yang tak kasad mata.
Raka Swari dan Adhi Swara melirikku.
“Tidakkah kau lihat tali-tali yang mengikat Gunung Agung dari arah yang berlawanan itu. Coba perhatikan baik-baik, lihat saja, jangan difotret, tak akan terlihat, hanya bisa kau rasakan di hatimu,” bisik Raka Swari begitu dekat di jantungku.
Seketika jantungku seperti berhenti berdetak.
Adhi Swara seperti masuk ke dalam rongga jantungku, bersatu dengan Raka Swari, lalu perlahan jantungku berdetak kembali, pelan, makin lama makin cepat. Gunung Agung bergetar hebat.
Tubuhku seperti menjadi Gunung Agung yang diputar dengan tali-tali halus merah dan putih, sambil memotret dan mencatat semua yang terjadi.
Pendeta Utama menghadap Dewa Wisnu meminta agar Gunung Agung tidak meletus. Tetapi Dewa Wisnu tidak berkenan dan tetap akan meletuskan Gunung Agung. Terjadi silang pendapat diantara para Dewa, ada yang tidak setuju. Ya, Naga Basuki tidak setuju, ia sedang menikmati penyerahan diri seorang pendeta perempuan penguasa esensi air yang bersedia melayaninya asal Gunung Agung tidak meletus.
“Saya bersedia melayan Tuanku, menjadi pendamping Tuanku, asal Gunung Agung tidak meletus, Tolonglah Tuanku, ini demi Bali, demi Pariwisata Bali. Tolonglah hamba, tolonglah Bali, tolonglah Pariwisata Bali, tolonglah rakyat Bali yang menggantungkan hidupnya dari pariwisata, ” pendeta itu memohon.
Aku kasihan pada Pendeta itu, yang telah berbohong, yang memuja Naga Basuki atas permintaan gubernur yang tak takut kunjungan pemimpin negara besar asing gagal. Tindakannya didorong oleh banyaknya uang yang diberikan dan rasa kecewa pada kekasihnya ingkar janji,
Dewa Wisnu marah, memutus ikatan tali-tali nafsu Naga Basuki. Naga Basuki berteriak, dan lemas.
Pendeta Perempuan itu juga dihukum, diambil kemampuannya menguasai esensi air. Pendeta muda itu menangis, memohon ampun, tapi Dewa Wisnu tak bergeming. Sebenarnya beliau kasihan pada kesayangannya itu, tapi uang dan rasa kecewa telah menggodanya.
Aku prihatin dengan pendeta perempuan itu. Kemudaan membuatkannya kurang bijak sebagai pendeta, sehingga mudah tergoda iming-iming keduniawian.
Pendeta muda itu sesungguhnya sangat istimewa, mempunyai anugrah penyembuhan cepat dengan media air. Puja puji menjeratnya pada percintaan yang rumit. Mematangkan karmanya.
Upaya pendeta utama, memperalat pendeta perempuan muda gagal.
“Pokoknya Gunung Agung tak boleh meletus, ” begitu kesimpulan rapat para pendeta keluarga Ida Bagus. Kesimpulan itu sesungguhnya berisi banyak pengecualian yang tak boleh ketahui umum.
Hentah dengan strategi apa, atau karena ada kepentingan yang sama agar Gunung Agung tidak meletus. Tiba-tiba para pendeta bersatu, tak ada perbedaan klain lagi.
Semuanya ke langit berdemo. Mereka tidak mau menghadap Dewa Brahma, Dewa Wisnu atau Dewa Siwa. Mereka hanya mau bertemu Sang Hyang Acintya.
Gerbang Sang Hyang Acintya berwarna cahya putih keperakan. Saat gerbang terbuka, cahya putih berkilat memantul ke tubuh para pendeta-pendeta itu. Memperlihatkan gambaran seperti film perbuatan dan dosa-dosa yang mereka telah lakukan.
Para pendeta itu bubar seperti merasa malu pada dirinya sendiri. Hanya ada 10 pendeta yang bercahaya bening, laki-laki dan perempuan, termasuk yang sudah dikatakan meninggal dunia.
Para pendeta itu masih berusaha dengan segala macam cara agar Gunung Agung tidak meletus.
Masing-masing pendeta dan kelompok punya alasan sendiri-sendiri, yang dikatakan ataupun yang dirahasiakan.
Pendeta keluarga Ida Bagus menduga meletusnya Gunung Agung sebagai pertanda berakhirnya era kepemimpinan spiritual klain mereka, juga sebagai bagian dari kutukan kematian dari Dewa Brahma yang telah mereka laksanakan dengan penggelar upacara dan puja di pura-pura yang menjadi petilasan Hyang Lelangit.
Perang tak kasat mata terus terjadi antara orang-orang sakti yang menjadi anak buah para pendeta.
Seorang pendeta kelompok baru yang vokal dan digadang-gadang untuk memimpin kelompok baru dikroyok, berlari, bersembunyi dan berlindung ke Gunung Agung, ia tidak ikut berupaya agar Gunung Agung tidak meletus. Pendeta yang juga dosen itu hanya memasrahkan dirinya pada Hyang Tolangkir
Kelompok pendeta yang lain, bertujuan meraih kepercayaan penguasa, menjaga Bali dari bencana, menunjukkan eksistensinya. Ada juga melakukannya dengan kepentingan sendiri-sendiri, misalnya agar rumah, keluarga dan artha bendanya selamat.
Pendeta sakti itu, bergerak sendiri, membuat lubang-lubang energi yang mengelilingi kaki gunung menebus ke pusat magna Gunung Agung.
Berhari-hari dia lakukan sendiri demi desanya yang menjadi jalan aliran lahar, demi keluarga, sanak saudara dan artha bendanya. Ia berperang dengan keinginan duniawinya, sampai Hyang Tolangkir menegur dan mengambil kesaktianya.
Ada juga pendeta yang hanya menjadi pengontrol aktivitas Gunung Agung dan para sakti yang mendekatinya untuk dilaporkan kepada kelompoknya.
Kadang mereka berkerja sama dengan alasan sendiri-sendiri untuk membuat Gunung Agung tidak meletus.
Maha Kuasa Tuhan yang mengatur segalanya, Gunung Agung tidak meletus hebat seperti yang ditakutkan. Hentah apa sebabnya, tetapi semua yang terlibat tak lepas dari karmanya, atau memang sudah menjadi bagian dari perjalanan karmanya.
Para pendeta-pendeta muda sakti yang masih labil seringkali dipakai sebagai tameng untuk menyerang pihak lain. Pendeta-pendeta muda itu sangat mudah dimainkan psikologinya oleh pendeta-pendeta senior. Jadilah kependetaannya berguguran.
Perang antara pendeta kelompok lama dan kelompok baru masih saja terjadi menjatuhkan korban, pendeta-pendeta yang tak tahu apa-apa, atau anak istri dan sanak saudara yang diharapkan.
Sebagai pencatat dan pemotret seringkali emosiku terlibat. Merasa sakit yang teramat sakit, luka-luka itu bahkan menembus kulitku. Tapi syukurnya Adhi Swara maupun Raka Swari selalu mengingatkan tugasku sebagai penulis dan juru foto.
“Gunung Agung telah menjalankan fungsinya, memutar lautan susu. Pendeta-pendeta itu orang-orang itu telah melakukan tugasnya, menarik dengan kuat tali-tali pengikat gunung. Tali warna merah energi dari nafsu, keserakahan, keduniawian. Tali yang tak bisa kau lihat, yang hitam adalah energi ketulusan dan kepasrahan, yang hanya bisa kau rasakan. Merah dan hitam bukan baju, bukan nama, bukan gelar, hanya warna, proses menjadi putih dan kuning.”
Lalu, Amerta? [T]
- BACAcerpen laindi tatkala.co