TANGAN Reza Ananda masih terus berjibaku dengan lumpur. Tangannya masuk—menusuk dan matanya tajam-tajam menatap tanah. Lindung (belut) didapatkannya kemudian.
Ia segera berlari menyimpan hasil buruannya itu cepat-cepat. Sambil tersenyum tentunya.
Reza Ananda, nama lengkapnya I Putu Reza Ananda Putra (15). Ia remaja asal Banjar Kesambahan di Desa Jatiluwih, Penebel, Tabanan. Ia remaja yang ceria, apalagi ketika bermain lumpur sembari menangkap belut.
Reza Ananda bersama sekitar 20 remaja dan pemuda lainnya sedang mengikuti lomba menangkap belut serangkaian acara Subak Spirit Festival (SSF) 2024 di areal perswahan di Jatiluwih, Minggu 10 November 2024.
Menangkap Belut, Bermain Lumpur
Perlombaan ini menjadi perlombaan tak biasa sehingga unik. Karena biasanya, perlombaan menangkap belut—alias lindung itu, pada umumnya ditempatkan di ember—dan pesertanya ngambil satu persatu sambil lari kocar-kacir. Mekanisme demikian terkesan mudah dan tanpa tantangan yang berarti.

Para remaja dalam lomba menangkap belut di tengah sawah di Jatiluwih, Tabanan | Foto: tatkala.co/Son
Tapi di sini, perlombaan tidak menggunakan alat apapun. Karena belut langsung ditabur ke sawah berlumpur. Belut benar-benar dibiarkan liar dan mudik ke habitatnya hehe.. Sehingga tak jarang belut masuk dalam-dalam ke tanah berlumpur itu. Itulah menjadi bagian tantangan yang sulit bagi para peserta. Ngaduk-ngaduk tanah, juga terjungkal ke tanah.
Pula para peserta harus bergelut dengan lintah kalau tak sengaja bertemu dengan lintah. Serem tapi asik. Gokss, semetooooon…
Sementara mekanisme pada perlombaan ini adalah siapa yang paling mendapatkan belut terbanyak, itulah yang akan menjadi juaranya; pertama, kedua, atau ke tiga. Belut itu dikumpulkan di dalam ember sebagai muara akhir ketika belut sudah mabuk setelah diperebutkan.
Puluhan ekor belut dilemparkan oleh panitia, para peserta rebutan saling senggol. Aduh. Sesekali belut ditangkap di udara dengan cara rebutan oleh peserta, dan belut yang di tangan Reza Ananda itu terlepas karena terdorong peserta lain.
Belut kembali dilempar kemudian, ditebar—oleh panitia lebih banyak dan mencar ke mana-mana. Para peserta kembali berdemplok, saling adu body, saling menggagalkan satu sama lain—dengan humor, dan belut yang licin setelah tertangkap itu oleh masing-masing peserta, kerap gagal dari tangan mereka. Licin.
Seperti Reza Ananda, misalnya. Berkali-kali lindung melorot dari tangannya, dan berkali-kali juga terjatuh badannya karena tesenggol. Lumpur ada di wajahnya. Ada di mana-mana di tubuhnya. Ia jadi manusia lumpur.
Sekalian terjatuh itu, sekalian tangannya kembali dicelupkan ke tanah dalam-dalam, kakinya menahan tubuhnya membungkuk.
Diragapnya belut yang bersembunyi di tanah, dan tampaknya kesulitan menimpanya bertubi-tubi di tengah para peserta yang lain sudah mulai berlari menyelamatkan hasil buruannya ke ember milik pribadi, agar tak disenggol.

Reza (baju biru) mencoba memegang bel;ut yang sudah ditangkapnya biar tidak lepas | Foto: tatkala.co/Son
Panitia—kembali lagi melemparkan beberapa belut ke udara, dan yang ini agak banyak—karena waktu sebentar lagi selesai. Dari kejauhan terlihat, Reza Ananda begitu segeranya mengangkat tangannya dari celupan lumpur.
Belut di udara ditangkapnya satu, dan nyaris tertangkap. Tersenggol tubuhnya lagi dan lagi oleh pesaingnya, belut yang licin terlepas selalu. Kembali lagi ia alihkan pandangan ke lumpur, merunduk, tangan kembali menyusuri lumpur yang becek, dan tanah didapatkannya kemudian. Aduh
Tapi tidak lama itu, satu berhasil ia tangkap dari temannya yang tersenggol—dan menjatuhkan belut itu, segera ia berlari mengambil. Kocar-kacir.
“Saya sudah lelah, Bli, haha..” kata Reza Ananda saat bercerita dirinya terseok-seok membawa satu belut. “Saya cuman dapat enam. Lumayanlah, walaupun gak dapet juara, saya dapet uang lima puluh ribu haha..”
Generasi Penangkap Lindung
Dulu, anak-anak dan remaja menagkap lindung (belut) di sawah adalah pemandangan biasa. Tak ada istimewanya.
Tapi kini, jika melihat anak-anak menangkap belut di sawah, berbecek-becek dengan lumpur pekat, kita seperti menyaksikan tontonan unik, langka dan istimewa. Kita memerlukan generasi penangkap lindung. Hehe
Ketika penangkap belut jadi langka, maka lomba di balik spot foto “I Love Jatiluwih”—dengan view yang instagramable di Desa Jatiluwih, itu menjadi tontonan yang menarik.
Itu pemandangan asik, terutama bagi orang kota dan bule-bule. Tubuh para bajang peserta lomba itu tampak kumel dilumuri lumpur. Orang-orang menonton. Ada satu bule mengajak anaknya yang masih kecil, juga menonton.
Peserta lomba memangkap belut itu memang para remaja sebagai perwakilan dari setiap sekaa teruna di banjar-banjar di Desa Jatiluwih.

Memasukkan belut ke dalam emebr | Foto: tatkala.co/Son
Setiap sekaa teruna memang telah diwajibkan mengirim peserta minimal 7 orang dan maskimal 8 orang untuk mengikuti lomba menangkap belut itu. Dan tidak ada gladi untuk kategori lomba itu. Langsung tancap gass…
“Karena ini tema besarnya adalah pertanian, jadi, ini [lomba tangkap belut] adalah aktivitas para petani ketika musim membajak atau masa mulai menanam jadi menagkap belut ini. Nah ketika untuk mnangkap belut ini, biasanya dilakukan malam-malam saat musim membajak atau masa-masa menanam,” kata I Gede Made Alitloyo Winaya, penanggung jawab lomba menangkap belut.
Ia juga menjelaskan, biasanya masyarakat di Desa Jatiluwih itu memang sudah biasa menangkap belut—terutama malam hari, ketika sudah musim membajak atau musim menanam padi. Pula biasanya, mereka menggunakan lampu dan menggunakan alat capitan untuk menangkap.
Dari aktivitas seperti itulah kemudian, melatarbelakangi lomba menangkap belut di acara SSF tahun ini. Apalagi, lanjut Made Alitloyo, para petani di Jatiluwih nyaris pensiun karena umurnya di atas rata-rata 40 tahun ke atas. Sehingga perlombaan ini digelar, untuk mendekatkan kembali generasi muda kepada sawah dan subak kepada budaya pertanian.
Sehingga ia—bersama tim SSF 2024 dan Kementrian Kebudayaan—ingin mengajak generasi muda ini mengenali dunia pertanian, mengingat ujung tombak di Jatiluwih ini adalah pertanian, “Kita ingin mengenalkan untuk generasi penerus di bidang pertanian,” lanjut Made Alitloyo.
Nah, Reza Ananda barangkali salah satu generasi muda yang di masa depan menjadi petani sekaligus penangkap belut yang andal.

Bule menonton lomba menangkap belut dari kejauahn | Foto: tatkala.co/Son
Reza mengaku, bersama temannya ia menantikan perlombaan sejak pagi. Ia perwakilan dari sekaa teruna dari Kesambahan, dan di sawah, ia mengaku sudah biasa bertempur dengan lumpur membantu orang tua ketika pulang sekolah, ke sawah.
“Kalau bisa, Bli. Perlombaan ini harus digelar tingkat nasional, dan saya siap mewakili Bali haha..” kata Reza Ananda Putra melempar humor usai perlombaan.
“Kalo jadi petani?” tanya saya.
“Tentu siaaap…,” katanya sambil tersenyum “Tapi saya mandi dulu, Bli, hehe!” [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto