JAM menunjukkan pukul 05.45 Waktu Indonesia bagian Tengah ketika saya tiba di terminal Ubung, Denpasarm Bali. Rasanya seperti mimpi, akhirnya saya menginjakkan kaki di pulau ini.
Ini untuk pertama kali saya ke Bali. Saya senang bukan main. Saya merasa sudah sampai pada tujuan.
Namun ternyata perjalanan baru saja dimulai. Dengan jantung berdebar, saya segera mengirim pesan singkat ke Kang Sigit, kenalan sekaligus mentor yang tahu seluk-beluk Bali.
“Kang, saya sudah sampai Denpasar!” tulis saya dengan antusiasme yang nyaris tak tertahan.
Tak butuh waktu lama, telepon dari Kang Sigit berdering, suaranya terdengar penuh tanya, “Kamu di mana? Mau ke mana? Sama siapa?”
Pertanyaan bertubi-tubi itu hanya bisa saya jawab singkat, “Sendirian, Kang.” Lalu telepon terputus.
Kang Sigit adalah panggilan saya untuk Sigit Susanto. Ia penulis buku yang memang sudah terbiasa berada di Bali. Ia tinggal di wilayah Batubulan, Gianyar.
Beberapa detik kemudian telepon berdering lagi. “Kamu beneran di Denpasar? Mau ke mana?” lanjutnya, masih terkesan ragu.
Saya memberanikan diri menjawab, “Ke Buleleng, Kang. Ada acara bedah buku di sana!” Namun jawaban Kang Sigit seketika membuat saya bingung, “Din, Buleleng itu jauh, Din!”
Saya terhenyak sekilas. Saya pikir jarak Buleleng tidak begitu jauh dari Denpasar.
Saya menghela napas dalam-dalam, berpikir, “Wah, ini sudah terlanjur nekat!”
Kang Sigit pun cepat-cepat memberi instruksi, “Kamu turun saja dulu. Nanti saya jemput. Jangan ke mana-mana!”
Sebetulnya saat itu saya sudah berada di dalam mobil Elf yang baru saja berjalan sekitar 20 menit. Saya sudah bayar ongkos Rp 20.000, tetapi demi memastikan ada yang menjemput, akhirnya saya turun dan merelakan ongkos yang tak kembali.
Dengan langkah pasrah, saya duduk di atas rumput di pinggir jalan, menyaksikan hiruk-pikuk Denpasar yang tak jauh beda dengan keramaian Bandung, tempat saya tinggal.
Bali memang jauh dari rumah, tapi kedatangan saya ke sini bukan sekadar mimpi atau dongeng. Rasanya, saya benar-benar ingin hadir di acara bedah buku di Buleleng itu dan membuktikan bahwa saya bisa menaklukkan Bali, meski tanpa arah yang pasti.
***
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya jemputan tiba. Bukan Kang Sigit langsung yang datang, tetapi seorang teman yang diutusnya, membawa motor. Saya akhirnya dibawa ke rumah Kang Sigit di Batubulan.
Begitu bertemu, ia hanya tertawa terbahak-bahak mendengar cerita perjalanan saya. “Saya kira kamu bercanda, Din, ternyata beneran datang ke Bali,” katanya sambil tertawa puas.
Berfoto di depan Pura Tanah Lot di Bali | Foto: Dok. Didin
Beberapa minggu kemudian, setelah saya kembali ke Bandung, pesan dari Kang Sigit mampir lagi di ponsel saya. “Hai Didin, Sang Penakluk Bali, apa kabar?”
Hah, disebut “penakluk Bali” memang terdengar lucu, namun dalam hati saya merasa sedikit bangga. Perjalanan penuh nekat itu ternyata punya kisah yang bakal selalu saya kenang.
***
Sore itu, dari rumah Kang Sigit saya diajak jalan-jalan ke wilayah Batubulan dan sekitarnya. Kami sempat mampir ke warung sirup yang menyegarkan di tengah cuaca panas. Rasa manis sirup itu memang mengobati haus, namun perjalanan tak berhenti sampai di situ.
Kami melanjutkan perjalanan melewati sawah-sawah yang hijau, namun suasana mendadak mencekam saat gerombolan anjing liar mulai menggonggong keras di sekitar kami.
Saya merasa jantung ini hampir saja loncat keluar saking takutnya, apalagi ketika beberapa anjing semakin mendekat. “Tenang saja, nggak apa-apa,” kata Kang Sigit berusaha menenangkan.
Namun hati saya tetap berdebar kencang, walaupun akhirnya gerombolan anjing itu hanya menggonggong dan tak menyerang.
Di rumah Kang Sigit, ketakutan belum juga reda. Di halaman, dua anjing besar menyambut dengan gonggongan keras. Saya refleks berlari ke dalam rumah, nyaris menabrak seseorang yang kebetulan sedang lewat di lorong. Sesampainya di lantai atas, akhirnya anjing-anjing itu berhenti menggonggong, dan saya duduk berusaha menenangkan diri sambil mengusap keringat dingin.
Pengalaman itu sungguh menegangkan, namun kini terasa lucu saat diingat kembali.
Saya akhirnya bisa beristirahat dengan nyaman di rumah Kang Sigit, mengobrol santai sambil menyeruput kopi hangat. Kami berbincang tentang berbagai hal, termasuk kejadian-kejadian kocak dalam perjalanan.
Saya menceritakan kisah tentang tas yang tertinggal di bis Damri ketika pertama kali sampai di Bali. Kang Sigit tertawa lepas mendengar cerita itu.
Keesokan paginya, seorang tokoh yang cukup saya kagumi, Puthut Ea, datang. Kang Puthut dikenal sebagai Kepala Suku Mojok di Yogyakarta. Ia seorang penulis dan editor yang telah menghasilkan banyak buku.
Ia mengajak kami melakukan yoga pagi di halaman. Melihat Kang Puthut, saya merasakan semangat baru dalam diri untuk terus menulis dan menyelami dunia literasi.
***
Perjalanan ini, meski penuh tantangan dan rasa takut, membentuk cerita tak terlupakan. Dari tersasar di terminal hingga ketakutan dikejar anjing, semuanya terbungkus dalam pengalaman manis yang kini saya kenang sebagai bagian dari perjalanan hidup.
“Sang Penakluk Bali” memang julukan yang lucu, tetapi dalam hati saya merasa puas—bukan karena berhasil sampai di tujuan, melainkan karena berani mengambil langkah pertama untuk menaklukkan diri sendiri.
Foto kenangan di Bali bersama Kang Sigit | Foto: Dok. Didin
Bali tak lagi sekadar dongeng atau mimpi bagi saya. Bali telah menjadi nyata, bersama semua cerita yang saya bawa kembali ke Bandung.
***
Oh, ya. Perjalanan itu saa lakukan tahun 2008. Saat itu saya menghadiri acara bedah buku tentang sastrawan besar AA Pandji Tisna di tempat kelahiran sang sastrawan di Puri Buleleng.
Saya ke Buleleng bersama Puthut EA dan sungguh terkesan dengan Buleleng, sebuah wilayah di sisi utara pulau Bali.
Kali kedua saya ke Buleleng naik bus, saya sudah tahu bahwa tak harus turun di Denpasar untuk menuju Buleleng. Setelah menyeberang di Pelabuhan Gilimanuk, saya turun di sebuah pertigaan. Dari situ saya dibawa mobil travel, belok kiri, langsung menuju kota Singaraja di Buleleng, tanpa harus melihat Denpasar terlebih dahulu. [T]