Mereka meninggalkan badut pergi
Sambil mencaci maki
Tinggallah sang badut tegak berdiri
Memberikan senyumnya
Sedang dalam hatinya
Dia menangis badannya bergetar
Dipaksakan juga melihat semua di depannya
Kata-kata di atas adalah penggalan lirik lagu berjudul Akhir Seorang Badut yang dipopulerkan oleh Sawung Jabo pada tahun 1992.
Dalam lagu itu dikisahkan nasib seorang badut yang tragis. Di atas panggung, ia diam terpaku. Matanya berkaca-kaca sesaat penonton di depannya meninggalkan dirinya. Kisah hidupnya berakhir menyedihkan. Meski ia seorang badut, tampaknya ia adalah badut yang tak bisa menghibur dirinya sendiri.
Namun ini bukan tentang sebuah lagu yang dilantunkan oleh seniman dan musikus bernama asli Mochamad Djohansyah, itu. Ini tentang perempuan bernama Ketut Desna. Perempuan yang setiap malam menghibur pengunjung di Taman Kota Singaraja, Buleleng, Bali, dengan kostum badutnya.
Meski hidupnya menjadi seorang badut tak semiris lagu Akhir Seorang Badut dan tak setragis seperti film horor berjudul clown—film badut psikopat—besutan Jon Watts yang rilis pada tahun 2014, itu, tetapi, kisah hidup Ketut Desna menjadi seorang badut tidak ada salahnya untuk dibaca.
Malam itu, di antara sisa-sisa pengunjung yang hendak meninggalkan Taman Kota Singaraja, badut beruang Pooh—karakter beruang pada kartun Winnie The Pooh—itu duduk di depan air mancur. Tangannya masih saja melambai-lambai kepada setiap orang yang lewat di depannya. Kadangkala ia menggoyang-goyangkan badannya ke kiri dan ke kanan, menggoda anak-anak yang ingin berfoto dengannya.
“Kepala saya terasa sakit sekali,” lirihnya, saat ditemui disela-sela istirahatnya, Sabtu, 3 Maret 2024, malam.
Napasnya terengah-engah sesaat setelah ia melepaskan kepala beruang itu. Tangan yang masih terbungkus kain tebal itu, ia gunakan untuk mengusap wajahnya yang basahi keringatnya. Air mineral di sampingnya tak luput ia habiskan hanya dengan beberapa kali tegukan saja. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, seakan-akan ia telah melepaskan beban berat yang melekat ditubuhnya malam itu.
“Saya menjadi badut sudah dua tahun,” katanya memulai cerita. “Karena keadaan, jadinya mau bagaimana lagi, yang penting halal,” akunya.
Ya, perempuan asal Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng, Bali, itu, menjadi badut karena dampak dari pandemi covid yang sangat problematik beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya, ia adalah seorang pedagang makanan di area Taman Kota Singaraja. Namun naas, usaha warung makan yang ia bangun itu harus ia relakan tutup karena saat itu tak ada satupun pengunjung yang makan di tempatnya. Ya, itu benar adanya. Mengingat saat pandemi lalu, muncul kebijakan-kebijakan yang membatasi gerak sosial masyarakat secara berkala.
“Padahal, sebelum covid itu, warung makan saya lumayan ramai pembeli. Tapi pas covid itu muncul dan PPKM secara terus menerus, karena sepi pembeli, akhirnya warung harus saya tutup,” katanya.
Sesaat setelah tidak memiliki warung makan, hidupnya hanya mengandalkan pemasukan suaminya yang menjadi satpam di area yang sama. Meski hidup dengan pas-pasan, ia tetap berusaha tegar bersama ketiga anakanya yang masih kecil untuk melewati masa-masa sulit itu.
Menurut ceritanya, ia sempat beberapa kali bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Dari menjual balon, menjual mainan anak-anak sampai akhirnya kini menjadi seorang badut di area Taman Kota Singaraja.
“Sebelum menjadi badut, saya sempat menjual balon dan mainan anak-anak di sini,” katanya.
Ya, hidup dengan menjadi badut adalah pilihan yang mungkin sampai saat ini, menjadi pilihan satu-satunya yang harus ia kerjakan. Meski dengan pendapatan yang tidak menentu, ia tetap menjalaninya dengan riang gembira, sesuai dengan kostum yang ia kenakan. Ya, beruang bernama Pooh itu memang diciptakan oleh Alan Alexander Milne pada tahun 1926 dengan karakter ceria dan menyenangkan.
Berawal dari tawaran seorang teman, Desna—sebagaimana akrab ia dipanggil—diperkenalkan dengan seorang pemilik kostum badut yang sering memperkerjakan orang-orang yang ingin bekerja sebagai badut penghibur di seputaran Singaraja. Menurutnya, hasil dari menjadi badut itu harus ia bagi dua dengan pemilik kostum. Meski, kadang hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang ia keluarkan, ia tetap bersyukur menjalani profesi tersebut.
“Paling senang itu ketika diundang ke acara ulang tahunan,” katanya.
Ia mengaku, pendapatan dari menjadi badut di Taman Kota dan menghibur acara ulang tahun sangat berbeda. Jika sehari menjadi badut di Taman kota ia bisa menghasilkan beberapa puluh ribu rupiah saja, namun, ketika menghibur di acara ulang tahun, pendapatannya bisa berkali-kali lipat. “Sampai ratusan ribu, tapi tetap dibagi dua,” katanya sembari tertawa.
Tawaran menghibur acara ulang tahun tak setiap hari ada, sehingga kini, setiap malamnya, dari jam 6 sore sampai larut malam, ia harus mengenakan kostum badut beruang dengan berkeliling di sekitaran Taman Kota Singaraja. Ia tak mematok tarif resmi kepada orang yang berfoto dengannya. Seiklasnya saja. Namun, kadang ada juga yang tak mau membayarnya.
“Kadang ada yang ngasih lima ribu, sepuluh ribu, kadang ada juga yang tak ngasih. Tak apa, toh saya menghibur, yang penting tidak ngemis,” katanya.
Selain menjadi badut adalah pilihan alternatifnya, ia mengaku memang senang berinteraksi dengan anak kecil. Sebab, menurutnya ada semacam kebahagiaan ketika melihat anak-anak tertawa dengan riang gembira karena kehadirannya.
Namun, meski begitu, jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa sedih. Ia tetap berkeinginan memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan yang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya. “Sebenarnya sih, pingin kerja lain, tidak seperti sekarang ini,” ucapnya dengan pelan.
Ya, niat menghibur orang tersebut kadangkala sering disalah artikan oleh orang-orang di sekelilingnya. Dan, tak jarang pula ia mendapat sindiran dari orang-orang terdekatnya.
“Malu sebenarnya ketika ada yang menuduh saya ngemis berkedok badut. Padahal saya bekerja dengan cara menghibur anak-anak,” katanya.
Dan, ketika orang-orang ditelan rutinitas kesibukan kota, perkantoran, dan entah apa dan dimana lagi, ada Ketut Desna dengan kostum badutnya yang mencoba menghibur orang-orang dengan segala macam perasaan yang mungkin barangkali berbeda-beda. Namun, lantas mengapa badut tidak berhubungan dengan situasi dan derajat tertentu layaknya punakawan?
Badut di Taman Kota Singaraja, Buleleng, Bali | Foto: Yudi Setiawan
Badut adalah korban realitas yang tak terhindarkan. Ia hanyalah peran, namun di balik kostumnya, ia bukan peran yang sebenarnya. Namun, punakawan—Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong— adalah sosok-sosok yang digambarkan para leluhur Jawa untuk mengatasi realitas dengan cara yang paradoks.
Di dalam dunia pewayangan, Semar hanyalah rakyat jelata, namun sekaligus dewa tertinggi dengan sifat dan tugas sebagai pengasuh sekaligus penasihat para ksatria. Ia merupakan perwujudan dari apa yang disebut “Tan kena kinaya ngapa”. Sehingga, punakawan sejatinya tak ada di dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya. Mereka ada tatkala dijelmakan di dalam kehidupan yang nyata.
Punakawan adalah peran, tetapi sekaligus memiliki peran dibalik segala peran. Sehingga, badut dengan peran semunya, tak dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh punakawan. Keduanya memiliki perbedaan dan pembandingnya masing-masing.
Namun, meski Desna dengan kostum badutnya tidak memiliki derajat yang sama dengan punakawan, tapi kehadirannya mampu memberikan hiburan yang nyata kepada setiap siapa saja yang berkunjung ke Taman Kota Singaraja.
Ya, Desna, di dalam hatinya masih ada perasaan sedih yang tidak bisa ditutupi meski dengan kostum beruangnya. Jauh di hatinya yang paling dalam, ia ingin berubah. Dan, sekali lagi, tampaknya benar, kesedihan dan keibaan Sawung Jabo di dalam lagunya itu, tercermin juga di balik kostum badut Ketut Desna. Ia adalah badut yang tak selesai menghibur dirinya sendiri. [T]
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Adnyana Ole