// “Warring Images” lalu menjadi sejenis meja perburuan makna — yang mesti dibaca dari ikon yang hadir di situ– di mana tafsir disembunyikan, makna dan maksud disenyapkan. Satu tusukan dingin dan menantang bagi para peraya hidup yang tak cuma dicukupkan pada hidup yang datar. Atau hidup yang serba dangkal, kerontang dimakan sinisme.//
MEJA BILIAR seberat satu ton itu akhirnya terpajang di ruang pamer Museum Arma, Ubud, Bali. Seperti menatap dingin orang-orang yang datang membawa beribu keinginan. Membawa serta lamunan dan harapan.
Sekilas meja ini menyerupai sarkofagus—kubur batu tua berbentuk ‘jukung’ yang lazim dipakai masyarakat Nusantara Kuna dalam upacara kematian. Ya, sekali lagi “upacara kematian”.
Di Bali, di pulau yang semakin ringkih ini, peninggalan jenis ini sungguh berserak—sebagai satu-satunya warisan dari zaman perundagian.
Bila dibalik, Meja Biliar ini terlihat seperti bukit tandus, rompal, gundul dan kerontang, tanpa pohon-pohon. Seperti memberi gambaran; alat berat bergerigi besi telah mencongkel-congkel bukit sedemikian angkuh. Keangkuhan yang menyisakan kepedihan, poranda, dan lingkungan rusak. Habitanya entah pergi ke mana.
Begitulah labirin ikonik Meja Biliar yang dipajang Ketut Putrayasa, medio Juli 2023 lalu, di desa, dunia yang dulu penuh misteri, kini pelan-pelan meleleh tak ubahnya es balok di terik matahari. Di desa yang kini krodit, berjejal turis, hotel dan villa, di mana sisa-sisa masa silam tak lagi nampak, tak lagi perawan.
Dari ikon ini kita membaca sejumlah penanda. Di atas meja dijejer rapi puluhan lipstik berwana hijau, dalam kolase segi tiga. Pada bidang datar ‘triangel’ terbaca tulisan HYPEREALISM.
Dengan kata ini Putrayasa seperti memaksa penikmatnya menceburkan diri ke dalam lingkaran “durga maya”, ke batas-batas ada dan tiada, pada sesuatu yang melampaui realitas—saat mana batas waktu, fakta, imajinasi mengabur tak terjelaskan secara difinitif.
Di antara puluhan gincu warna hijau, ada satu gincu dengan lelehan warna putih. Satu stik penyodok bola. Dua wanita berparas cantik—April Artison dan Putu Ayu Chumani—memperagakan sodokan-sodokan menantang. Dengan kain sedikit tersingkap, bokong yang menyala, bidang dada setengah terbuka.
Mereka menyodok dalam beragam pose, beragam tandang, beragam tatapan dan lirikan, diayun senyum memikat. Sang penggagas, Ketut Putrayasa, seniman patung yang kerap tampil dengan ide-ide liar dan original ini, menamai seni instalasi ini “Warring Images” atau “Perang Citra”.
***
Menatap detail meja biliar ini, tiba-tiba muncul setangkup pertanyaan, bagaimana Meja Biliar seberat satu ton bisa ‘mejeng’ di dalam museum? Bagaimana menghindari perjalanan meja ini tak membuat cacat lantai, menyengol barang-barang milik museum?
Ini tentu perjuangan tak mudah. Membawanya ke ruang dalam museum, ia tidak cuma membutuhkan tenaga berbanyak, tapi memerlukan alat dan akal cerdik.
Perjalanan dari Desa Canggu menuju Ubud, melintasi jalan-jalan padat, kadang macet, sungguh ibarat retret, layaknya peed sehingga Meja Biliar itu bisa didudukan di “altar” persajian bernama museum.
Kita mesti memaknai secara baru, bahwa museum adalah juga “pura” bagi pekerja kreatif, “katedral” bagi para perawat kebudayaan. Tempat asketik bagi mereka yang hendak menggali kanal kreatif.
Di situ para seniman menggelar, menghaturkan karya-karya imajinatif guna dinikmati para pengunjung yang ingin meneguk sajian kreatif, mereguk cahaya rohani dari karya-karya kebudayaan itu.
Coba merenung di depan Meja Biliar itu, tiba-tiba muncul ketegangan, apakah di Meja Biliar itu orang-orang menemukan kepuasaan estetik? Apakah “Warring Images” itu karya seni di mana pengunjung bisa memanjakan mata dan meneduhkan batin?
Tak mudah memberi alasan. Tak gampang memberi penjelasan. Kita seperti menemukan ketegangan metafor, layaknya alegori dari dunia lain, bahwa keindahan tak selalu menyembul dari lukisan-lukisan indah, tak memancar dari racikan warna-warna yang membuat orang sumringah.
Keindahan juga memancar dari liang-liang kubur bernama sarkofagus, di mana manusia sebagai homo ludens bermain—mungkin juga perjudian hidup mati.
Sebagai seni instalasi, Ketut Putrayasa menyajikan keindahan dalam tabir yang lain, pada kepekaan yang menembus batas-batas matra, barang-barang dan asesoris yang dihadirkan dalam karya itu.
“Warring Images” lalu menjadi sejenis meja perburuan makna—yang mesti dibaca dari ikon yang hadir di situ—di mana tafsir disembunyikan, makna dan maksud disenyapkan.
Satu tusukan dingin dan menantang bagi para peraya hidup yang tak cuma dicukupkan pada hidup yang datar; tidur, bekerja, makan, berak, dan bersenggama. Atau hidup yang serba dangkal, kerontang dimakan sinisme dingin.
Meja Biliar, lisptik, dan dua wanita cantik yang “berpura-pura” tengah bermain biliar adalah semesta ikonik. Rayuan mematikan. Bila pun di situ tak ada bola-bola biliar, yang ada cuma jejeran gincu berwarna hijau, satu gincu dengan polesan cat warna putih. Inilah ikon yang perlu dibongkar, dibaca sebagai kritik zaman.
Di situ ada material yang tertitipi makna, menjadi sebentuk inisiasi simbolik, yang oleh perancangnya dimaknai sebagai “Warring Images”, Perang Pencintraan.
Memang gincu atau lipstik telah sejak awal menjadi bagian paling melekat bagi kecantikan wanita. Termasuk kecantikan itu sendiri. Ini bahkan telah terjadi sejak zaman purba. Dan Meja Biliar adalah tempat orang bermain; entah dalam taruhan judi, atau taruhan lain.
Sampai di sini, Putrayasa lalu memaknai Meja Biliar itu sebagai permainan global, elitis sekaligus terbuka. Familiar sekaligus tersembunyi.
Sebagai ikon permainan global, kerap sang pialang dan pemainnya tak mudah kita lihat, tak gampang kita tebak. Putrayasa hendak mewanti-wanti, citra semu bisa saja tengah mempermainkan nasib kita, membunuh kita dengan rayuan dan rasa nikmat, lewat iklan dan diskon menggairahkan.
Sampai di sini, citra dan pencitraan itu tidak saja menjadi alat merayu konsumen—sebagaimana kita lihat pada iklan-iklan produk kecantikan.
Namun citra juga menjadi alat politik bagi kekuasaan, senjata kaum globalis merancang agenda dunia sebagaimana keinginan-keinginannya—yang ujung-ujungnya menguasai, menaklukkan dunia tidak cuma secara sosio-politik dan kebudayaan, akan tetapi menekuk dunia secara ekonomi.
Rancangan-ranangan dunia itu bisa saja menggelinding senyap, kerap membuat orang tak mudah awas.
Dengan citra itu, konspirasi-konspirasi dirancang, kebijakan-kebijakan tata dunia baru digulirkan, agenda menciptakan kesejahteraan dunia diwacanakan penuh harapan. Politik bantuan digulirkan, dus di balik itu mungkin mereka adalah dewa-dewa pencipta kemiskinan—sebagaimana penelitian pernah ditulis Graham Hancock, Lords Of Poverty.
Di situ liku-liku politik bantuan digulirkan dengan sejumlah strategi dan konspirasi. Orang-orang terserap citra, sementara ada labiran tak terbaca, ada agenda yang dirahasiakan. Bahkan ada kejahatan yang disembunyikan.
Dari ruang imaji Meja Biliar ini, Putrayasa seperti menaruh curiga, mengingatkan siapa saja mesti berhati-hati dengan “kebaikan” dan “bantuan” dibungkus citra semu. Sebab kata Oliver Goldsmith, “bantuan kerap memelintir kebenaran dengan cumbu rayu”.
Lalu orang-orang terjebak. Di tengah-tengah wabah berita palsu, liputan-liputan pers mudah dibeli, perang citra itu bergulir kian deras—hingga tak mudah diyakini mana hoak, mana sungguhan. Kesalahan-kesalahan masa lalu ditutupi terus-menerus, hingga tak ada celah sedikitpun mengintip keburukan mereka.
Pers dan citra membuat sosok-sosok hitam, pelanggar HAM, koruptor makin terlihat “glowing”, menawan tanpa cacat, tanpa dosa. Ia terbaca, tercitrakan seperti penyelamat baru—lalu ia dipandang pantas pemimpin kita.
Citra itu seperti melahirkan pahlawan baru buat hari depan kita. Namun sekali lagi, ini permaian, layaknya homo ludens di atas sarkofagus, permainan yang begitu akrab dengan kematian—sebab di balik itu ada motif yang culas, perangkap yang tak terbaca. Lalu tiba-tiba sang penikmat anumerta di kubur batu.
Di tataran dalih-dalih pembangunan, citra kerap dibungkus bahasa diskursif, terlihat logis, masuk akal, dan bijak. Tengoklah tema-tema pembangunan Sat Kerthi Loka Bali, yang luar biasa utopis, nglangenin, memukau, akan tetapi tak begitulah praktiknya.
Di tengah-tengah ‘eluan’ wana kerthi, ada bukit-bukit dikeruk masif. Pada semarak segara kerthi, ada perusakan lingkungan pantai yang dibiarkan. Pada gaung jana kerthi, ada data penduduk miskin yang menanjak tajam.
Ini menjadi sejenis permainan bahasa kuasa—di mana orang mudah tunduk terpukau, karena orang Bali telah diedukasi tradisi, tak boleh melawan Guru Wisesa (pemerintah).
***
Perang citra memang tengah menguasai kehidupan pragmatis kita, terjadi nyaris di setiap dimensi kehidupan, baik pada kehidupan politik, sosial budaya, bahkan dalam hidup keagamaan kita. Menghiasi laman-laman medsos kita, terbaca di baliho-baliho politik, tersimak dari janji yang menyembur pada pidato-pidato politik jelang pemilu.
Tentu perang citra global tak kurang membuat orang terenyuh. Orang bicara, neraka musim, kelangkaan pangan, revolusi hijau, dan lain sebagainya, tapi berjuta-juta hektar tanah dialihfungsikan buat infrastruktur fisik.
Orang berseru tentang kelangkaan air, sementara air untuk subak dijual buat air kemasan. Sebuah hotel di kaki pulau Bali yang kering bisa saja berlimpah air. Namun di sebuah desa, di Bali timur, air untuk bertahan hidup sedang diantre. Ini sungguh citra yang nungkalik; lain di slogan, lain di hidup yang nyata.
Lalu dari Meja Biliar yang menyerupai kubur batu itu, Ketut Putrayasa seperti menegaskan, tidak ada hal nyata pada citra itu. Ada beribu motif kenapa setiap orang, kenapa setiap kekuasaan perlu citra. Hanya sedikit yang sungguh-sungguh, dari yang sedikit itu, Putrayasa mewakilinya dengan satu gincu hijau, dengan setitik lelehan warna putih.
Menandaskan satu keprihatinan, tak banyak yang bersungguh-sungguh dalam permainan citra itu. Ini adalah sebentuk gombal murahan, layaknya lelaki miskin merayu gadis pujian.
Citra dan rayuan itu adalah alat paling purba menekuk lawan, bahkan untuk membunuh musuh. Para pialang politik, raja-raja di zaman dulu memakai sebagai siasat menggulung lawan.
Gambaran ini dihadirkan dengan amat gambelang Mpu Kanwa, saat mana sang pujangga menulis Kakawin Arjunawiwaha, karya yang ditujukan untuk memuliakan Raja Airlangga.
Di situ digambarkan, seorang raja raksasa sakti mandraguna. Namanya Niwātakawaca. Ia tak dapat dibunuh para dewa dan senjata apapun. Ia akan tumbang oleh seorang “manusa sakti” bernama Arjuna.
Suatu hari, Niwātakawaca hendak menggempur Surga Indra. Indra sempat was-was, lalu mengirim Arjuna yang sudah teruji kesaktiannya. Diiring dua bidadari super cantik—Tilottamā dan Suprabhā—yang telah menguasai ilmu merayu dan kama tantra. Tiga utusan Indra sampai di kerajaandaitya ini.
Di balai kristal, di mana Niwātakawaca sedang duduk, dua bidadari memperkenalkan diri, dan menyatakan telah begitu lama merindukan Niwātakawaca.
Dengan segala kecerdikan, godaan yang melambungkan birahi, Niwātakawaca jadi lupa. Sang raja detya tak tahan menanggung birahi, cepat-cepat mengajak dua bidadari ini bermain intim. Suprabhā menolak halus. Ia baru mau melayani keinginan Niwātakawaca, bila sang raja raksasa bersedia membuka rahasia kesaktiannya.
Lupa dan tak tahan menanggung birahi, Niwātakawaca membocorkan letak kesaktianya di pangkal lidah. Sementara, Arjuna yang tengah mengintip mendengar percakapan itu.
Setelah rahasia terbuka, Arjuna memperlihatkan diri. Niwātakawaca pun marah, sadar dirinya diperdaya. Perang pun terjadi dengan amat sengit. Saat Niwātakawaca terbahak, panah sakti Arjuna melesat, tepat menyasar pangkal lidah Niwātakawaca.
Bujuk rayu dua bidadari cantik, menumbangkan raja perkasa akhirnya. Ia tumbang karena tak awas. Kecantikan, kata-kata manis wanita telah membunuhnya. Citra semu, siasat Indra mengalahkan raja sakti mandra guna ini.
Begitulah citra yang dibangun di abad modern ini, kerap menjadi alat, menjadi senjata menekuk lawan dan mangsa. Seelok apapun itu, seindah apapun dia, adalah panah mematikan. Racun-racun yang membunuh siapa saja dengan nikmat.
Dan citra-citra ini mengepung bagian paling sensitif psikologi kita, seperti juga Tillotamā dan Suprabhā menguntit kelemahan Niwātakawaca.
Bukankah kita begitu juga dihadapan janji-janji kesejahteraan, janji-janji hidup lebih kaya tanpa kerja keras. Orang-orang lunglai di depan iklan, lalu tumbang dengan rasa nikmat.
Dan di Arma Museum itu, Ketut Putrayasa tengah membuat kita lebih awas, bahwa Warring Images telah mengepung kita, tidak cuma di jalan-jalan, di supermarket-supermarket modern, di gedung-gedung legeslatif, bahkan sampai ke tempat tidur kita.[T]