HEMBUSAN UDARA DINGIN dari AC memenuhi dadaku. Dokter berbicara tanpa melihatku. Ekspresinya datar, seolah aku hanya tumpukan pekerjaan di mejanya. Ia Dokter Linda.
“Anda harus segera dioperasi! Kalau tidak Anda akan lumpuh!” Jarinya sibuk membolak-balik hasil MRI yang kuserahkan. “Kapan siap operasi?” Mata Dokter Linda menatapku dengan sorot yang tidak bisa kutebak.
Aku terkesiap, tubuhku bergetar, jiwaku terguncang mendengar ucapannya. Aku terhenyak. Wajahku telah penuh air mata tanpa bisa kubendung, mengalir dengan deras memenuhi wajahku. Apa tidak ada kata yang lebih halus, yang lebih humanis yang terlontar dari bibir tipisnya?
“Maaf, Bu Dokter, apakah harus operasi?” tanyaku dengan suara bergetar. “Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkan sakit ini, tanpa harus operasi?” ucapku dengan suara terbata, sambil berusaha menahan air mata yang terus mengalir tanpa henti, tanpa bisa kubendung.
“Ya hanya operasi jalan satu-satunya, kalau Anda mau sembuh!” jawabnya dengan nada datar tanpa ekspresi. “Waktunya maksimal enam bulan, kalau bisa lebih awal operasi itu lebih baik!”
Aku terdiam.
“Lewat dari itu bisa dipastikan Anda mengalami kelumpuhan. Kalau Anda sudah siap operasi silakan datang lagi!” ucapnya dengan datar tanpa menolehku, kemudian meminta suster untuk memanggil pasien berikutnya.
Duh Gusti, kuatkan jiwaku..
Aku tidak ingat kapan mulai sakitku, rasanya hampir setahun kesehatanku menurun. Kekuatan ototku terbatas ketika kugerakkan. Jongkok sulit, berjalan pun hanya beberapa langkah saja. Alhasil, pergerakan tubuhku mesti dibantu tongkat. Tanganku pun terkadang kaku dan agak susah untuk digerakkan.
Dalam sakitku, aku masih berusaha olah raga ringan seperti gerakan Orhiba walau tak selincah sebelumnya. Kegiatan menari yang dulu sering aku lakukan sebagai pengisi waktu senggangku saat tidak ada kegiatan kuliah, otomatis tak bisa kulakukan lagi.
Beberapa kali kunjungan ke dokter sudah kulakukan, mulai dari dokter umum, spesialis dalam, spesialis saraf , fisioterapi, dan pijat refleksi pun aku jalani. Beberapa dokter mengatakan kalau aku mengalami pelemahan masa otot. Puncaknya ketika aku melakukan MRI, Magnetic Resonance Imaging, yang merupakan pemeriksaan organ tubuh yang dilakukan dengan menggunakan teknologi magnet dan gelombang radio. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil gambar organ, tulang, dan jaringan di dalam tubuh secara rinci dan mendalam. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai alat bantu diagnosis dokter.
Kulakukan MRI atas rekomendasi Dokter Linda, karena ada kecurigaan terhadap saraf tulang leher belakang yang mengalami pelemahan masa otot. Di samping terbatasnya gerak ototku, yang membuatku tidak bisa beraktivitas secara normal, aku juga sering merasa lelah dan tulang leher belakang sering terasa sakit.
Menurut Dokter Rudi yang menagani saat MRI, berdasarkan hasil yang ada, seluruh organ dan jaringan tubuhku sehat dan tidak ada masalah. Aku pun punya pikiran yang sama dengan Dokter. Rudi. Usiaku masih sangat muda, rasanya mustahil mengalami pelemahan masa otot. Hidupku teratur. Asupan gizi cukup bagus. Durasi tidurku 7-8 jam. Aku rajin olah raga walau hanya sekadar jalan kaki kurang lebih 30 menit setiap hari di sekitar perumahan.
Kadang kalau ada waktu aku suka mendaki gunung dengan teman-teman kelompok belajarku. Beberapa gunung pernah kujelajahi seperti Gunung Batur, Gunung Batukaru dan yang terakhir Gunung Agung kujelajahi setahun lalu. Mendaki sangat mengasyikan, terasa lepas bebas, bertemu lepas dengan semesta, berpeluk dengan Ibu Pertiwi.
Kubolaik-balik lembaran hasil MRI. Kubaca berkali-kali banyak istilah yang tak kupahami artinya. Kata Dokter Rudi, aku tidak perlu operasi. Akan tetapi, Dokter Linda mengharuskan operasi, bahkan ada batas waktunya. Batinku bimbang. Ada ketakutan dan kecemasan yang kurasakan untuk melakukan operasi. Walau Dokter Linda memberi jaminan kalau ini operasi ringan dan kecil dan tidak perlu dicemaskan. Banyak pasien yang mengalami sakit yang sama sudah sembuh dengan operasi.
Kuhembuskan napas dengan berat. Kulipat hasil MRI dengan rapi. Kumasukkan ke dalam dompet Guci coklat hadiah ulang tahunku yang ke-22. Kulangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit dengan perasaan campur aduk menuju parkir di bawah pohon flamboyan.
Hembusan angin semesta memeluk tubuhku, membelai pipiku dengan lembut, mengusap rambutku yang panjang bergelombang seolah menenangkan kegundahan batinku. Bunga flamboyan menari dengan liukkan tubuhnya hendak menghiburku. Mereka menebarkan wangi segar, dengan taburan bunga yang jatuh di kepalaku. Sesaat mampu menenangkan batinku.
Duh, Gusti.
***
Halaman rumah ini terlihat asri. Beberapa bunga mawar berjejer warna-warni. Beberapa anggrek terpajang di dinding tembok pagar kayu, dan yang paling kusuka bunga margot putih yang sedang berbunga seolah menyambutku dengan senyuman. Pohon kemuning berdiri dengan rimbun menambah sejuk suasana.
Sesaat datang seorang wanita dari balik pintu. Sangat anggun, kulitnya putih bersih, rambut digelung ke atas. Senyum manis menghias bibirnya. Ia menggunakan kain kebaya hitam berselendang merah kamben putih. Tampak serasi di tubuhnya yang tinggi ramping.
“Ayu Sukma.” Kuulurkan tangan sambil menyebut namaku untuk memperkenalkan diri.
“Mari silakan masuk.” sambutnya dengan ramah. Ia bernama Bu Citra.
“Kita duduk di balai saja ya, biar lebih sejuk,” ucapnya sambil melangkah di depanku. Kutaksir usianya sekitar 40-45 tahun. Atau lebih tua, entahlah.
Aku mengikuti ayun tubuhnya dari belakang menuju balai yang ada di belakang rumah utama. Ada beberapa pohon kamboja, cempaka, dan pohon flamboyan yang sedang berbunga. Beberapa gamelan terlihat berjejer.
“Setiap hari Rabu dan Sabtu saya kumpulkan anak-anak muda untuk latihan megambel dan menari,” ucapnya saat melihat tatapan mataku tertuju pada gamelan. Pantesan tubuhnya gemulai ternyata penari, batinku kagum dengan keanggunannya.
Aku pun sangat suka menari. Hampir semua tari Bali bisa kutarikan. Aku sering menari di sanggar, bahkan di depan tamu asing. Misalnya saat Raka temanku yang guide mengajak beberapa tamunya menginap di hotel daerah Lovina. Aku paling suka menari tarian Wiranata, tari yang menggambarkan kesan gagah dari seorang penari serta cocok sekali dalam melukiskan seorang yang punya pengaruh dan wibawa seperti seorang raja. Namun akhir-akhir ini semua kegiatan itu tidak bisa lagi kulakukan. Penyakit yang kuderita membatasi segala gerakku.
“Ada yang bisa saya bantu, Ayu?” sapa Bu Citra dengan senyum yang masih menghiasi wajah cantiknya. Membuyarkan lamunannku.
Kuceritakan semua masalah sakit yang sudah hampir setahun menimpaku, juga beberapa pengobatan yang telah aku lakukan.
Bu Citra mendengar dengan sangat serius tentang kondisi kesehatan yang kuceritakan. Sambil manggut-manggut tanda paham dan mungkin bisa merasakan kondsi yang kualami. Ia permisi sebentar untuk ke kamar suci, tempat ia biasa melakukan puja setiap hari. Tak sampai lima menit ia keluar dengan membawa kotak hitam yang terukir bunga padma. Pasti di dalamnya kartu tarot, batinku.
Dari beberapa cerita yang kudengar dari teman-teman, ia sangat pintar dan ahli memainkan kartu tarot. Aku ingin mencari jawaban atas kekhawatiran tentang kondisiku. Kuyakini kalau kartu tarot bisa membantu menambah wasasan baru yang membantuku mengambil keputusan yang lebih tepat.
Walau kuyakini kartu tarot tidak dapat memprediksi masa depan, namun kuberharap kartu tarot dapat membantuku bagaimana langkah selanjutnya yang akan kuambil.
Jari-jari lentik Bu Citra menyusun tarot, mengocoknya, dan mengambil sembilan kartu kemudian membukanya dan menaruhnya di atas meja yang terukir bunga padma merah muda. Lama Bu Citra menatap kartu yang keluar, kemudian sejenak memandangku tepat di bola mataku. Jantungku berdegup menungggu kalimat yang akan keluar dari bibirnya.
”Jawabannya air,” katanya tanpa kumengerti maksud ucapannya.
“Apakah sakit yang akan kuderita akan berlangsung lama, Bu Jero? Atau apa yang mesti aku lakukan agar bisa segera pulih?” tanyaku agak terbata.
Tanpa menjawab pertanyaanku, tangannya sibuk merapikan kartu tarot dan memulai lagi menyusun mengocoknya berkali-kali serta mengeluarkan sembilan kartu tarot lagi.
“Jawabannya air lagi.” Bu Citra memperlihatkan kartu tarot itu ke hadapanku. Kulihat gambar seperti samudera luas, ya memang gambar air, tapi tidak kumengerti maknanya.
Bu Citra menatapku dengan tersenyum penuh misteri. Aku tidak paham apa arti senyuman itu.
“Duh Gusti, semoga Engkau menunjukkan yang terbaik untuk hidupku!” batinku.
Hampir setahun telah kulalui, tubuhku ringkih menahan sakit. Kupejamkan mata sambil menahan butiran bening menetes di pipi. Aku harus kuat, tegar, harus optimis, dan yakin dengan kasih Tuhan kalau semua ini pasti berlalu.
Bu Citra meraih tanganku, seolah memberi kekuatan.
“Ayu yang sabar ya, harus kuat dan optimis. Semua penyakit bisa disembuhkan,” katanya menghiburku.
Bu Citra menjelaskan hasil membaca kartu tarot tadi. Tiada batas waktu yang terbaca kapan sakitku akan pergi dari tubuhku. Sesaat roh dan jiwaku serasa melayang meninggalkan ragaku. Aku terkulai lemas mendengar penjelasannya. Direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya sambil mengusap rambutku yang hitam lebat. Kutenangkan diriku sambil merapikan rambut yang basah karena keringat dan air mata.
Selanjutnya Bu Citra menjelaskan makna air yang terdapat dalam kartu tarot.
”Ayu harus lebih sering terhubung dengan air, dan air adalah jawaban penyembuhan sakitmu,” ucapnya sambil mengusap-usap pundakku.
Hari telah siang saat kutinggalkan rumah Bu Citra, terlihat beberapa orang yang mengantri menunggu giliran mencari jawaban atas kekhawatirannya, masalah percintaan, karir, dan lain sebagainya.
***
Baju kebayaku basah karena keringat. Cuaca sangat panas, matahari sangat terik bersinar. Walau ada beberapa pohon pinus, cemara, ketapang, dan beberapa flamboyan namun semua terkalahkan oleh teriknya sinar mentari. Napasku ngos-ngosan menaiki tangga. Kulayangkan pandanganku ke depan. Masih ada beberapa anak tangga yang harus kulewati, mungkin puluhan anak tangga sebelum sampai di tempat tujuan. Kedua tangannku penuh membawa sesajen yang akan kupersembahkan sebagai sarana sembahyang dan melukat.
Orang pintar yang kudatangi pun menyarankan diriku untuk lebih sering melukat, dan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Hal itu sejalan pula dengan jawaban dari kartu tarot yang terbaca, bahwa air penyembuh sakitku. Semua itu secara logika bisa kuterima dan telah kulakukan dengan sepenuh hati. Melukat bagiku adalah ritual menyucikan atau membersihan diri dengan air suci untuk memperoleh kebaikan dan menjauhkan dari unsur-unsur negatif.
Tanpa terasa hampir dua tahun kudatangi tempat-tempat sumber mata air, entah itu sumber mata air di laut, sungai, di kaki bukit, dan di beberapa tempat suci yang ada sumber mata air.
Kakiku ringan melangkah menapaki puluhan tangga tanpa terasa lelah. Panasnya cuaca tak aku pedulikan. Badan terasa melayang menuju puncak tangga. Kuingin segera sampai ke pancuran. Kuliukkan tubuhku menyambut beningnya air yang mengelus-elus tubuhku, memelukku dengan mesra sambil mengusap seluruh tubuh mungilku. Terasa segar mengaliri seluruh pori-pori tubuhku. Jiwaku berbisik mengucap syukur pada semesta. Air mengikis deritaku, membersihkan segala kotoran yang melekat dalam tubuhku. Kubasuh wajahku, rambutku dan kuteguk beberapa kali air yang mengalir di pancuran.
Aku menari, melayang dalam buaian air yang menyapaku dengan mesra, kubenamkan wajahku menggapai ke kedalaman samudera terdalam, mencari kedamaian yang selalu menyambutku dalam kesetiaan.
Ada bisik-bisik kudengar dari saudara, kalau ada yang tidak suka dengan keadaan keluargaku dengan mengirim ilmu hitam untuk mencelakai ayahku. Bahkan Tante Widya, adik dari ayahku berceloteh kalau dia sudah menanyakan ke beberapa orang pintar, jawabnya sama.
“Ada yang iri. Sasaran sebenarnya adalah ayahmu, tapi karena kondisimu lebih lemah maka Ayu yang kena,” katanya sambil bibirnya sibuk mengunyah kripik kulit ayam.
Namun aku abaikan semua desas-desus yang tanpa bukti. Kupasrahkan semuanya pada Hyang Kuasa, pada pemilik semesta.
Jika kebencian bertunas, iri hati mengangkat topinya. Namun jika cinta kasih bertunas, kedamaian turun menetes bagaikan titik embun.
Di kejauhan kulihat matahari sudah tidak menyengat lagi. Ia terbenam ke arah laut. Air laut terlihat seperti garis yang menenggelamkan segala derita. Semuanya bagai lukisan. Lukisan senja yang telah mengakhiri kisah luka. Berganti rupa menjadi malam yang tenang, bersiap menyambut pagi. [T]