“Namaku Winda. Aku sedang hamil! Kau kenal Aditya? Ia pacarku, dan sekarang aku sedang mengandung anaknya! Kudengar kau pacaran dengannya!”
Seketika mata gadis itu merah melotot seperti hendak menelan tubuhku yang terpaku. Mulutnya gemetar, tangan mengepal, dengan napas satu-satu, bahu terguncang, separuh bajunya basah oleh keringat dan air mata.
Matahari seolah berhenti menyapa. Kurasa jantungku meloncat dari jiwaku. Rohku pun berhenti mengalirkan nadi yang mencipta raga berdenyut. Ini yang namanya petir di siang bolong? Tubuhku tergetar, membeku menatap gadis yang berdiri di hadapanku.
Kupandang gadis di depanku. Wajah yang tak pernah kukenal. Aku baru bertemu dengannya hari ini. Namanya pun baru kuketahui saat ini, saat dia dengan suara lantang, berteriak melengking memperkenalkan dirinnya. Wajah kusut dan mata yang sembab, terlihat seperti menahan beban yang teramat berat.
Kulirik perutnya yang sudah membucit. Kutaksir gadis ini masih muda, mungkin lebih muda usianya dariku sekitar dua tahun. Kulitnya putih bersih dan memiliki wajah yang cukup cantik. Rambut ikal sebahu terlhat indah walau kusut tanpa disisir.
Mungkin bajunya pun tak terganti seminggu. Ia terlihat sangat kumal. Ritual mandi mungkin menjadi hal yang aneh baginya. Bau tubuhnya agak mengusikku. Namun hal itu tak mengurangi gurat cantik wajahnya.
***
Ya, Aditya nama yang indah bagiku. Ia teman sekelas di satu SMA. Kami bertemu pertama kali saat pendaftaran di sekolah favorit di kotaku. Saat itu kami menunggu untuk daftar ulang di aula sekolah. Kami duduk berdekatan pada deretan bangku yang disediakan panita penerimaan siswa baru. Dia mengulurkan tanganya.
”Perkenalkan namaku Aditya.”
Aku gelagapan karena aku tak menyangka kalau momen itu terjadi. Kutatap matanya. Wow, mata hitam bulat bening dengan senyumnya yang menawan. Kulitnya coklat bersih dengan tubuhnya yang atletis. Pasti gemar olah raga, pikirku. Dengan ragu kuulurkan tanganku,
”Dinda”
Gengamannya terasa hangat dan darahku berdesir. Jantungku berdebar karena tatapan matanya.
“Dinda, nama yang manis, semanis orangnya.”
Uup.. kuyakin pipiku merona merah saat mendengar celetukannya. Segera kutarik tanganku dari genggamannya. Belum sempat kutata rasaku, terdengar namaku dipanggil panitia
“Dinda Ayuningtyas.” Aku bergegas menuju meja panitia tanpa menoleh padanya.
Aku berlari kecil menuju kelasku, semoga tidak terlambat. Kulirik jam tangan hadiah ulang tahunku yang ke-18. Masih ada waktu 5 menit sampai terdengar bunyi bel sekolah. Ini hari pertamaku mulai sekolah lagi, setelah liburan semester. Menggunakan seragam putih abu hanya tinggal menghitung minggu. Ujian kelulusan tinggal beberapa bulan lagi.
Aku menyusuri koridor. Terlihat beberapa foto siswa berprestasi yang terpajang dengan bangga atau mungkin dengan angkuh. Fotoku juga terbingkai di sana saat memenangkan lomba penulisan karya ilmiah tingkat Nasional. Tuti dan Aditya mengapitku yang kala itu mengacungkan piala kemenangan. Bangga bisa mempersembahkan yang terbaik untuk sekolah tercinta.
Kami bertiga sahabat karib. Walau hobi kami berbeda, kami sering dipertemukan dalam kelompok belajar penulisan karya ilmiah. Kedekatan itu pun bertahan karena kami satu kelas selama tiga tahun. Jadi, tiada hari tanpa kebersamaan yang kami lalui. Kebersamaan penuh cerita canda. Kadang terjadi pertengkaran kecil yang lebih melekatkan kebersamaan kami.
Kutahu Aditya menaruh hati padaku, namun kutampik dengan halus. Perhatian, tingkah laku, dan sorot matanya, menyiratkan rasa sayang dan cinta yang didambakan setiap gadis di bumi ini.
Kujingkrakkan kaki seperti penari salsa. Sesekali kuputar tubuhku menirukan penari balet sambil bersenandung lagu Do Re Mi. Seekor kupu-kupu terbang menari mengitari dan mendahului langkahku. Desiran angin mengelus wajah, mengusap lenganku seolah menyambut dan mengucapkan salam.
Kubergegas menaiki tangga menuju ruang kelasku. Kelasku ada di lantai dua. Bel berbunyi saat langkah kakiku mencapai ruang kelas. Terdengar suara di belakangku.
“Dasar penari!” Tangan Aditya mendekap pundakku dengan hangat.
Oups, langkahku terhenti. Dadaku deg deggan. Ada rasa kangen yang membucah, yang ingin bergelayut di hatinya. Kerinduan mengalir di setiap aliran nadi darahku. Tatapan, senyuman, dan suara yang selalu kurindu dalam diam. Tubuhku bergetar membeku.
”Semakin cantik,” bisiknya dengan senyum dikulum melepas tangannya dari pundakku menuju bangkunya.
Duh Gusti, malunya aku. Ternyata dia di belakangku tanpa kusadari. Jadi dia melihat apa yang kulakukan? Ah, masa bodo. Sedari kecil aku suka menari, setiap ada acara ulang tahun sekolah, atau acara pelepasan siswa. Aku selalu terpilih. Aku paling suka menarikan tari Oleg Tamulilingan. Tarian ini sangat indah. Tarian yang melukiskan gerak gerik seekor kumbang yang sedang bermain-main dan bermersa-mesraan dengan sekuntum bunga di sebuah taman. Tubuhku tinggi semampai, memiliki wajah yang putih bersih serta senyum yang manis mendukung gerakku menarikan tari Oleg Tamulilingan.
Belum sempat kuhempaskan tubuhku di kursi, Guru Wali telah berdiri di kelas. Pertemuan diisi dengan nasihat persiapan menghadapi ujian sekolah yang tinggal beberapa bulan lagi. Para guru berharap semua siswa lulus dengan nilai terbaik bahkan sempurna. Ocehan wali kelasku berlalu tanpa kuhiraukan. Pikiranku masih terbayang peristiwa pagi ini. Aditya tak pernah lelah mendekatiku. Kadang di saat tertentu aku nyerah, ingin membalas cintanya, selalu ada debaran halus menghampiri dadaku setiap beradu pandang.
Temanku Tuti menyenggolku, “Hai Din, baru hari pertama sekolah dah melamun, bahaya lho anak gadis pagi-pagi bengong, nanti ayam tetangga mati,” ledeknya.
Tuti temanku dari Sekolah Dasar, sampai sekarang pun bisa satu sekolah bahkan sekelas. Tuti suka bercanda. Kami selalu memeroleh ranking di kelas. Ia sangat suka basket. Tubuhnya yang tinggi langsing sangat mendukung hobinya. Bahkan saat ini dia menjadi team inti pemain basket. Walau hobi kami berbeda, namun di sisi lain, banyak hal sehati kami lakukan. Kulitnya agak coklat, mungkin karena sering di lapangan. Senyumnya manis dengan deretan giginya yang putih tersusun rapi. Aku hanya menatap dia sekilas tanpa peduli dengan ledekannya.
Bel sekolah berbunyi tiga kali. Itu pertanda pelajaran telah usai. Para siswa berhamburan keluar saling mendahului. Mungkin karena perut mereka minta diisi, sama seperti yang kurasakan.
“Din kau dijemput sopir?” tanya Tuti dengan napas terengah mengejarku.
“Kau kenapa sih, jalan seperti dikejar setan?” matanya tajam menatapku.
“Ya aku lari biar ngak ketemu dengan setan Aditya,” gumamku dalam hati. Entahlah aku hanya ingin menghindarinya. Aku takut dengan perasaan yang kurasa.
Terbayang di mataku, bagaimana kakakku Linda harus berhenti sekolah karena pacaran melewati batas, sehingga dia hamil. Ibuku pingsan saat guru BK datang ke rumahku untuk menanyakan keberadaan Linda yang sering alpa bahkan sudah tidak pernah datang ke sekolah. Saking sedihnya, ibuku sampai opname beberapa bulan di Rumah Sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Ayahku sangat marah dan terpukul karena peristiwa itu. Linda merupakan anak kesayangan, penerus harapannya untuk menjadi seorang pengacara. Sekarang harapan itu terbeban di pundakku. Segala gerakku diawasi dan dibatasi. Demi kebahagian orang tua, aku turuti keinginan mereka untuk tidak pacaran selama sekolah.
Akhirnya Ujian Sekolah telah terlewati, setelah sekian bulan terbenam dalam buku dan laptop yang melelahkan. Tinggal menunggu pengumuman hari kelulusan.
“Dinda, tunggu.” Terdengar suara yang tak asing ditelingaku. Aku menahan langkahku, Aditya berlari kecil menghampiriku. ”Kita ke kantin yuk, Din. Aku haus nih, lapar juga, belum sarapan.”
Belum sempat kujawab, ia menarik tanganku menuju kantin sekolah. Kantin tampak sepi karena belum jam istirahat. Kupilih kursi yang paling pojok, yang biasa kita gunakan bertiga kalau ada acara ritual ke kantin. Kali ini Tuti tidak ke sekolah karena ada upacara adat, begitu tadi isi suratnya untuk wali kelas.
Kualihkan pandanganku dari tatapan Aditya yang terlihat sangat serius. Aku gelagapan dengan tingkahnya. Ia memegang pipiku, agar menatapnya.
“Dinda, aku mau berkata serius padamu. Setelah ribuan hari kupendam rasa ini.”
Hatiku berdebar menunggu kalimat selanjutnya.
“Din, berikan aku kesempatan untuk menunjukkan kalau aku serius denganmu. Aku sangat mencintaimu, tak perlu banyak kata, akan aku buktikan cintaku padamu.” Katanya sambil mengusap-usap punggung tanganku, lalu menaruhnya di dadanya. Aku kaget, darahku tersirap, menahan gejolak di dada. Jujur, aku pun mencintainya. Kuberanikan diri menatap bola bening matanya.
”Aditya, rasa kita sama, namun perjalanan kita masih jauh, banyak asa yang perlu kugenggam. Ada harapan yang mesti kudekap, berbagai cerita yang mesti kuselami.”
Belum selesai kalimatku, Aditya langsung melompat, menarik tanganku dan memelukku sambil berteriak kegirangan.
”Jadi kau menerima cintaku kan Din?” Aku hanya bisa mengganggukkan kepalaku sambil tersipu.
***
Sekarang di hadapanku, seorang gadis bernama Winda, dengan perut buncit menatapku dengan sorot tajam.
Kilatan mata Winda menyiratkan amarah luar biasa, penuh nafsu ingin merebut kembali yang sudah merasa menjadi haknya. Kutarik napas yang dalam, kutahan dan kuhembuskan perlahan. Berusaha kutenangkan diri. Kupersilakan Winda duduk.
“Duduklah, Winda, kita bicarakan dengan tenang!”
Dengan kasar dihempaskan tubuhnya di sofa. Kusuguhi dia air minum.
“Silakan minum dulu!”
Matanya masih merah menyala menahan marah yang belum reda. Diliriknya air yang kusuguhkan dengan penuh curiga. Bibirnya yang mungil menyeroscos berujar, kalau dia sudah pacaran dengan Aditya selama dua tahun, mulai dari kelas IX. Mereka satu desa. Bisa dikatakan masih ada hubungan kekerabatan. Jadi sekarang baru kelas X dan pacaran kebablasan. Pemecatan dari sekolah menakutkan baginya. Yang lebih dia cemaskan adalah apabila Aditya meninggalkannya. Tangisnya pecah sesenggukkan. Tubuhnya terguncang dalam kepiluan. Aku elus rambutnya yang ikal, tangisnya semakin membuncah sambil memelukku dengan sangat erat. Aku bisikkan di telinganya.
”Percayalah, Aditya milikmu selamanya.”
Kutahan kelopak mataku, agar tiada butiran bening tumpah. Desir angin membelai-belai rambutku memelukku dalam lukisan senja. [T]
_____