Invasi Rusia ke Ukraina sudah berlangsung beberapa bulan, tidak terdapat tanda-tanda wilayah Ukraina yang dijadikan target operasi oleh tentara Rusia akan segera jatuh dan dikuasai penuh oleh Rusia.
Terjadi perlawanan sengit oleh tentara Ukraina, tidak sebatas membela diri, tetapi terjadi perang berkepanjangan melawawan invasi ini, dan Presiden Zelensky gigih mempertahankan negaranya dan tidak ada tanda-tanda akan lari meninggalkan negerinya. Perang dengan kerumitannya sendiri, Ukraina yang didukung oleh NATO dan AS di dalamnya, di mana Rusia merasa ancaman senjata nuklir begitu dekatnya, di “pelataran” depan sisi barat negerinya.
Perang yang jika tidak dikelola dan dinegosiasikan dengan baik punya potensi memicu perang nuklir di kawasan Eropa.
Perang ini melahirkan kerumitan tersendiri bagi perekonomian global, ekonomi global yang begitu tertekan selama pandemi selama dua tahun, ada tanda-tanda mulai mengalami pemulihan dan kembali tertekan akibat perang ini.
Embargo AS bersama sekutunya di NATO dalam bentuk sangsi ekonomi kepada Rusia dalam spektrum luas: mengeluarkan Rusia dari sistem pembayaran keuangan global, menyetop pembelian minyak mentah, gas, dan sejumlah komoditas lainnya dari Rusia. Pada sisinya yang lain, Ukraina adalah pemasok besar komoditas gandum bagi pasar global, sekitar 20 persen. Demikian juga Rusia, pemasok penting komoditas: gandum, pupuk, minyak bumi dan gas.
Kombinasi akibat embargo terhadap produk Rusia, terhalangnya kegiatan ekspor komoditas Ukraina akibat perang, membuat ekonomi banyak negara mengalami tekanan berupa kenaikan harga pangan dan harga energi.
Tekanan inflasi terjadi di banyak negara, termasuk di AS yang angka inflasinya telah mencapai 8 persen. Resesi ekonomi global selama dua tahun akibat pandemi, sekarang diikuti oleh stagflasi, kemandekan produksi berbarengan dengan naiknya harga-harga. Harga ekonomi yang harus dibayar dari perang Ukraina yang berkepanjangan.
Tantangan untuk Indonesia.
Menyebut beberapa saja dari tantangan yang dihadapi Indonesia, pertama, sebagai pemimpin, presidensi G 20 tahun ini, yang pertemuan puncaknya direncanakan berlangsung bulan November 2022 di Nusa Dua Bali, posisi kepemimpinan bisa dipergunakan dengan baik untuk melakukan lobi-lobi di antara anggota G 20 akan risiko besar ekonomi dan implikasi politiknya jika perang berkelanjutan.
Dengan prinsip politik Bebas Aktif disesuaikan dengan tuntutan situasi, dengan menghitung secara cermat kepentingan nasional, semestinya Indonesia bisa berbuat banyak dengan posisi Presidensi tersebut.
Kedua, ketidak stabilan ekonomi akibat kelabilan harga pangan dan pasokannya, sebagai importir gandum dengan jumlah besar sekitar 10 juta ton per tahun, tuntunan untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan ketahanan pangan termasuk program deversifikasi pangan, menjadi kebutuhan yang mendesak.
Ketiga, tekanan krisis ekonomi yang relatif diselamatkan oleh naiknya harga komoditas primer seperti: kelapa sawit dan batu bara, yang tidak rumah lingkungan dan bahkan merusak lingkungan, dan konon dikuasai oleh 21 taipan sawit dan batu bara, 21 pengusaha ini merupakan bagian dari 40 orang pengusaha terkaya di negeri ini.
Realitas ekonomi yang timpang ini plus tidak bersahabat lingkungan, sudah seharusnya dikoreksi melalui kebijakan ekonomi yang lebih berkeadilan, bersahabat dengan lingkungan sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. [T]