PAMERAN ADALAH satu bentuk cara seorang perupa mengartikulasikan kreativitas beserta gagasan-gagasannya kepada publik. Di dalamnya terdapat berbagai aksi atau kerja kreasi kompleks seperti merencanakan, menata, mengatur, merekayasa, mengelola serta menyusun bermacam elemen atas pertimbangan dan kepentingan tertentu untuk mewujudkan pameran itu sendiri.
Maka peristiwa pameran seni rupa sesungguhnya bukan hanya persoalan apa-apa saja materi karya yang tampil melainkan juga bagaimana mereka disajikan sebagai representasi atas suatu pemikiran atau nilai-nilai dalam suatu ruang yang telah dikondisikan penuh untuk diamati.
Lalu bagaimana dengan pameran TA (Tugas Akhir) yang sifatnya ‘wajib’ dilalui oleh mahasiswa seni tingkat akhir, dalam konteks ini adalah pameran yang dihadirkan para mahasiswa-mahasiswi dari program studi Pendidikan Seni Rupa angkatan 2019, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Bali. Pameran berlangsung 9-30 Januari 2023.
Pameranyang mengambil areal Galeri Kampus Bawah FBS sebagai ruang pameran ini merupakan luaran dari gabungan mata kuliah yang diambil oleh para mahasiswa tingkat akhir yakni konsentrasi TA (Tugas Akhir) Penciptaan serta Manajemen Pameran. Sehingga jelas materi karya yang tampil dalam pameran ini merupakan karya-karya hasil eksperimen dan eksplorasi terbimbing para mahasiswa/i bersama dosen pengampu dalam kurun waktu 1 semester.
Pameran ini pun selain bertujuan sebagai alat sajian pertanggungjawaban para mahasiswa atas kerja kreatifnya kepada khalayak juga sebagai pemenuhan kewajiban akademik mereka kepada para dosen pengampu matkul yang sekaligus merangkap bertindak sebagai kritikus atau evaluator.
Soal seberapa perlu adanya pameran TA semacam ini, kurator Hardiman pernah menyampaikan alasannya secara singkat dalam salah satu esai kuratorialnya. Menurutnya sebagai lembaga Pendidikan, Undiksha berkewajiban memproduksi calon pendidik seni yang juga adalah pelaku seni. Karenanya para mahasiswa prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha harus mengenali dunia seni dan aktivitas-aktivitas yang berlaku di sekelilingnya, berpameran dan mempersiapkan pameran adalah dua dari banyak hal mendasar lainnya yang perlu dikuasai.
Pada proses selanjutnya, para mahasiswa diminta untuk menjalankan sejumlah prosedur sebagaimana sebuah pameran biasanya dipersiapkan. Mulai dari menentukan sistem kurasi, mengatur lokasi pameran, memikirkan komunikasi publik, hingga memikirkan kerja manajemennya.
Maka oleh para mahasiswa yang berjumlah 20 orang ini dibentuklah kelompok yang mereka beri nama “Artmostfier” atas dasar ikatan “satu angkatan” sebagai wadah mempermudah komunikasi, koordinasi serta menyiapkan pameran.
Para mahasiswa tersebut alias peserta pameran ini adalah Ariyanti Okta Viana, I Putu Angga Tangkas Pratama, I Gede Suardika, I Putu Susila Adnyana, Ifan Setiawan, Yuliana Khairi Putri, Desi Nurul Komala Sari, Nova Erlina, Romi Hartono, Gede Sukradana, I Gusti Ngurah Alit Sudiarsana, Putu Tri Janu Budi Utama, Udis Suandi, Gede Wahyu Putra Pasek, Ahmad Nur Faizin, Weka Arum Salsadilla, Made Astangga Wahyu, Bilqis Dini Adzkiya Nisa, Kadek Rizky Setiawan, dan I Gusti Surya Wiwekananda.
Tema pameran ini mengambil istilah Exposition, berangkat dari bahasa latin “exponere” yang berarti memamerkan (to show) atau menjelaskan (to expose). Dalam dunia sastra istilah exposition (eksposisi) merujuk pada metode untuk memberi gambaran atau informasi terkait latar belakang suatu cerita untuk memudahkan pembaca memahami konteks cerita tersebut.
Sedangkan dalam dunia seni rupa, kurator Mikke Susanto menyebutkan bahwa kata ‘eksposisi’ merupakan salah satu bentuk peringai dari kata exhibition yang kemudian disepakati menjadi ‘pameran’.
Istilah Exposition ini lalu dipinjam oleh para peserta pameran dengan maksud membingkai keseluruhan karya-karya yang ditampilkan. Sebagaimana ‘membingkai’, adapun tema yang ditetapkan tidak bersifat untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan pembacaan yang ada, sebaliknya tema ini dipilih untuk memberi semacam stimulus awal pada audiens untuk mengamati karya-karya yang dieksposisikan para mahasiswa dalam pameran ini.
Apa yang dieksposisikan dalam pameran ini hadir secara beragam, bukan hanya karena pilihan konsentrasi penciptaan yang ditawarkan oleh kampus yang variatif dan tidak terbatas pada karya-karya 2 dimensi (seni lukis, grafis, prasi) tetapi juga 3 dimensi (seni kriya, seni patung) hingga disiplin Intermedia.
Tetapi juga karena pilihan pokok persoalan dari masing-masing peserta pameran yang juga berbeda-beda, mulai dari menyoal isu sosio-kultural, aspek historiografi, aspek material seni, kritik terhadap kerusakan alam, hingga persoalan identitas. Hal ini wajar saja mengingat Undiksha khususnya dalam prodi Pendidikan Seni Rupa-nya memang sejak lama telah diwarnai dengan kehadiran beragam identitas mahasiswa yang multikultur.
Pokok persoalan yang berbeda-beda itu, adalah muatan karya yang secara sadar coba digali oleh mereka untuk kemudian diuji dan diamati temuan-temuannya. Sebagaimana seorang ilmuwan berkerja, para mahasiswa yang juga (calon) seniman akademik dan pendidik seni ini lalu diharapkan dapat mempertanggungjawabkan hasil eksperimen dan eksplorasi mereka dalam bentuk statement yang argumentatif dan ilmiah.
Inilah yang disebut oleh Hardiman sebagai Jalan Laboratorium, yakni “satu proses pengasahan potensi yang bisa ditempuh pendidikan formal dengan melonggarkan praktik eksperimen dan eksplorasi sebagai nafas utamanya melalui prosedur ilmiah yang menempatkan dunia cipta seni sejalan dengan dunia ilmiah.. Melalui proses demikianlah para mahasiswa seni dapat memperoleh sejumlah penemuan ide, konsep, wacana, dan kualitas estetis.”
Maka sekali lagi pameran ini selain untuk menjadi panggung dalam mempertontonkan kreativitas mereka, lebih dari itu pameran ini juga ada untuk menunjukkan mereka yang telah berproses dengan sungguh-sungguh dan menghayati apa yang telah mereka kerjakan. Selamat bereksposisi para mahasiswa seni rupa Undiksha angkatan 2019! Semoga lulus! [T]
Batubulan 2023