Kakek Merdi mengusap peluh di kening, sembari tetap menyelesaikan pekerjaan membajak sepetak sawah. Sawah itu peninggalan leluhur turun temurun yang entah sudah dibagi-bagi ke banyak generasi. Yang ditinggalkan untuknya hanyalah sepetak kecil ini saja.
Dua ekor sapi bali dengan kulit coklat terang tetap semangat membantunya menyelesaikan pekerjaan itu. Entah sudah berapa lama kedua sapi itu menemani Kakek Merdi bekerja. Kakek Merdi begitu menyayangi mereka, pun kedua sapi itu jugamenyayangi Kakek Merdi.
Kadang pada saat istirahat dari pekerjaan bertani, Kakek Merdi mengobrol dengan kedua sapi itu sebagaimana mengobrol dengan sahabat. Meski si sapi hanya bisa menyahut dengan melenguh, entah mengerti entah tidak apa yang Kakek Merdi katakan. Tetapi sang kakek selalu merasa kedua hewan itu cukup cerdas untuk mengartikan ceritanya.
Bukankah menurut kepercayaan leluhur, sapi termasuk salah satu dari tujuh ibu yang patut dihormati? Merekalah yang membantu pekerjaan petani membajak sawah hingga menghasilkan padi yang begitu bernilai. Mereka juga yang memberikan susu sebagaimana kasih seorang ibu yang memberikan air susu kepada anak-anaknya.
Kakek Merdi menepikan sapi-sapinya dan melepas alat pembajak dari punggung mereka. Matanya seakan mengucapkan terimakasih kepada sapi-sapi itu. Selanjutnya tangan renta itu menuntun sapi-sapi menuju sebuah gubuk kecil di pinggir sawah. Gubuk itu berada tepat di bawah pohon kelengkeng yang cukup teduh.
Diberinya masing-masing sapi sekeranjang rerumputan yang dia dapat dengan susah payah. Memang sangat susah mendapatkan rumput segar zaman sekarang, tidak seperti ketika dia muda dulu. Pada waktu itu sangat banyak terdapat lahan-lahan kosong yang ditumbuhi rumput liar. Saat itu, mencari dua keranjang rumput segar tentu rasanya tidak begitu sulit.
Lain hal dengan sekarang. Tanah-tanah itu sudah tak lagi kosong dan hijau. Hamparan padang rumput dan sawah telah tergantikan bangunan villa-villa pribadi dengan tembok tinggi yang terlihat sumpek. Di sekeliling villa sudah terbangun supermarket megah dan restoran.
Kakek Merdi duduk melepas lelah di gubuk. Sesekali dia memegang dada kiri yang terasa nyeri. Namun sakit itu segera dia tepis. Dia bahkan tidak punya cukup uang untuk mengantarkan dirinya sendiri ke rumah sakit.
Lagi pula jarak rumah sakit yang cukup jauh membuat dia semakin enggan. Sementara ia sungkan merepotkan anaknya yang sudah berkeluarga. Anak laki-laki satu-satunya itu bekerja di sebuah hotel dengan gaji yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
Kakek meneguk sebotol air yang tidak sama sejuknya dengan beberapa tahun silam. Pria tua itu ingat, dulu selepas membantu orang tua membajak sawah, ia akan menceburkan diri ke sungai yang terletak tak jauh dari sawahnya.
Air sungai yang jernih melarutkan seluruh kotoran badan, menghapus segala pikiran yang gundah. Tenggelam dalam riak kecil yang bertemu bebatuan. Alunan sungai itu seakan sebuah melodi, abadi dalam ingatan usangnya.
Tapi sekarang aliran air sungai telah mengecil dan keruh. Sebuah river club mewah dibangun di tepiannya. Musik yang bising dari club itu seakan tidak memberikan kesempatan sang sungai untuk kembali berkidung seperti dulu.
Hembusan angin pun terasa panas, kehilangan kesejukannya. Tak terdengar suara kincir yang mengiringi anak-anak bermain layang-layang.
Asap dupa dari Pura kecil yang berdiri terlupakan di seberang sawah, seakan juga tidak kuasa membendung hiruk-pikuk tempat itu.
Seolah terseok terseret-seret dan kumuh. Orang-orang tak lagi terlalu peduli. Mungkin mereka sudah tidak ada waktu, untuk sesekali sekedar mendamaikan diri mendengar dentingan genta.
“Pak, tanah sawah kita akan saya jual. Saya tidak mau bertani.”
Begitu ucapan terakhir yang Kakek Merdi ingat, saat putranya hendak pergi bekerja. Tekad putranya sudah bulat sehingga dia tidak bisa berkata apapun meski hatinya sangat tidak rela.
Dia tidak rela kehilangan sepetak kecil tanah garapan. Tanah yang mengisi hari-harinya dalam kesendirian, semenjak ditinggal mendiang istri. Tanah tempat dia bercerita banyak hal kepada dua sapi kesayangan. Tanah peraduan hari tuanya.
“Mmmoooo…!”
“Mmmoooo…!”
Suara sapi yang bersahutan seperti mengerti kesedihan hati Kakek Merdi. Dia berusaha agar air mata tidak jatuh dari mata senjanya yang sudah rabun termakan usia.
Pikirannya gundah sekali. Ke mana dia harus bawa kedua sapinya jika tanah sawah dan gubuk ini dijual? Tidaklah mungkin dia bawa sapi-sapi itu pulang ke rumah. Para tetangga pasti akan protes karena bau kotoran sapi yang menyengat disertai lalat-lalat hijau yang beterbangan di pekarangan rumahnya yang sempit.
“Haruskah kalian aku jual juga?”
Kakek Merdi mengelus kedua sapinya dengan sayang. Sapi bali itu sangat dihormati leluhurnya. Leluhurnya melarang untuk menyembelih dan makan daging sapi itu. Sapi yang dihormati bagaikan seorang ibu.
Suara deru bus-bus pariwisata tampak mulai memadati jalanan di depan sawah kecil itu. Bus itu menuju ke sebuah lokasi pusat oleh-oleh besar. Barulah kakek tua itu menyadari, ternyata hanya tanah ini sajalah satu-satunya sawah di area itu.
Sawah yang kehijauannya berusaha bertahan memberikan oksigen, walau tampak sia-sia belaka. Sawah itu kalah melawan kepulan karbon dari kendaraan-kendaraan bermotor yang lewat.
Tempat itu telah sesak, bahkan tak nampak kepakan sayap burung bangau yang dulu sering datang bergerombol ke sawah untuk mencari makan. Burung bangau yang suka menggigiti kutu di tubuh para sapi yang duduk merumput karena kelelahan usai membajak. Jangankan dirinya, kedua sapi ini pun pasti juga merasa kesepian.
Ular sawah juga sudah lama tidak nampak. Mungkin sudah tidak ada tikus yang bisa dia makan. Kalaupun ular itu nekat masuk villa, pastilah berakhir dengan meregang nyawa di dalam villa itu.
Kakek Merdi menatap kosong tumpukan pupuk yang terlanjur dia beli. Dia yakin sebelum pupuk itu sempat dia habiskan, tanah ini sudah pasti telah terjual. Sangat cepat menemukan orang luar yang mau membeli tanah ini, karena lokasinya sangat strategis di pinggir jalan raya.
Dulu jalan raya itu hanya terbuat dari tanah. Tanpa semen tanpa aspal. Di pinggir jalan masih berjejer pohon-pohon kelapa dan semak belukar liar yang bunganya indah berwarna-warni.
Dulu saat belum banyak kendaraan berlalu-lalang, Kakek Merdi sering bermain bola dengan teman-temannya di sepanjang jalanan itu. Namun kini dia harus berteman dengan kebisingan yang sesekali menyusupkan rasa sepi. Memang, mengenang masa muda tidak akan pernah habis.
Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Kira-kira waktu menunjuk pukul enam sore. Entah sudah berapa lama dia duduk melamun. Setelah puas hanyut dengan berbagai kenangan indah dalam hidup, Kakek Merdi menuju sungai yang keruh. Membasuh tangan dan kaki keriput yang malah menjadi semakin kotor karena sungai kini berlumpur.
Kakek Merdi kemudian menuju Pura kecil di seberang sawah. Dia hendak mengadu kepada Sang Maha Sunyi.
Tangan keriput itu bergetar. Mencakupkan tangan dengan sekuntum kembang kuning yang dia petik sembarang. Sang Maha Sunyi tidak terlalu peduli persembahan apa yang terhaturkan kepada-Nya.
Meski hanya sekuntum bunga, seteguk air, sehelai daun, sebiji buah-buahan pun, akan Dia terima dengan senang hati dari seorang bhakta yang tulus ikhlas.
Lelaki tua itu berpasrah, larut dalam doa. Sesaat kemudian dalam doa itu, dia menyadari bahwa waktu hidup yang sudah dirasa sangat lama ini, tidak ada satu apapun yang bisa dia bawa saat menghadap.
Hanya sekuntum kembang ini, tiada yang lain lagi. Semua hanya sekadar titipan. Sehingga jika sesuatu itu pergi pun, sesungguhnya dia hanya harus mengikhlaskan.
Maka lepaslah! Lagi pula umurnya sudah cukup senja dan berat jika dia terlalu banyak memiliki, atau memikirkan untuk tetap memiliki.
Dia harus merelakan tanah peraduannya itu, bukanlah sesuatu hal kekal yang harus ditangisi jika sudah tidak bisa dia genggam.
“Hyang Maha Sunyi… Hamba ini papa*, perbuatan hamba papa, kelahiran hamba papa. Mohon ampunilah segala dosa hamba…”
Dalam pengaduannya itu, tiba-tiba tampak dia tersentak. Dadanya sakit sekali. Seketika detak jantungnyaterhenti. Dia tersungkur, menelungkup sendirian. Napas itu tiada, bersamaan dengan sekuntum kembang kuning yang terjatuh dari tangan.
Dari kejauhan terdengar suara dua sapi bersahut-sahutan. Suara itu lemah terbawa angin. Beradu dengan bisingnya kendaraan di jalan dan dentum musik river club.
Suara-suara itu kini terasa bagai kidung, yang menghantar pergi sehela napas jiwa renta yang lelah mengadu dalam kesendiriannya, mengantar dengan damai doa itu, tepat di hadapan Sang Maha Sunyi. [T]
Bali, 16 Oktober 2022
Note: Papa* : Hina penuh dosa
[][][]