Putu Winata menggelar pameran tunggalnya bertema Garden Of Intuition, Sabtu, (9/10/2021) di Gallery Zen 1 second floor coffee, di Jalan By Pas Ngurah Rai 86 Kesiman, Denpasar, Bali. Pameran dengan kurator Arif Bagus Prasetyo itu akan berlangsung hingga 10 November 2021. Tema pameran ini dipilih sebagai semacam pengukuhan betapa dekatnya Putu Winata dengan alam.
Secara teknis kekaryaan Putu Winata banyak dipengaruhi oleh karya Cecily Brown, Claude Monet, dan Cy Twombly dan beberapa tokoh gerakan post impresionisme, seperti Vincent Van Gogh dan Edvard Munch. Banyak kesamaan artistik yang ditemukan dengan beberapa tokoh itu.
Beberapa karya lukisan alam secara tehnik banyak mengadopsi gerakan impresionisme, yaitu suatu gerakan melukis dengan menangkap objek alam dan cahaya secara singkat dan cepat. Seperti karya yang berjudul Master, yang melukiskan Affandi, Not Yourself, Chinese Woman Under The Tree, jelas sekali secara gaya dipengaruhi oleh lukisan The Scream Edvard Munch.
Penggambaran alam secara goresan banyak ditemukan kemiripan dengan Cy Twombly dan Vincent Van Gogh. Namun Putu tidak mengadopsi teknik dengan mentah-mentah. Putu Winata dapat membangun ciri baru kekaryaan, dengan pilihan warna yang amat cermat, dan tidak menyamai tokoh seniman itu. Ini sangat berbeda dengan karya awal Putu sebelumnya ketika pameran dengan kelompok Sanggar Dewata Indonesia, karyanya banyak melukiskan bentuk-bentuk mikro organisme, seperti bentuk-bentuk sel maupun mikro organisme lainya.
Di dalam pameran itu tampak banyak kawan-kawan perupa Putu Winata yang alumni ISI Yogyakarta, hadir menyaksikan pameran ini. Antara lain I Made Sumadiyasa, Made Wiradana, Made Mangku Mahendra, I Made Djirna, Wayan Wirawan yang merupakan sahabat dekat Putu Winata, bahkan mantan Rektor ISI Yogyakarta Prof. Made Bandem dan istri turut hadir dalam pameran itu. Ada juga seniman asing seperti Richard Winkler turut hadir.
Akhirnya tingkah polah kocak Made Wiradana, dalam obrolan di pameran tersebut, membangkitkan memori masa kuliah di ISI Yogyakarta, yang banyak menyimpan kenangan yang lucu serta kocak. Wira Dana berhasil membuat tertawa pengunjung pameran.
Hingga membicarakan awal-awal saya kuliah di ISI Yogyakarta. Misalnya, ketika sembahyang ke Pura Bangun Tapan, dengan rombongan naik sepeda ontel, saya ketinggalan rombongan, akhirnya ditemukan Putu Winata dan Wayan Wirawan. selamatlah saya dari kebingungan, tidak tahu arah, menuju Pura Bangun Tapan. Itu menjadi memori kenangan sangat menarik awal awal di Jogja.
Pameran Garden Of Intuition Putu Winata kali ini sangat berkesan bagi sahabat-sahabat Putu. Secara serentak sahabat kuliah Putu di ISI Yogyakarta memberikan dukungan dan ucapan selamat untuk pameran dalam format video testimoni, seperti Putu Sutawijaya, Nyoman Masriadi, I Made Sumadiyasa, juga sesepuh Sanggar Dewata Indonesia I Gusti Ngurah Nurata, yang selalu memberi support dan bimbingan bagi seniman Sanggar Dewata Indonesia. Juga artis Katon Bagaskara, sahabat lama Putu yang sudah 25 tahun bersahabat baik, memberikan ucapan testimoni untuk pameran tunggal Putu. Semangat kekeluargaan Sanggar Dewata Indonesia begitu tercermin dalam pameran tersebut.
Ada hal yang menarik, awal-awal Putu Winata memberanikan diri untuk memilih kuliah di Jurusan Seni Rupa ISI. Ia tidak diperkenankan untuk kuliah di ISI Yogyakarta oleh kedua orang tuanya, melainkan orang tuanya ingin Putu melanjutkan bisnis keluarga dengan memilih pendidikan yang mendukung bisnis itu. Namun Putu tetap kukuh terhadap pendiriannya untuk kuliah di ISI Yogyakarta.
Bahkan penolakan itu membuat Putu sempat melakukan aksi mogok dan menyampaikan ekspresi dengan telanjang di rumahnya dalam beberapa waktu. Itu membuktikan jiwa senimannya sudah tumbuh waktu itu dengan ungkapan ekspresi yang meledak-ledak. Serentak tingkah polah Putu membuat khawatir kedua orang tuanya, dan akhirnya Putu tidak banyak pikir panjang dan pergi ke Jogja untuk memilih jalan hidupnya sebagai seniman dan bertemu beberapa sahabatnya, salah satunya Wayan Wirawan.
Wayan Wirawan bercerita, awal-awal Putu kuliah di Jogja, ia mengenalkan Putu ke sahabat angkatannya seperti I Putu Wirantawan, Nyoman Masriadi, Putu Sutawijaya, dan lain-lain, hingga bergabung di Sanggar Dewata Indonesia. Ia bahkan sempat menjadi sekretaris Sanggar dewata Indonesia, juga bersahabat dekat dengan Katon Bagaskara. Putu bersama Wayan Wirawan ikut terlibat untuk memberikan gagasan ide dalam pembuatan desain cover album Katon Bagaskara yang berjudul Damai dan Cinta.
Awal-awal Putu berorganisasi seni di Sanggar Dewata Indonesia, yang mana pada saat itu Wayan Wirawan sebagai Ketua Sanggar Dewata Indonesia, dan Putu Winata menjadi sekretaries, dan I Gusti Nyoman Nuarta sebagai penasehat, selalu memberi support banyak kepada adik-adik seniman dan memberikan saran dan strategi dalam persiapan pameran.
Ada ceriat menarik. Saat itu akan digelar pameran Sanggar Dewata Indonesia yang akan berlangsung di benteng Vredeburg Yogyakarta. Persiapan pameran banyak mengalami kendala, seperti kurangnya biaya pameran untuk pembuatan katalog, lighting dan lain-lain. Panitia pameran waktu itu kebingungan untuk mencari kekurangan dana. Ketua Wayan Wirawan bersama Putu Wirantawan, Pande Wayan Mataram, dan Ida Bagus Putra Atmaja, bingung mencari sponsor, sedangkan pameran sudah dekat.
Putu Winata sendiri tenang saja menghadapi suasana itu. Putu dengan santainya bilang, “Yan Wirawan, kekurangannya aku yang tanggung!”
Serentak kawan-kawannya kaget dan menyangsikan Putu. “Ci apa tawang Ci, Tu?!” Begitu kata temannya menyangsikan. Artinya, “Kau tahu apa, Tu?”
Putu dengan sikapnya yang selalu santun tetap tenang menghadapi situasi itu. Selang beberapa hari, lighting dan kekurangan biaya katalog ternyata sudah di-cover oleh Putu Winata. Lagi-lagi, kawan-kawan angkatanya kaget. Tapi kali ini bukan menyangsikan, melainkan mengucapkan terimakasih karena Putu dianggap telah menyelamatkan angkatannya dalam penyelenggaraan pameran.
Memang, dalam tradisi SDI di Yogjakarta, setiap angkatan harus siap jadi pengurus sebagai ajang untuk belajar manajemen seni, dengan segala kekurangannya siap ngayah untuk mencarikan solusi. Pameran itu memunculkan nama Nyoman Masriadi dengan karya yang di pamerkan, Mr. Beton.
Sikap santun dan dermawan Putu terbawa sampai di Bali. Ketika almarhum seniman I Nyoman Sukari yang waktu itu mengalami sakit parah, Putu dengan sukarela memberikan bantuan untuk mencarikan ambulance untuk seniman yang sekaligus kakak seniornya itu. Ketika pameran Sanggar Dewata Indonesia di Arma Museum dengan tema Irony In Paradise, Putu juga ikut memberikan sumbangsihnya untuk pembiayaan pameran. Sikap santun dan rasa kekeluargaan Sanggar Dewata Indonesia, Putu Winata, dan kawan kawan masih terjaga sampai sekarang.
Di Yogyakarta, jiwa dan karakter kesenimanan Putu banyak dibentuk dengan pendidikan seni secara formal maupun informal. Walaupun pergaulan seniman di Yogyakarta sebagian urakan, bahkan dalam segi penampilan pun banyak yang nyeleneh, seperti rambut di-dreadlock dan sejenisnya, Putu Winata, sedikitpun tidak terkena pengaruh semacam itu. Putu tetap santun dan tenang menghadapi kawan kawanya yang urakan dan tetap menjalin persahabatan.
Ia juga sangat dekat dengan budayawan Prof. Dr. I Made Bandem. Dengan beraneka pergaulan semacam itu, Putu Winata menjalani kehidupannya kemudian menjadi pengusaha sekaligus tanpa meninggalkan dunia kesenian. Pengalaman artistik dalam berkesenian dan kebudayaan ia padukan dengan pariwisata, ia sukses menjalankan usaha bidang perhotelan restoran, dan properti, yang selalu megedepankan unsur seni dan kebudayaan di dalam kegiatan usahanya. Selamat berpameran Putu Winata. [T]