DI TAHUN 1904, W.O.J. Nieuwenkamp, merupakan artis Eropa perintis yang berkunjung ke Bali, mendarat di Pelabuhan Buleleng, Bali Utara. Sebagai artis yang belum tahu banyak tentang Bali, ia telah mempersiapkan sebuah sepeda. Barangkali yang ia bayangkan sepeda adalah sebuah alternatif transportasi yang murah untuk menjelajahi Bali. Kenyataannya, sepedanya tertatih melewati jalan pedesaan Bali. Jalanan di Bali ketika itu tak banyak yang bisa lewati sepeda, dan yang tak pernah ia bayangkan adalah sepeda itu akan menjadi perhatian yang menghebohkan di jalan-jalan yang dilaluinya. Dalam perjalanannya ke Bali yang kedua, di tahun 1906, Nieuwenkamp sangat terkejut. Ia menemukan sepeda dan dirinya telah ”diabadikan” pada relief batu di Pura Meduwekarang, Kubutambahan, Bali Utara.
Gentuh Gumi
Tahun 1917 terjadi sebuah gempa dasyat di Bali. Almarhum kakek saya, yang tinggal di wilayah Seririt -Bali Utara, adalah salah satu saksi kekuatan guncangan gempa itu. Peristiwa itu ia sebut sebagai gentuh gumi (malapetaka bumi). Dari cerita-ceritanya, saya mendengar bangunan-bangunan rata dengan tanah ketika itu. Dari catatan perjalanan, foto dan lukisan-lukisan Nieuwenkamp, yang saya temukan dalam buku berjudul ”W.O.J. Nieuwenkamp, First European Artist in Bali” karya Bruce W. Carpenter, banyak bangunan-bangunan yang musnah dan berubah setelah kedatangannya, setelah gempa atau gentuh gumi itu.
Di Desa Pengastulan, Utara Seririt, sebuah candi bentar Pura Subak yang pernah Nieuwenkamp gambar dan foto di tahun 1904, betul-betul musnah setelah gempa di tahun 1917. Pura Meduwekarang, dimana sepeda Nieuwenkamp dan dirinya telah ”diabadikan” pada relief batu, juga tidak luput dari pengaruh guncangan. Tampaknya, pura itu mengalami pemugaran pada beberapa bagiannya. Di tahun 1937, Nieuwenkamp menemukan relief ”sepeda dan dirinya” juga telah dipugar.
Sebelum gempa tahun 1917, Nieuwenkamp dan sepedanya digambarkan ”realis”. Setelah pemugaran, relief seorang bersepeda itu masih dipertahankan. Namun, setelah tahun 1937 hingga kini masih kita bisa lihat, sepeda dan pengendaranya sudah ”di-Balikan”. Roda sepeda tidak lagi direliefkan dengan ban karet dan berjeruji besi. Tapi, roda belakang telah diubah menjadi bermotif bunga oleh pemugarnya. Ban depan telah diganti dengan ukiran Cakra, jeruji dalamnya diganti dengan Trisula. Orang yang mengendarainya, yang sebelumnya berpakaian nampak asing, telah diganti busananya dengan pakaian Bali, dengan udeng dan kamen.
Apa yang bisa kita lihat dari peristiwa gempa atau gentuh gumi 1917?
Dari cerita-cerita yang saya dengar dari almarhum kakek dan beberapa data sejarah yang sempat saya kumpulkan, banyak hal yang bisa kita pelajari dari gempa bumi tahun 1917. Antara lain :
1. Pura-Pura dan bangunan-bangunan banyak harus dipugar.
2. Beberapa unsur bangunan atau pura lenyap tak berbekas (tak dibangun kembali atau tak mungkin lagi dikembalikan seperti semula).
3. Yang mengalami pemugaran-pemugaran mengalami penyesuaian-penyesuaian ketinggian dan pertimbangan arsitektural yang nampaknya sangat mempertimbangkan kekuatan untuk menahan guncangan. Barangkali mereka telah memprediksikan bahwa gempa susulan akan datang pada tahun-tahun selanjutnya. Dan ini terbukti benar. Di tahun 1976, ketika gempa dasyat kembali mengguncang Seririt, menurut cerita Bapak Made Sanggra (penyair sepuh Bali) yang menjadi relawan kemanusiaan ketika itu, hanya bangunan Padmasana yang masih berdiri di kota kecil itu. (Selanjutnya kesaksian itu beliau tulis dalam bentuk sebuah puisi Bali, dalam antologi puisi Bali ”Kidung Republik”).
4. Dari Pura Meduwekarang, kita bisa melihat apa yang ”asing” di ”Bali-kan”. Relief bersepeda itu, yang merupakan bukti keberanian orang-orang Utara untuk memasukkan unsur ”profan” ke wilayah/ruang spiritual (pura), tidak dihilangkan ketika pembongkaran pura itu. Relief itu dipertahankan. Namun, secara estetika dan nilai, relief sepeda itu digugat dan didekonstruksi.
Gentuh Teknologi
Dari apa yang dimunculkan sebagai akibat Bom Bali 2002 dan Gentuh Gumi 1917, yaitu terguncangnya bumi (sekala dan niskala) dan terguncangnya tatanan spiritual dan psikologi masyarakat Bali, maka kita mesti belajar dari peristiwa 1917 itu.
Padmasana di kota Seririt, yang kukuh berdiri ketika gempa dasyat susulan di tahun 1976, telah membuktikan bahwa peristiwa buruk (gentuh) sebelumnya adalah ”pelajaran logika” dalam proses kematangan sebuah peradaban. Menimbang logika dan kematangan perhitungan dalam membangun adalah bekal dalam menghadapi gentuh-gentuh susulan yang pasti akan datang di masa depan.
Bom Bali 2002 ini adalah gentuh teknologi (bom), bukan gentuh gumi. Pelajaran logika apa yang sedang kita dapat dan akan kita kembangkan untuk mengantisipasi gentuh teknologi macam itu? Banyak intelektual Bali percaya bahwa membangun sistem keamanan adalah jawabannya. Kalau kita sejalan dengan pemikiran itu, maka sudah pasti sistem pengamanan itu harus sebuah teknologi super canggih. Sementara itu, dalam kenyataannya, sistem keamanan yang kita miliki sebagai orang Bali hanyalah pecalang, hansip dan satpam-satpam hotel. Mau apa kita dengan itu? Pada merekakah kita serahkan keamanan Bali dalam mengantisipasi kemungkinan datangnya gentuh teknologi susulan?
Atau kita percayakan saja kepada Ida Betara Kawitan dengan merasa cukup dengan menjalankan ritual atau pecaruan-pecaruan? Yang mendesak untuk kita bangun adalah sebuah sistem pendidikan yang utuh, sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang diasuh dengan cinta, yang nantinya mampu menghasilkan pemikir-pemikir Bali yang punya nurani, punya pemahaman estetika, dan visi ke depan (bukan otot-ototan melulu, tetapi otak-otakan). Dengan berbekal nurani, kalau mereka tidak bisa membuat sistem keamanan super canggih itu, setidaknya bisa mengoperasikannya dengan santun.
Pemugaran relief orang asing naik sepeda di Pura Meduwekarang merupakan sebuah pelajaran sejarah yang luar biasa. Momentum gempa 1917, oleh masyarakat dijadikan kesempatan untuk membongkar/memugar sesuatu yang ”asing” itu dengan cara yang sangat arif. (Ban belakang diganti dengan ukiran bunga. Ban depan telah diganti dengan ukiran cakra dan jeruji dalamnya diganti dengan Trisula. Orang yang mengendarainya, yang sebelumnya berpakaian nampak asing, telah diganti busananya dengan pakaian Bali, dengan udeng dan kamen).
Dalam pemugaran itu, ada nilai yang dipugar. (Dalam cultural studies, tindakan semacam ini bisa disebut dekontruksi). Ini sebuah pelajaran bagaimana semestinya kita ”memfilter” unsur asing, ”melokalkannya”. Sebuah kearifan bagaimana kita mesti ”memugar” sesuatu yang telah terlanjur ”keliru” kita bangun dengan memanfaatkan momentum gentuh.
Setelah gentuh teknologi yang kita alami (Bom Bali 2002), kita selayaknya memaknai peristiwa ini sebagai sebuah momentum untuk membongkar/memugar apa yang terlanjur salah kita bangun. Kita seharusnya membongkar ”kebekuan berpikir” bahwa pariwisata adalah pangeran yang suci dari dosa. Dalam banyak hal, pangeran kita ini telah melakukan kesalahan (Sudah banyak ”dosa kultural” yang secara langsung/atau tidak langsung telah ia perbuat).
Dalam kerja dekonstruksi budaya, apa yang ada (pariwisata/pangeran kita) tidak harus dihentikan atau dibunuh. Semestinya kita terpanggil untuk membongkar/memugar kekeliruan-kekeliruannya. Kita mesti meruat atau lukat pangeran kita agar ia tersadar, tidak terlalu loba dan bersikap lebih arif. Kita dituntut untuk memaknai diri kita (budaya Bali) dengan pemaknaan baru. Seni budaya yang telah ia jual, harus kita tebus kembali. Nilai-nilai yang ia tabrak, harus kita tegakkan dengan cara-cara baru.
Sepeda Budaya
Dalam mengadapi situasi kita sekarang, ”sepeda budaya” kita, ban belakangnya mesti kita ganti dengan ”bunga”. (Bunga adalah lambang sesuatu yang berkembang/mekar, sesuatu yang akan menjadi buah, sarana kita saat berdoa, keindahan paling alamiah yang bergantung pada ibu bumi/tanah. Tidakkah ini sebuah petunjuk agar kita memperhatikan dan kembali pada tanah/air kita, pertanian kita?). Sementara itu, ban depannya, sebagai pusat kendali, harus kita ganti dengan Cakra dan jeruji mesti kita ganti dengan Trisula. (Cakra adalah senjata Dewa Wisnu, simbol dari kekuatan penciptaan/stiti. Wisnu bersakti Dewi Sri, ibu kesuburan/ pertanian. Trisula adalah senjata Dewa Sambu, senjata bermata tiga yang penuh keseimbangan. Sebuah senjata untuk mengawal dan memperjuangkan keseimbangan).
Dan pengendara ”sepeda kebudayaan Bali”, sudah waktunya kita ”Bali-kan”. Pengendara itu mesti maudeng dan makamen. (Simbol orang yang mengetahui tata krama berpakaian. Pakaian = busana = cihna tingkah. Sebuah panggilan kepada siapapun yang mengutamakan budi pekerti).
Keberanian untuk menggantikan ”pengendara sepeda kebudayaan Bali” sangat mendesak. Kalau kita terus bergantung pada orang lain (pada nilai kapital yang mengejawantah dalam praktik-praktik percaloan tanah, investor yang seenaknya menggasak, dan kroco-kroconya yang rakus dan buta) untuk mengendarai sepeda kita, tanggung jawab untuk merawatnya tak bisa dipercaya. Mereka (termasuk kita) lebih banyak dibutakan karena kepentingan kita. Kita bisa melihat, kalau terus bergantung pada ”tukang ojek yang ngawur”, sepeda kita akan terus diobok-obok, dipaksa ditanjakan dan jalan-jalan yang berbatu dan berlubang. Saatnya nanti, bila sepeda kita (budaya Bali) mogok, besar kemungkinan mereka akan cuci tangan atau meninggalkan begitu saja sepeda kita di tengah jalan.
Sebelum jauh terlambat, sebaiknya kita sekarang ”mengambil kembali” sepeda kita yang telah lama kita serahkan pada pengendara ”asing” itu. Walaupun kita belum mahir mengendarai, dengan dasar sayang dan kasih untuk merawat sepeda kebudayaan kita, cepat atau lambat, di antara kita akan tumbuh pengendara sepeda yang handal. Kita bersama mesti saling topang agar tidak terjadi, membimbing siapa yang punya niat tulus untuk mengendarainya. Bukan saling sogok saling tonjok, penuh nafsu berebut mengendarai ngebut kalang kabut (padahal tak punya kemampuan), pada akhirnya kita semua jatuh jumpalitan. Babak belur tak karuan.
Keberadaan dan pemugaran kembali relief sepeda di Pura Meduwekarang setelah gempa 1917, bukan hanya penanda telah masuknya sesuatu yang ”asing” ke wilayah pura/ruang spiritual kita. Tetapi juga petunjuk/pelajaran bagaimana sebaiknya kita ”mencerna” apa yang ”asing” itu dengan sistem nilai dan estetika kita. Untuk secara jernih dan arif dalam memugar apa yang telah rubuh, untuk berani membongkar ”kebutaan” dan ”dosa-dosa kultural” kita. Sebuah pelajaran sejarah bagaimana nenek-kakek kita memaknai gentuh sebagai sebuah momentum untuk ”bertobat” dan kembali menata diri. [T]
*Tulisan ini adalah Catatan Harian Sugi Lanus, Periode Desember 2002.