Siapa yang tak kenal I Nyoman Manda? Bagi penggiat sastra khususnya sastra Bali modern pasti sangat mengenal sosok yang satu ini. Disamping dikenal sebagai kepala sekolah di SMA N 1 Gianyar, Nyoman Manda ternyata pernah menduduki berbagai macam jabatan dalam hidupnya. Salah satunya anggota DPR Gianyar. Namun Nyoman Manda yang lahir pada tanggal 14 April 1938 ini lebih dikenal sebagai sastrawan Bali modern setelah menciptakan begitu banyak karya sastra baik cerpen, novel, puisi, naskah drama, dan lain-lain.
Berbagai macam penghargaan telah diraihnya. Baik ditunjukkan kepada profesinya sebagai guru maupun sebagai sastrawan. Beliau pernah mendapatkan penghargaan sebagai guru teladan. Karya-karyanya banyak juga mendapat penghargaan. Sebut saja cerpen yang berjudul Togog, yang sempat dibacakan secara online oleh Putu Eka Guna Yasa. Masan Cengkeh Nedeng Mabunga merupakan naskah drama yang juga mendapatkan penghargaan. Untuk Rancage sendiri beliau sudah 3 kali meraihnya. Baik sebagai pelestari sastra Bali modern maupun untuk karya-karyanya. Novel Bunga Gadung Ulung Abancang yang bersumber dari Babad Dalem Tarukan dan Novel Depang Tiang Bajang Sekayang-kayang.
Banyak lagi karya beliau yang sudah diterbitkannya. Karena memang beliau adalah sastrawan Bali modern yang paling produktif diantara sastrawan lainnya meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Kalau tidak salah usianya sudah hampir 90 tahunan. Sebagai sastrawan dengan lebel paling produktif dalam menelorkan karya tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya tentu semakin banyak karya sastra yang muncul dan memperkaya khasanah sastra Bali modern. Tapi di sisi lain yang patut dicermati adalah kualitas dari karya tersebut. Dengan banyaknya karya yang hadir tiap tahun, apakah sesuai dengan kualitas yang dihadirkan? Iji perlu kajian yang lebih dalam. Agar tidak buat karya banyak tapi untuk urusan kualitas malah semakin menurun dan terkesan asal-asalan membuatnya.
Kali ini saya akan mengulas sedikit tentang novel karya Nyoman Manda yang dibuatnya pada tahun 1999 tepat setahun setelah kejadian kerusuhan di Jakarta, dan merupakan awal dari era baru, reformasi. Novel tersebut berjudul Sayong yang artinya kabut. Apa kaitan reformasi dengan novel Sayong, tentu tidak ada. Karena isinya memang bukan tentang kejadian 98. Tapi isinya adalah tentang persengketaan tanah yang terjadi di daerah Nyebeh, Bangli. Seperti ciri khas karya Nyoman Manda, nuansa percintaan sebagai titik beratnya.
Saya akan mencoba mengulas kelebihan dan kekurangannya saja. Tidak membedahnya secara sistematis dengan kajian intrinsik. Karena memang Novel Sayong ini adalah novel lawas yang saya coba munculkan ke permukaan. Sebab, nampaknya banyak dari kita yang tidak tahu isi dari Novel Sayong ini. Mudah-mudahan dengan ulasan singkat ini akan lebih dekat lagi dengan Novel Sayong.
Cover, kualitas buku dan tentang buku secara keseluruhan.
Pertama saya akan bahas masalah cover buku, sebelum ke kelebihan buku tersebut. Cover buku Sayong sama halnya dengan buku Nyoman Manda yang lainnya, sangatlah sederhana. Dibuat dengan kertas yang kualitasnya bisa dibilang biasa. Karena mungkin Nyoman Manda mengetik karyanya dan dilayout secara sederhana kemudian dprint 1 buku, lalu di fotokopi sebanyak yang penulis inginkan. Lalu fotokopian tersebut dijadikan buku. Mengapa saya bisa bilang seperti itu? Karena di dalam buku masih terlihat bercak-bercak hitam khas habis difotopi. Namun ada yang menarik di bagian cover, ada gambar dua orang wanita lagi nyuun barang dagangannya ke pasar. Di belakangnya ada seorang anak kecil yang nampaknya seperti mengucapkan selamat jalan. Saya teringat lagu Cening Putri Ayu. Ibunya ke pasar, dan anaknya minta oleh-oleh. Kejadian di cover tersebut saya kira pagi hari. Karena pasar kebanyakan buka pagi hari. Dan ada cahaya matahari yang mucul di gambar sebagai tanda bahwa gakbar itu diambil pada pagi hari. Saya tidak tahu dimana penulis mendapatkan gambar tersebut, karena memang tidak ada sumbernya.
Jadi memang sangatlah sederhana apa yang ditampilkan Nyoman Manda jika diliht dari cover dan kualitas dari buku tersebut. Belakang bukupun tidak berisi apa-apa. Hanya warna putih yang merupakan warna asli dari kertas cover.
Novel Sayong terdiri dari 13 bab dengan jumlah halaman 90an. Ada pertanyaan yang menggugah hati saya. Mengapa harus 13 bab? Menurut saya pribadi, kemungkinan penulis ingin mematahkan mitos angka 13 yang dibilang sebagai angka sial. Mengapa demikian? Karena tepat di bab 13 itulah merupakan akhir dari novel Sayong ini. Dan di bab 13 inilah akhirnya adalah happy ending. Jadi secara otomatis tercipta kebahagian di angka 13 yang dianggap angka tidak baik oleh banyak orang.
Kemudian masalah judul. Mengapa harus Sayong? Apakah Sayong yang merupakan kabut ini selalu dibahas didalam novel? Sayong memang dibahas dalam novel tersebut tapi tidak secara detail, karena untuk mempertajam setting tempat saja. Ada dua alasan yang menurut saya mengapa penulis menggunakan Sayong untuk judul bukunya. Pertama, karena settingnya tempatnya berada di daerah Kintamani, tepatnya di daerah Nyebeh dan beberapa di Kayuamba. Karena daerah pegunungan, sering ada kabut yang turun, meskipun tidak selalu ada, karena tergantung cuaca.
Kedua, mungkin saja dari kata Sayong ini penulis ingin secara implisit ingin memberitahukan kepada pembaca bahwa kisah didalam novel Sayong ini seperti kita berjalan di dalam kabut yang tebal. Pandangan kita akan dikaburkan, dan kita susah untuk melihat jalan yang akan kita lewati. Salah-salah bisa jatuh ke jurang. Seperti itulah kisah di novel ini. Tokoh antagonis membabi buta menggunakan segala cara sampai lupa mana yang baik dan mana yang buruk. Seperti ditutupi kabut tebal.
Kelebihan Novel Sayong.
Ada beberapa kelebihan dari Novel Sayong ini.
Pertama, penulis memunculkan tradisi-tradisi atau kebiasan-kebiasaan yang ada ditahun 90-an yang kini masih hidup dan mungkin sudha ada yang mati. Contohnya, nginang, makan sirih yang berisi kapur, gambir, buah dan lain-lain. Tungku api dengan menggunakan kayu bakar setelah itu dimasukkan ketela rambat di dalam api tersebut, kalau di Bali disebut nambus sela. Ada juga tradisi makutu artinya saling mencari kutu. Giliran. Banyak lagi kebiasaan-kebiasaan yang saat ini jarang dilakukan. Karena perkembangan jaman hingga mengikis kebiasaan-kebiasaan lama tersebut.
Kedua, bahasa yang digunakan di dalam novel Sayong ini adalah bahasa keseharian. Yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi sangat mudah di pahami oleh pembaca. Dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis akan sampai dengan baik kepada pembaca. Karena ada dua jenis penulis mungkin juga pembaca yang sering kita lihat. Pertama ada penulis/pembaca yang lebih suka dengan bahasa-bahasa ringan yang mudah dimengerti. Dan ada juga penulis atau pembaca yang suka dengan gaya tulisan makulit dalam artian kita tidak bisa secara langsung mendapatkan artinya. Kita harus mendalami benar-benar apa yang dimaksudkan oleh penulis. Ini butuh konsentrasi tingkat dewa. Kadang pesan yang ingin disampaikan penulis tidak sampai kepada pembaca, karena saking sulitnya mencerna apa yang ditulis.
Ketiga, adalah kosakata yang digunakan sangat bervariasi. Sebagai penglingsir di sastra Bali modern dan juga dengan segudang pengalamannya, kosakata yang digunakan sangat bervariasi. Ada bahasa Bali yang biasa digunakan sehari-hari, ada juga bahasa Bali yang jarang didengar di keseharian. Tentu ini sangat bagus, mengingat generasi muda sekarang terutama penulis muda masih banyak belum tahu kata-kata kuno yang jarang dipakai selama ini. Novel Sayong ini patut dibaca untuk memperkaya pembendaharaan kata para pembaca dan penulis muda pada khususnya.
Keempat, pada Novel Sayong ini seakan-akan pembaca dibawa kedalam nuansa Bangli pada era 90-an. Meskipun tidak secara keseluruhan, tapi setidaknya novel Sayong ini merupakan salah satu arsip penting bagi daerah Bangli dimana terdapat suasana Bangli khususnya daerah Nyebeh dan Kayuamba. Ada yang menarik di dalam novel Sayong ini. Disinggung sedikit tentang Bangli yang mengalami kemajuan pesat di tahun 90-an. Setelah saya cek Bupati yang berkuasa waktu itu adalah Ida Bagus Gede Ladip yang sudah almarhum. Beliau menjadi Bupati dua periode tepatnya dari tahun 1990-2000. Beliaulah Bupati terakhir di era orde baru. Setelah itu kita mengalami reformasi besar-besaran.
Memang di Bangli tahun itu mengalami kemajuan. Ada beberapa tetua yang saya tanyakan, dan mereka mengakui hal tersebut. Hal ini juga dibuktikan dengan penghargaan Adi Pura pertama kali dan beruntun di dapatkan oleh pemerintah Kabupaten Bangli saat itu. Dan penghargaan dari Presiden karena dianggap sebagai pemerintah yang berhasil memajukan pembangunan daerahnya. Lalu bagaimana dengan Bangli hari ini? Kita bicarakan lain nanti saja, karena susah menjelaskan di sini. Rumit.
Ada hal yang lebih menarik lagi, Nyoman Manda selaku penulis bukanlah orang Bangli. Beliau berasal dari Br. Teges, Gianyar. Tapi meskipun beliau bukan dari Bangli, beliau mampu menjelaskan keadaan Bangli meski tidak secara detail. Tentunya beliu sering datang ke Bangli. Mengingat beliau bersahabat dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang memiliki padepokan sastra di tepi Danau Batur.
Kelima, tokoh Koyogan menurut saya yang paling berhasil di eksplore oleh Nyoman Manda. Sangat berkarakter. Tidak goyah karakternya sebagai tokoh antagonis. Meskipun temannya sendiri Bantar yang sudah mulai sadar, mencoba merayu koyogan untuk kembali ke jalan yang benar, tapi dia gagal. Koyogan tetaplah Koyogan yang kasar, keras dan usil. Dia pernah mencoba memperkosa Luh Nerti. Mencarikan minyak mungkin nyong-nyong ke dukun sakti. Terakhir dia hampir membunuh kedua orang tuanya karena tidak memberikan tanah warisan leluhur untuk dijual. Benar-benar brutal. Dan saya merasakan keberhasilan penulis mengolah karakter Koyogan.
Kelemahan Novel Sayong.
Tentu sangat tidak objektif jika saya hanya mengulas kelebihannya saja. Maka untuk menyeimbangkannya saya mencoba memaparkan kekurangan dari Novel Sayong tersebut.
Pertama, tentu masalah cover buku. Ini menjadi sebuah kekurangan karena kita tetap harus memikirkan cover sebagai sesuatu yang sangat penting dalam proses pembuatan buku. Sampai saat ini buku karya Nyoman Manda sangatlah sederhana, terutama covernya. Di sini tentu ada beberapa faktor mengapa penulis memutuskan untuk sekadar membuat cover buku. Mungkin saja karena penulis lebih mengutamakan isi dari pada kualitas cover dan buku. Atau mungkin untuk mengirit cost yang keluar, mengingat sangat jarang ada orang yang mau membeli buku Sastra Bali modern.
Namun, jika kita tarik lebih jauh lagi, kebersemangatan beliau yang patut dicontoh. Semangat dalam menjaga dan melestarikan sastra Bali modern dari dulu sampai sekarang. Dan yang membuat saya terkejut adalah ketika lagi semarak-semaraknya kegiatan membaca cerpen berbahasa Bali oleh Suara Saking Bali, muncul melalui akun facebook pribadi Nyoman Manda, dimana diunggah majalah Satua dan Canang Sari terbitan terbaru. Luar biasa. Dengan umurnya yang tidak muda lagi, Nyoman Manda masih eksis berkarya dan mengumpulkan karya para penulsi sastra Bali modern ke dalam bentuk majalah. Ya, meskipun sekali lagi penampilannya sangatlah sederhana.
Kedua, ada beberapa bab di Novel Sayong ini yang tidak kuat, dalam artian isinya hanya sekadar percakapan yang menurut tiang kurang penting. Tidak ada kenaikan tensi para tokoh, ataupun suasananya. Tidak ada kenaikan konflik. Saya sebagai pembaca tidak merasa gregetan membaca beberapa bab. Jadi, ada beberapa bab seakan hanya difungsikan sebagai jembatan biasa saja. Tanpa ada variasi apapun. Jembatan yang menjembatani bab yang satu ke bab selanjutnya. Sangat datar.
Ketiga,beberapa ada percakapan yang menurut saya mubasir. Terlalu panjang tapi isinya kurang berbobot. Contohnya rayuan-rayuan gombal ala Wayan Runaka terhadap Luh Nerti. Terlalu banyak, Karena menulis novel bukan hanya sekadar menarasikannya secara panjang sehingga novel semakin tebal. Memang novel tebal sangat bagus, tapi yang paling bagus adalah menarasikannya dengan baik dan panjang tapi berbobot. Bukan sekadar membuat percakapan-percakapan biasa.
Keempat, ending cerita yang sangat mudah ditebak. Para pembaca novel ini sangat mudah menebak ending dari novel ini. Karena bagi yang sering membaca atau menonton sinetron, maka akan sangat mudah menebak alurnya. Ending cerita ini adalah Koyogan hampir membunuh kedua orang tuanya, dan Luh Nerti sudah kembali normal setelah hampir kena guna-guna dari Koyogan. Akhirnya Koyogan ditangkap polisi, dan Luh Nerti menikah dengan Wayan Runaka dan hamil. Mereka hidup bahagia.
Kesulitan
Kesulitan yang saya alamai adalah masalah tema yang diangkat. Ini saya taruh di kekurangan paling akhir karena sangat sulit menentukan temanya. Tapi akhirnya saya sebagai pembaca lebih memilih kehidupan percintaan remaja sebagai tema novel ini. Meskipun di dalamnya penulis menyelipkan konflik mengenai sengketa tanah, tapi kehidupan percintaan antara Wayan Runaka dan Luh Nerti dengan Koyogan sebagai pihak ketiga lebih sering ditampilkan di dalam novel dengan berbagai macam konfliknya. Baik ketika Luh Nerti digoda, hendak diperkosa, dicari ingin diguna-guna dan lain-lain. Begitu juga Wayan Runaka dikeroyok oleh Koyogan karena memang Koyogan cinta mati dengan Luh Nerti. Akhirnya cintanya kandas ditambah masalah tanah yang hampir membunuh keluarganya, menambah derita si Koyogan.
Begitulah sepintas ulasan tentang Novel Sayong karya Nyoman Manda yang diterbitkan tahun 1999. Saya mencoba mengulasnya sedikit dari kacamata saya sebagai pembaca. Namun, sekali lagi kekurangan dan kelebihan itu selalu berdampingan. Karena buku yang sudah dilempar ke permukaan adalah sudah jadi milik pembaca untuk menilainya. Dan penulispun harus siap menerima kritik yang konstruktif sehingga mampu kedepannya lebih baik dalam menulis. Semoga bermanfaat apa yang saya ulas secara sederhana. Amatlah baik jika para sahabat ingin membaca novel Sayong ini untuk mengetahui lebih dalam lagi cerita yang disuguhkan oleh penulis.
Salam sastra