Begitulah ibuku membawa janin dalam kandungannya, meniggalkan tragedi penyemblihan di desa. Dalam cerita ini, aku tidak bisa menulis kemana ibu membawaku. Ini soal yang sangat peka dan untuk menjaga nama baik sebuah keluarga yang memberi ibu dan janin dalam kandungannya perlindungan.
Tak ada cerita mengenai ayah. Juga tidak pernah aku latah bertanya tentang ayah. Ketika kanak-kanak, tidak berpikir jauh tentang seorang ayah karena bagiku tidak semua anak memilikinya.
Dalam dunia binatang, anak-anaknya hanya memiliki ibu yang mengasuh sampai usia tertentu. Karena itu, seorang ibu sudah cukup. Tanpa ayah, hidupku baik-baik saja. Bahagia. Ketika ada yang bertanya tentang ayah, aku menjawab biasa saja, bahwa aku tidak punya, tapi aku punya ibu. Sama sekali pertanyaan-pertanyaan tentang ayah tidak pernah mengganggu diriku.
Ketika di SMP untuk pertama kali aku memikirkan ayah karena harus mengisi biodata siswa baru. Maka kutanya ibu. Pun diberitahu nama ayahku, I Made Wirawan. Aku tulis nama ini di formulir. Setelah itu aku tidak peduli.
Sampai suatu hari guru sejarah mengajar di kelas dan berkisah tentang tragedi dan darah. Aku mulai ragu. Jangan-jangan ayahku anggota partai terlarang. Lalu dibunuh oleh algojo bercadar hitam. Jadi, karena inikah ibu tidak pernah bercerita tentang ayah? Dan selebihnya aku merasa disudutkan oleh pelajaran sejarah.
Aku pun tidak berani bertanya lebih jauh soal ayah kepada ibu. Aku simpan rapi. Pandangan masa kecilku soal ayah tetap saja tidak membuat aku sedih. Yang mulai masuk di pikiranku tentu saja tragedi berdarah dalam pelajaran sejarah sekolah. Apakah mungkin ayahku menjadi bagian tragedi, bahkan korbannya? Apakah ayahku diseret jeep? Apakah ayahku juga ditebas pedang seorang kokap atau algojo bercadar hitam? Apakah sisa darah di pedang itu juga darah ayahku yang dijilati rame-rame para kokap dalam liturgi penyemblihan tengah malam?
Aku bisa melewati setiap tahapan sekolah dan setiap mengisi formulir, biasanya selalu meminta nama orang tua, dalam hal ini nama ayah. Cukup aku isi keterangan “almarhum” atau “alm.” agar lebih aman. Keterangan ini bagiku sebatas formulir. Karena itu aku tidak memiliki rasa duka ketika menulis keterangan “almarhum” pada kolom nama ayah.
Di universitas aku semakin dekat dengan misteri ayah. Bermula pada sebuah tugas penelitian lapangan, kekagumanku kepada sebuah desa di Bali yang hidup berdampingan dengan ribuan kokokan. Walaupun memang aku tidak mampu memecahkan misteri itu, namun berkenalan dengan sebuah paham “jiwa-jiwa yang hilang” di masyarakat desa ini. Aku larut dalam pandangan masyarakat yang mengaitkan koloni burung kokokan ini dengan penjelmaan jiwa-jiwa yang hilang dalam tragedi.
Inilah cerita yang kucatat dari informan.
Bermula jumlah burung kokokan hanya beberapa ekor di desa kami. Setelah peristiwa pembantaian massal di Bali antara akhir 1965-sepanjang 1966 (sumber terbaru tentang ini dalam bahasa Indonesia baca Robinson, 2018), jumlah burung berkali lipat. Warga terperangah. Kami semua bertanya-tanya, mengapa begitu jinak? Sebagai orang Bali, kami terbiasa mencari jawaban persoalan hidup sehari-hari di alam niskala dan bukan dalam sejarah!
Seorang informan yang lain menuturkan kisah seperti ini.
Tidak ada burung yang benar-benar jinak. Tapi inilah yang terjadi pada kokokan di desa kami. Karena itu kami semakin takut mengusir, apalagi membunuhnya. Jalan terbaik bagi kami hidup berdampingan. Namun bagi kami hal ini tidak cukup karena dalam keyakinan, pasti ada musababnya. Kami pun tidak sepenuhnya bisa menerima kokokan di desa kami murni sebagai burung. Tapi apa? Kami menemukan jawabannya dari mimpi sebagian besar warga. Mimpi-mimpi itu mengatakan hal yang sama. Burung kokokan penjelmaan jiwa-jiwa yang hilang atau jiwa para korban tragedi 1965 di seluruh Bali.
Dari informan yang lain aku catat sebagai berikut.
Ketika tragedi meletus, keadaan di Bali amat kacau, mencekam, dan tidak jelas siapa kawan dan lawan. Apakah mereka yang terbunuh, menjadi korban tragedi, salah? Sebaliknya, para pembunuh adalah kelompok yang benar? Apakah ada dasar untuk menyalahkan ideologi atau keyakinan? Maka, jalan yang dipilih untuk membenarkan ideologi atau aksi membunuh pengikut ideologi hanya satu: kekuatan militer, senjata, dan teror jiwa, dan mungkin bantuan luar negeri.
Aku mencoba menyimpulkan:
Para korban tragedi tidak bersalah dan para pembunuh juga tidak benar.
Maka sampailah aku kepada jawaban, mengapa koloni kokokan kini amat terhormat di desa ini, seperti penuturan seorang warga.
Bagi kami, memuja atau memuliakan kokokan adalah cara meminta maaf kepada sejarah, kepada masa silam. Kami percaya jiwa-jiwa yang hilang itu kini hidup di desa kami dalam penjelmaan ribuan burung kokokan. Sikap kami ini untuk menebus dosa dan permohonan maaf. Dengan cara ini, kami yang masih hidup merasa lebih tenang, setidaknya dengan mengaku salah. Kami sama sekali bukan pemenang. Kami juga sama seperti jiwa-jiwa yang hilang, korban yang hidup dan menanggung malu atas kebiadaban tindakan di masa silam. Jiwa-jiwa yang hilang itu, bagi kami, sama sekali bukan pecundang.
Informan lainnya menyatakan:
Kami memuliakan mereka semua, memujanya sebagai dewa dalam wujud ribuan burung kokokan di desa ini. Warna putih bulunya, mencerminkan kesucian. Kami harus bisa menerima kebenaran semua ideologi. Karena mungkin saja, ideologi apapun menjadi salah dalam konstelasi dengan ideologi lain. Jika ideologi sebagai alasan untuk menjadikan mereka korban, maka ini sama artinya dengan pertarungan yang kuat dan yang lemah. Bukan pertarungan antara yang benar dan salah.
Kami sesungguhnya menyesali, mengapa tragedi kemanusiaan terjadi di pulau kayangan. Untuk rasa sesal itu, maka kami menempuh jalan hidup berdampingan dengan ribuan kokokan yang memilih desa ini. Jadi, semua ini tidak terlepas dari penyesalan kami karena tidak berdaya lagi melawan arus sejarah ketika itu. Dendam kami hapus di desa ini dan melihat ideologi dari sisi kekuatannya saja.
Begitulah uangkapan terakhir, yang kusarikan dari seorang mantan algojo, dengan genangan darah di bola matanya. Karena, konon, itulah darah korban yang memerciki matanya ketika ia, pada kali itu saja, melepas cadar hitamnya, untuk melihat terakhir kali orang yang berdiri dengan mata tertutup seutas kain hitam di hadapannya, yang akan sesaat lagi menerima tebasan kelewangnya.
Tiba-tiba ia berkata parau, “Maafkan saya. Saya tahu siapa kamu.” Laki-laki ini menatapku lurus. Tampak jelas genangan darah di kedua bola matanya.
Aku kebingungan. Mengapa ia harus minta maaf? Menatapku lurus dan tajam, seolah menunjukkan genangan darah yang terpercik di bola matanya kepadaku. Untuk apa?
Ada apa ini? Siapakah laki-laki ini? Mengapa ia seperti tahu diriku?”
“Kamu sedang berziarah ke desa ini, menziarahi jiwa-jiwa yang hilang, yang salah satu di antaranya,” Tiba-tiba ia menunduk, seperti memberi hormat takzim. Menelan ludahnya. Perlahan menatapku lagi, “maafkan saya jika harus mengatakan bahwa sorang di antara jiwa-jiwa yang hilang itu, tiada lain, I Made Wirawan, bapakmu.” Ia memelukku, menjatuhkan kepalanya di pundak. Tapi aku bergeming. Tidak percaya sama sekali dengan pengalaman ini.
Aku terdiam seperti patung.
Ia menarik tubuhnya, “Saya tidak menganut ideologi apapun dan sayalah justru menjadi alat hidup, mesin pembunuh, korban ideologi yang sebesar-besarnya dan sebenar-benarnya, selama hidup saya. Keberpihakan saya kepada ideologi, bukanlah pilihan tetapi hanya sebagai penghambaan hina, untuk melampiaskan dendam cinta kepada bapakmu. I Made Wirawan berhasil menikahi Ni Nyoman Parwati, ibumu, dan aku merasa kalah!”
Aku mulai tergoda untuk percaya.
“Saya menebus kekalahan cinta lewat jalan hina yang disediakan sejarah, sebagai tukang jagal di tengah tragedi manusia. Sedemikian mahal harga cinta saya kepada ibumu sehingga harus menjadi pembunuh. Pilihan saya menjadi tukang jagal tidak ada kaitannya dengan ideologi manapun. Tidak,” ia berbisik, “Cinta saya kepada Parwati lebih agung ketimbang ideologi itu!” Ia kembali memelukku. Air matanya membasahi bajuku.
“Karena itu, ketika pada gilirannya akan membunuh I Made Wirawan, saya robek cadar hitam. Saya ingin menyaksikan sendiri wajahnya. Dan, ketika itulah darah memerciki kedua bola mata saya. I Made Wirawan pun tersungkur dalam sekali ayunan kelewang.” Ia memelukku tanpa bisa kuhindari. Pengakuannya menghanyutkan sikap berjarakku dengan realitas. “Lihatlah! Tataplah dengan baik,” Ia membelalakkan kedua bola matanya, “sehingga kamu menemukan bercak darah di dalamnya, itulah darah bapakmu!”