MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah pengunjung yang datang. Sabtu, 31 Mei 2025, pantai yang terkenal dengan patung lumba-lumbanya itu berubah menjadi panggung terbuka dalam GEMO FEST #5.
GEMO FEST, kepanjangan dari Generation of Movement Festival. Festival ini adalah festival tahunan, hasil karya mahasiswa Program Studi Pariwisata Budaya dan Keagamaan, (PBK) Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja. Sebuah implementasi nyata dari mata kuliah MICE — Meeting, Incentive, Conference, Exhibition adalah industri pariwisata dan acara untuk sektor yang fokus pada penyelenggaraan acara-acara tersebut untuk memfasilitasi interaksi, networking, dan pertukaran informasi.
”Mahasiswa tak hanya belajar teori, tapi menyala dalam praktik. Di situlah esensi dari mata kuliah MICEyang diimplementasikan dalam festival ini,” ungkap Dipa, Ketua Panitia GEMO FEST #5.
Panggung Bincang Kopi: Aroma Narasi, Bukan Seduhan

Bincang Kopi Bali Nat | Foto: Puja
Segmen Bincang Kopi dibuka. I Gede Widiada Erwin, pemilik Kopi Bali Nata, membagikan kisahnya. Bukan tentang bagaimana biji kopi dipanggang, tetapi bagaimana semangat diseduh dari kegagalan, lalu dituangkan menjadi cita rasa bisnis yang utuh.
“Buka usaha kopi itu nggak harus jago bikin kopi,” ujar Erwin, di atas panggung bincang kopi. “Saya sendiri awalnya buka usaha ini karena suka ngopi, bukan karena tahu cara meracik. Tapi dari situ justru saya belajar, pelan-pelan, sampai akhirnya bisa jalan seperti sekarang.”
“Belakangan ini, kopi bukan sekadar minuman, tapi budaya. Kami memilih topik ini karena ingin menyentuh semangat generasi muda untuk berani memulai, mengenal potensi lokal, dan juga paham bahwa kopi punya cerita panjang,” ujar Dipa. Dari cerita tentang biji yang disangrai hingga semangat yang disulut, bincang ini menjadi seminar yang sarat makna.
Warna-Warni UMKM dan Daya Saing Produk Lokal
Tidak jauh dari area bincang, deretan stand Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mulai menggoda pengunjung. Di sinilah budaya lokal dipresentasikan dalam bentuk paling sederhana dan mengesankan. Ada tipat blayag yang gurih pedas, jajan khas Bali yang manis lembut, hingga seduhan Kopi Bali Nata.

Foto pedagang tipat blayag | Foto: Radit

Foto pedagang jajan khas Bali | Foto: Radit

UMKM Kopi Bali Nata | Foto: Radit
Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng mendukung penuh kehadiran 10 tenant UMKM. Tapi bagi para pengunjung, stand-stand ini lebih dari sekadar tempat belanja. Ia adalah tempat berkenalan dengan rasa, dengan kisah orang-orang kecil yang besar oleh tekad. Ini bukan sekadar bazar, tetapi wujud nyata dukungan terhadap pelaku usaha lokal.
Tenant-tenant ini bukan sekadar tempat jualan. Ia adalah ruang promosi, tempat memperkenalkan karya kepada pasar yang lebih luas. Dan bagi pengunjung, ini adalah pengalaman wisata rasa menjelajah warisan kuliner lewat lidah.
”Acara ini sangat berarti bagi kami para pengunjung, ini adalah kesempatan luar biasa untuk menjelajah warisan kuliner Bali Utara lewat lidah, dan sekaligus mendukung para pelaku usaha lokal,” ucap Ratih, salah seorang pengunjung, sambil menikmati gurihnya tipat blayag.
Joged, Juggling, dan Api yang Membakar Malam
Namun barangkali, malam hari adalah jiwa sejati dari GEMO FEST #5. Panggung sederhana menjadi altar seni. Suasana festival mulai berubah. Panggung utama mulai ramai. Alunan gamelan terdengar menggema, memanggil penonton untuk mendekat. Tarian Truna Jaya membuka pergelaran seni dengan gerakan gagah dan ekspresi penuh karakter. Disusul oleh Tari Nelayan, yang menghadirkan kisah sederhana kehidupan masyarakat pesisir dengan gerakan lincah.

Seorang turis mancanegara sedang ngibing | Foto: Puja
Yang paling menarik tentu saja saat tari Joged ditampilkan. Diiringi gamelan gong yang menghentak namun merayu, para pengunjung menari dengan jenaka, mengundang wisatawan untuk ikut serta. Dan benar saja, beberapa wisatawan asing tampak kikuk namun antusias “ngibing”—menari bersama.
“Itu indah. Ketika seni menyatukan orang dari berbagai penjuru,” ujar Luh Suartini, wakil ketua panitia.
Suartini juga menjelaskan bahwa GEMO FEST ingin mengubah citra tari Joged yang kerap dipandang negatif. “Kami ingin menunjukkan bahwa joged adalah warisan budaya yang luhur. Bukan sekadar hiburan, tapi simbol interaksi dan keramahan,” imbuhnya.

Pementasan juggling | Foto: Radit
Tak berhenti di situ, panggung dikejutkan oleh aksi seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 6. Ia muncul dengan botol dan gelas, lalu melakukan pertunjukan juggling. Ia melempar, memutar, dan menangkap dengan keterampilan yang memikat. Saat semua mata terpaku, ia menyemburkan api dari mulutnya, memantulkan cahaya merah-oranye ke wajah para penonton yang terpana.
Lovina: Latar yang Bercerita
Mengapa Lovina? Jawabannya tak sulit dicari. Pantai yang terkenal dengan lumba-lumbanya ini punya keistimewaan tersendiri. Ia tidak sesibuk Kuta, tidak sepadat Seminyak, tapi justru itu kelebihannya. Lovina menyimpan ketenangan dan keintiman, cocok untuk sebuah acara budaya yang mengajak orang untuk mendekat dan meresapi.
“Konsep acara kami lebih ke pengenalan budaya Bali Utara terhadap wisatawan lokal maupun mancanegara. Lovina adalah tempat yang tepat untuk itu,” ujar Luh Suartini. [T]
Penulis: Komang Puja Savitri
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: