PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali dengan mudah? Di saat kini mulai bersusulan teknologi handphone dengan ukuran pixel kamera yang kian tak terbendung.
Mungkin kita bisa menghela nafas sebentar untuk kemudian menoleh balik bagaimana fotografi muncul sebagai sebuah pembaharu dalam metode perekaman gambar pada masa lampau.
Pada awalnya kamera justru diciptakan untuk membantu seorang pelukis dalam membantu meningkatkan presisi dalam melukiskan sebuah pemandangan ataupun berbagai objek dunia nyata lainnya, hal itu bermula pada awal abad ke-16 saat camera obscura pertama kaliditemukan sebagai alat bantu, yang lalu pada perkembangannya ia berdiri sendiri sebagai alat penangkap gambar yang dicetak kedalam sebuah media kertas melalui eksperimentasi di bidang optik dan kimia, menghasilkan sebuah foto dari hasil mekanik yang kompleks pada masanya.
Perkembangan fotografi seolah melaju dengan cepat—melintas waktu dan zaman, kemunculannya dinilai sebagai sebuah pembaharu namun di sisi yang lain ia juga dipandang sebagai sebuah ketakutan akan tergesernya peran para pelukis dalam membekukan satu momen tertentu. Walaupun pada akhirnya ketakutan tersebut tak terbukti, jika dilihat keberperanan antara fotografi dan lukisan yang kini sungguh jauh berbeda.
Fotografi pun tak luput dari perubahan era digitalisasi, ia yang awalnya selalu berkutat dengan hal-hal teknis, kini perlahan mulai meninggalkan unsur-unsur “mekanis” nya, kemudian tergantikan dengan tangkapan kamera dengan lensa yang bahkan tak menghasilkan bunyi sedikit pun.
Hal itu berlanjut ketika bagaimana fotografi juga akhirnya lepas dalam peran praktisnya lalu masuk, dan diakui sebagai sebuah karya seni yang mencoba lepas dari konvensi klasik tentang bagaimana sebuah karya seni diciptakan.
Ade dan Mechanical Reproduction
Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang secara sadar dan tidak sadar, terpantik melalui diskusi dari sebuah Solo Presentation “ Study of Mechanical Reproduction” oleh Ade Ahimsa, Rumah Mentari, Penatih, Bali, pada Sabtu lalu. Sebuah perayaan atas perjalanan melintas ruang waktu dan pertanyaan menubuhnya tentang iklim fotografi yang selama ini ia geluti, terutama dalam konteks Bali dan fotografi itu sendiri,

Diskusi ini menyoroti berbagai topik yang berelasi dengan pertanyaan-pertanyaan di awal, tentang bagaimana fotografi mengalami polemik dalam kemunculannya, namun kini ia seolah terjebak pula dalam polemik dengan pola yang hampir sama, ketika muncul berbagai teknologi Artificial Intellgence yang dengan gampangnya menghasilkan sebuah proyeksi gambar hanya melalui prompt dan Kumpulan data.
Ade membuka diskusi ini dengan dirinya yang tergugah untuk melakukan presentasi atas buah pikir yang sempat tertunda sebelumnnya, sesaat setelah ia menyelesaikan studi akhir di kampusnya dan sebuah kolektif yang membantunya bertumbuh bernama Gurat Institute. Melalui Kumpulan berbagai fragmen gambar yang tersusun secara dinamis, ia mengumpulkan kembali serpihan memori serta ingatan tentang berbagai hal atau benda yang pernah menjadi bagian yang sangat personal dari dirinya, namun disaat yang sama hal itu memaksanya untuk menyadari berbagai perubahan yang hadir pada hal yang sebelumnya sangat personal—bahwa pada akhirnya benda dan suasana itu dengan sendirinya berubah seiring konteks sosial dan lingkungan yang terus bergerak mengiringinya.
Tentang mechanical production; hal itu mengacu pada landasan awal yang digunakan oleh ade dalam melihat balik pratik fotografi itu sendiri, ia meminjam pemikiran yang termuat dalam sebuah sebuah esai oleh Walter Benjamin berjudul “The work of art in the age of mechanical reproduction” dalam esainya ia mengomentari bagaimana nilai eksistensial dalam sebuah karya seni akan hilang di era dimana ia dapat direproduksi secara massal, dalam ranah ini ia merujuk pada fotografi, dimana sebuah gambar dapat secara instan direproduksi melalui mekanisme mesin kamera.

Ade dalam solo presentationnya kali ini justru hadir untuk mempertanyakan ulang konsep mechanical reproduction dalam konteks hari ini. Jepretan fotonya justru menantang persepsi tersebut. Dengan teknologi yang kian melaju pesat, kini kamera digital dengan otomatis dapat menyesuaikan kondisi over atau under berbagai aspek fotografis, meliputi exposure, contrast, saturation, blur, sharpness dan lain sebagainya. Jadi apaarti sebuah foto hari ini, jika itu semua sudah terpenuhi.
Karya-karya Ade justru hadir untuk merayakan ketidaksempurnaan dalam aspek fotografis itu sendiri, dalam upayanya untuk mempertebal dan mengekstrak berbagai gagasan dan memori yang tercermin dalam struktur visual sebuah gambar. Foto-foto Ade menjadi sangat personal, ia secara tidak sadar mengaburkan dan mencoba bermain-main dalam caranya mempertanyakan ulang sebuah studinya tentang mechanical reproduction.
Perihal fotografi dan iklim diskusi
Ade sebagai seorang fotografer, telah tumbuh dalam lingkungan fotografis yang sangat multi kultural. Ayahnya yang seorang jurnalis senior memberikan sedikit tidaknya pengaruh dalam jalannya hingga hari ini, ia tak membatasi dirinya, ia tumbuh dan larut secara organik dalam berbagai ekosistem dengan genre yang saling memiliki kecenderungan masing-masing, dari Jurnalistik, street fotografi, fashion, FNB hingga fotografi eksperimental.
Namun ia menyadari satu hal yang kini ia rasa sangat tak sehat dalam iklim fotografi terutama dalam lingkaran eksosistemnya. Ada semacam kejanggalan, dan rasa pasrah, di saat kini obrolan mengenai fotografi hanya diisi oleh perbincangan seputar kebutuhan praktisnya sebagai sebuah pekerjaan, tak lebih dari masalah UUD ( ujung-ujungnya duit) ataupun sebuah ajang untuk memamerkan kecangggihan kamera yang dipunya.
Ada yang hilang dalam perbincangan-perbincangan tersebut, yaitu bagaimana fotografi juga dapat hadir sebagai sebuah karya seni pula, terlepas genre dan berbagai konvensi fotografis yang meliputinya. Bagaimana eksistensi foto hari ini di era “too many images”, bagaimana iklim fotografi Bali, Yogya, Bandung ataupun Prancis sekalipun. Kalaupun ada, obrolan tersebut hanya menjadi perbincangan tengah malam dalam diskusi personal yang tak menjadi ruang dialektik kolektif.

Kegelisahan tersebut membawanya untuk membuat forum diskusi ini, upaya untuk dirinya dan berbagai lapisan apresiator, baik yang masih dalam lingkaran fotografi ataupun lintasan disiplin khususnya seni rupa untuk ikut dan larut dalam diskusi dialektik yang hangat. Terlihat dalam perbincangan ini, hadir beberapa kurator seni rupa yang turut memberikan pandangan, baik itu Savitri Sastrawan, ataupun Susanta Dwitanaya yang hadir sebagai penulis yang telah membaca praktik berkarya Ade selama studinya di Gurat Institute, hadir pula praktisi fotografi dan seorang dosen Dudyk Arya Putra, dan berbagai teman serta rekan apresiator yang juga ikut hadir.
Peristiwa ini bak oase di tengah gurun pasir yang luas, saya sendiri sebagai penulis benar-benar jarang dalam melihat diskusi yang membahas fotografi dalam ranahnya sebagai bagian dari karya seni kontemporer yang merangkul berbagai kalangan, terutama di Bali itu sendiri.

Forum ini menjadi ruang refleksi bersama bagaimana, sebuah iklim yang sehat harus dibentuk dan diupayakan untuk terus diwacanakan, tentu banyak obrolan belakang layar yang telah membahas hal ini lebih jauh, namun keberanian macam apa yang memantik seorang Ade untuk membawa percakapan belakang layar tersebut ke sebuah forum diskusi yang demokratis dan menjadi ruang untuk ingatan kolektif.
Pada akhirnya penulis akan menarik kembali kepertanyaan awal, menyoal sebuah pertanyaan mendasar tentang makna sebuah foto dalam konteksnya hari ini, Bagaimana ia eksis diantara jutaan informasi dan gambar yang tiap hari terus diperbarui. Adaptasi macam apa yang membuat akan bertahannya sebuah makna foto di era dimana ia bisa diciptakan tanpa perlu melibatkan kehadiran, hanya perlu teks dan kumpulan data saja.
Saya akan mengutip ungkapan Ade Ahimsa dalam konklusinya akan forum ini,
“Manusia akan terus berusaha mengekstrak diri dan pikirannya untuk terus melakukan proses adaptatifnya, bahkan jika dengan Artificial Intelligence sekalipun” [T]
Penulis: Made Chandra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis MADE CHANDRA
- BACA JUGA: