RENGGAMA, begitu namanya. Jangan kira itu bahasa Sanskerta atau Jawa Kuno. Renggama mudah saja artinya. Reng itu suara, Gama singkatan dari Gang Mawar. Simpel.
Renggama adalah kelompok pemusik yang tumbuh dari sebuah rumah di Gang Mawar, Jalan Srikandi, Sambangan-Singaraja. Itu rumah Kadek Anggara Rismandika, seorang pemusik tamatan ISI Yogyakarta yang kini jadi dosen di STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Di rumah itulah, Anggara mengajak dua temannya, Wira Pradana dan Lanang Arimbawa untuk mewujudkan sebuah cita-cita yang muncul dari kegelisahan mereka bersama.
Wira memainkan digital instrumen sekaligus jadi vokalis, sementara Lanang memainkan instrumen perkusi atau undir. Anggara sendiri memainkan instrumen tiup hulusi sekaligus juga vokalis.
Pada Jumat malam, 14 Maret 2025, Renggama untuk pertamakalinya melakukan pementasan musik garapan mereka di Rumah Belajar Komunitas Mahima serangkaian acara Mahima March March March 2025. Sebagai debut, Renggama mendapat sambutan luar biasa dari penonton. Ini bukan musik biasa-biasa saja, kata seorang penonton.

Anggara | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Dalam acara itu, Renggama memainkan dua garapan. Pertama, sebuah gubahan berjudul “Karma Phala” dan kedua berjudul “Cupak Gerantang”. Masing-masing garapan berdurasi 9 menit.
Musik yang dimainkan Renggama ini memang terdengar tak biasa, meski sesungguhnya bukanlah eksperimen baru dalam seni musik di Indonesia, atau di dunia. Ia menjadi tak biasa, barangkali karena telinga penonton sudah terbiasa mendengar musik-musik populer yang gampang diikuti, atau mudah dicerna secara konvensional.
Anggara sendiri belum memberi label secara pasti, musik jenis apa yang mereka mainkan.
“Karya musik, apa ya? Bisa dibilang musik digital akustik sih,” kata Anggara ketika ditanya MC tentang musik yang dimainkan Renggama.
Anggara bercerita kemudian, bahwa karya yang mereka mainkan itu lahir dari kegelisahan semata. Kegelisahan yang sederhana.
“Selama ini kami gelisah seperti tidak punya ruang untuk mengkspresikan diri,” kata Anggara.
Tentang tiga personel Renggama itu, Anggara bercerita, “Kami bertumbuh bersama dari rahim musik tradisi Bali yaitu gamelan, namun kemudian kami bertumbuh juga dengan musik-musik yang asyik menurut kami, dan itu tidak hanya gamelan.”
Bahkan, kata Anggara, untuk mencari jenis musik semacam itu, atau musik di luar gamelan, di Singaraja masih sangat jarang. “Kami harus jauh pergi ke Ubud atau Denpasar untuk bisa sekadar menikmati pertunjukan yang sesuai dengan preferensi kami,” ujar Anggara.
Nah, dari kegelisahan itulah mereka ingin mencoba untuk membuat ruang eksperimen dalam menyalurkan ide dan gagasan musik yang mereka miliki dalam bentuk karya yang bisa dinikmati orang lain.
“Sehingga tujuan kami teman-teman yang memiliki kegelisahan yang sama dengan kami, bisa menemukan selera musik mereka di Singaraja,” cerita Anggara.
Musik yang Membawa Kita ke Mana-mana
Mendengar musik yang dimainkan Renggama di Komunitas Mahima itu penonton seperti dibawa keliling dunia dengan kaki yang masih berpijak di Bali.
Sesekali seperti ke China, atau setidaknya sperti sedang menikmati tontonan film China. Lalu sesekali juga diantarkan ke Arab, atau ke hamparan padang pasir yang sangat luas. Lalu, dengan suara lirih dari undir, penonton tetap menyadari bahwa mereka berada di Bali.

Lanang | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Seperti disampaikan Wahyudi, seorang penonton yang juga guru di SMKN Bali Mandara. Menurutnya, musik yang dibawakan Renggama mampu membuatnya seperti menonton film yang alurnya seperti susah ditebak dan membuat penasaran.
“Kira-kira bagaimana cara membuat musik seperti itu ya?” kata Wahyudi.
Gading Ganesha, seorang aktivis Komunitas Mahima yang juga pendiri Bank Sampah Galang Panji Singaraja, dan juga anggota Bawaslu Buleleng, juga menyampaikan pujian yang sama. Ia seperti dibawa ke berbagai suasana setelah mendengar musik ang dimainkan Renggana.
Mahasiswa STAHN Mpu Kuturan, antara lain Dek Suwar dan Candra, juga memeri komentar pada musik Renggana.
“Jujur ketika saya menyaksikan pertunjukan musik tadi sangat kagum. Baru kali ini saya di Singaraja menyaksikan musik dengan lirik yang puitis tapi tidak sekedar puitis,” kata Dek Suwar.
Dek Suwar mengatakan, ia seperti mendengar kata-kata yang diberikan jiwa oleh musik. “Sebenarnya apa yang Renggama lakukan untuk membuat karya musik seperti itu?” kata Dek Suwar yang bernama lengkap Kadek Suwarjaya itu.
Candra juga mengungkapkan kekaguman yang sama dengan Dek Suwar. Candra yang akrab disapa Aan itu mengatakan, ia sudah bisa menebak bagaimana alur karya-karya dari Renggama, karena ia mengaku memang sering melakukan garapan bersama dengan Anggara.
Menurut Aan, musik yang diperdengarkan Renggama bisa disebut segar. Sepintas terdengar rumit, namun bisa dinikmati.
“Pertanyaannya bagaimana karya musik Renggama bisa dipertahankan untuk selalu segar didengarkan, dan bagaimana trik untuk membuat musik selalu tampak berbeda?” kata Aan.
Pementasan Musik Sebagai Pertunjukan
Dalam pementasan musik di Komunitas Mahima itu, Anggara, Lanang dan Wira, tampaknya belum tampak begitu enjoi memainkan instrumen yang mereka pegang. Gaya panggung mereka belum kelihatan.
Wira sedikit bergoyang-goyang tapi lebih sering berdiri begitu saja saat memainkan jari-jarinya di atas alat musik digital semacam keyboard mini.
Lanang tampak begitu khusyuk dengan undir, sebuah alat dari bambu yang ia rancang sendiri dalam rangka tugas akhir kuliahnya di S1 Institut Seni Indonesia (ISI) Bali belum lama ini. Alat musik itu dimodifikasi dari alat musik jegog, yang dibuat berdiri sehingga bisa dimainkan dengan lebih santai.
Anggara meniup hulusi, sebuah alat musik tiup khas China, dengan gaya yang santai, namun sepertinya ia masih kesulitan “bergaya bebas” karena harus bernyanyi juga. Tampak sekali napasnya tak pernah stabil, karena dipakai bergantian antara meniup dan bernyanyi.
Kardian Narayana, seorang penonton, memperhatikan gaya panggung Renggana yang masih statis itu.
Sebagai penonton, kata Kardian, ia melihat pertunjukan Renggama lumayan bisa dinikmati, terutama bagi penonton yang tidak begitu paham musik.
“Namun sekali lagi ada wilayah yang nampaknya belum terlalu banyak dipersiapkan yaitu pementasan musik sebagai pertunjukan. Musik sebagai sesuatu yang ditonton menjadi poin yang nampaknya perlu untuk lebih diperhatikan,” ujar Kardian.

Wira | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Andy Sri Wahyuni, seorang penulis dan pelaku teater dari Yogyakarta, mengakui musik yang dimainkan Anggara dan kawan-kawan itu mengingatkannya tentang musik-musik semacam itu, karena ia memang bertumbuh dengan musik-musik yang memiliki identitas mirip dengan karya ini.
“Seperti karya-karya Yani, Kitaro dan lainnya. Jadi, musik-musik seperti ini memang sangat dramatik sekali,” kata Andy.
Andy mengaku tertarik pada upaya Renggama dalam berusaha membuat musik yang bersumber dari karya sastra. Kata sebagai unsur karya sastra itu sudah biasa, namun ketika kata itu diposisikan sebagai musik atau media akan menjadi lebih menarik.
“Jadi bagaimana kata tidak serta merta sebegai hal yang ditempelkan pada musik tapi kata sebagai musik itu sendiri,” kata Andy.
Contohnya, kata Andy, musik dengan menggunakan lirik berbahasa Jawa Kuno atau bahasa tertentu yang tidak begitu lumrah dan memiliki arti. “Tapi kata ini menjadi berarti ketika dia hadir sebagai musik,” kata Andy.
Upaya Menjadi Identitas Singaraja
Anggara mengatakan. karya musik Renggana ini lahir sebagai upaya dalam mengamati identitas Singaraja yang heterogen dan multikultur.
“Ciri multikultur dari Kota Singaraja ini masih jarang dijadikan pijakan dalam berkarya, terutama musik,” kata Anggara.
Untuk itulah, musik Renggama mencoba memadukan beberapa identitas sub-kultur dan dominan yang sesuai dengan selera dan kondisi kini.
Menurut Anggara, musik digital dipilih untuk mewakili gagasan musik masa kini, kemudian pemilihan alat musik undir sebagai identitas masyarakat dominan yaitu gamelan. Pemilihan alat musik tiup hulusi sebagai perwakilan sub-kultur etnis China, dan instrument perkusi burdah sebagai instrumen musik yang mewakili perwakilan sub-kultur etnis Melayu, Jawa dan Arab yang ada di Singaraja.
“Kombinasi dari berbagai alat musik dan napas musik ini yang secara tidak langsung telah menghasilkan nuansa musik yang lebih beragam,” kata Anggara.
Renggama, kata Anggara, mencoba membuat musik yang tidak selalu instrumental. Sebenarnya karya-karya yang dimanikan itu lahir atau hasil interpretasi terhadap karya geguritan Cupak dan Gerantang.
“Jadi upaya kami mengambil beberapa pesan inti dari beberapa bagian naskah geguritan Cupak dan Gerantang ke dalam bahasa Indonesia dengan harapan lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat kita saat ini,” kata Anggara.
Kata yang bisa menjiwai musik, kata Anggara, sebenarnya terletak pada upaya dalam melihat kata sebagai instrumen, bukan kata untuk diiringi musik.
Upaya untuk selalu berbeda, kata Anggara, selalu dipikirkan dalam proses penggarapan. Awalnya, diketahui dengan benar berbagai rasa yang dihasilkan dari musik. Seperti halnya rasa pada makanan.
“Ketika kita sudah banyak pilihan rasa musikal maka secara tidak langsung kita bisa memetakan rasa apa yang sekiranya untuk sedikit berbeda,” kata Anggara.
Jadi, selamat Renggama. Ditunggu karya dan pementasan berikutnya. [T]
Repoter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: